3.5/5
Blockbuster
Box Office
coming of age
Family
Father-and-Daughter
Franchise
Hollywood
Horror
possession
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Insidious: Chapter 3
Nama James Wan menjadi semacam
brand jaminan mutu di horor Hollywood semenjak debutnya, Saw yang lantas berkembang menjadi salah satu franchise horor
besar. Tak hanya itu, Insidious di
tahun 2010 pun akhirnya juga menjelma menjadi sleeper hit dan bahkan berdiri
sebagai franchise yang tak kalah kuatnya. Banyak yang beranggapan kunci
suksesnya adalah membawa kembali atmosfer dan unsur-unsur horor klasik ke dalam
formulanya. Tak lupa unsur keluarga yang menjadikan ceritanya semakin dekat
dengan penonton. Jika Insidious: Chapter
2 masih punya hubungan langsung dengan installment pertamanya, maka chapter
3 ini kita dibawa ke beberapa tahun sebelum chapter 1 dan chapter 2, dengan
mengubah fokus cerita ke karakter paranormal Elise Rainier. Selain sebagai
refreshment, tentu saja sebagai sebuah franchise tidak mungkin terus-terusan
hanya bermain-main di tempat yang sama. Sampai satu titik pasti mengalami
kejenuhan. Maka perlu dipilih salah satu karakter yang bisa universal menjadi
benang merah keseluruhan cerita, dan Elise adalah karakter yang cocok untuk
mewakili. Kursi sutradara yang kali ini dijabat langsung oleh Leigh Whannell
yang sudah bekerja sama dengan Wan sejak Saw
dan menulis naskah Insidious sejak
chapter pertama, seharusnya tidak perlu sampai jadi masalah yang berarti.
Ternyata Insidious: Chapter 3 (IC3) tak hanya mengubah POV cerita untuk
me-refresh, tapi juga tone film secara keseluruhan. Buat yang nge-fans
franchise ini karena tone atmosfer yang creepy dan berbagai elemen klasiknya,
siap-siap agak kecewa karena cukup banyak dikurangi. Meski saya masih bisa
merasakan sedikit benang merah atmosfer dari original Insidious. Jump scare khasnya pun masih ditebar di sana-sini dengan
timing yang masih cukup tepat dan efektif. Tak mengganggu seperti di Annabelle, misalnya. Sebagai penambal,
ditambahkan sedikit unsur komedi dan fighting. Ini bisa jadi semacam bunuh diri
secara horor, terutama yang sudah terlanjur menjadi fanatik franchise. Tapi
saya cukup bisa memahami dan menerima kepentingan untuk mengakomodasi lebih
banyak kebutuhan dari penonton yang lebih luas akan hiburan murni. Jujur,
target penonton utama film sejenis ini pastilah lebih banyak yang
berbondong-bondong buat seru-seruan beramai-ramai, ketimbang horror geek yang
merasa lebih seru nonton sendirian. Kalau mau berpikir secara bisnis pun,
golongan yang pertama jelas lebih menguntungkan daripada yang kedua. Toh
ternyata komedi-komedi yang dihadirkan tak sampai jatuh menjadi berlebihan dan
slapstick. Masih bermain-main di komedi sehari-hari yang hanya sampai membuat
saya tersenyum atau sedikit chuckle. Adegan fighting-nya pun ditampilkan dengan
konsep cerita yang masuk akal: terjadi di alam astral yang memungkinkan sebagai
semacam visualisasi atau metafora dari keberanian melawan evil entity, secara
manusia sejatinya lebih kuat dari roh. Meski secara horor, ini lagi-lagi
menjadi semacam bunuh diri, karena pecinta horor pastinya lebih menyukai
penyelesaian masalah yang lebih magis atau melibatkan ritual. But hey, I don’t
mind with that. Kinda cool, malah.
Namun yang patut saya apresiasi
terutama adalah plotnya yang meski tak sepenuhnya baru atau fresh, namun bisa
jadi background story yang masuk akal dan ternyata ditampilkan dengan hearty
pula. Okay, mungkin chemistry antara karakter ayah dan anak, Sean dan Quinn
tidak ditampilkan sekuat keluarga Lambert di installment-installment
sebelumnya. Namun karakter Quinn ditulis dengan detail yang menarik dan bisa
menjadi setup cerita horor yang kuat dan relatable. Mulai motivasinya
bermain-main dengan dunia spiritual, dilematisnya sebagai putri sulung yang
harus menggantikan peran sang ibu dan sebagai remaja yang memikirkan masa
depannya, hingga konklusinya yang ternyata jauh lebih mengena dan hearty
ketimbang yang ditampilkan keluarga Lambert. Bagi siapa saja yanag pernah
merasakan kehilangan salah satu orang tua di usia muda pasti dengan mudah
tersentuh oleh beberapa part di sini. Sayangnya detail yang bagus ini tidak
diimbangi dengan latar belakang karakter evil entity utama. Penonton (dan juga
karakter-karakter manusia di sini) hanya diberi penjelasan umum dan tanda-tanda
fisikal untuk dianalisa dan diterka-terka sendiri. Ini jelas berbeda dengan
yang ditampilkan installment-installment sebelumnya yang cukup detail
menjelaskan latar belakang sosok The Black Bride. Untungnya secara keseluruhan,
cerita IC3 mengalir dengan nyaman untuk diikuti, dengan timing-timing yang pas.
Tak sampai ada adegan jump scare yang ujung-ujungnya ternyata biasa saja
(seperti, lagi-lagi, Annabelle),
ataupun durasi thrilling moment yang terasa terlalu diulur-ulur.
Dengan porsi yang jauh meningkat,
Lin Shaye ternyata mampu memenuhi tuntutan peran sebagai Elise Rainier. Tak
canggung pula beradaptasi dengan nuansa baru yang kadang masih bisa bercanda
dan kickass, sehingga menjadikan karakter Elise terasa lebih hidup, manusiawi,
dan menyenangkan. Tak melulu sebagai paranormal yang selalu tampak misterius.
Stefanie Scott sebagai Quinn pun cukup mampu mencuri hati penonton.
Menjadikannya salah satu bintang muda yang punya kans menjadi besar suatu saat
nanti.
Tak banyak inovasi dari segi
scoring yang masih dikerjakan oleh Joseph Bishara (yang sekaligus berperan
sebagai Lipstick-Face Demon di sini). Masih bermain-main di elemen horor
klasik, termasuk shrieking string yang menjadi ciri khas franchise. Toh masih
cukup efektif membangun atmosfer horornya. Hanya saja ada satu score yang cukup
mengganggu di credit title dimana penggunaan shrieking string terasa begitu
berlebihan. Malah cenderung seperti kaset tape rusak.
So yes, IC3 akan semakin banyak
menimbulkan haters dari kalangan fans setia franchise sejak awal. Tapi bukan
tidak mungkin, tetap mendatangkan penonton-penonton baru. Karena harus diakui
mau di-review sejelek apapun, film horor (yang asal tetap digarap dengan baik,
tidak asal-asalan) tetap komoditas yang menguntungkan. As for me, IC3 mungkin
tidak semenyeramkan installment-installment sebelumnya, tapi saya sangat
mengapresiasi plot yang ditulis dan menyukai hearty moment keluarga yang begitu
warm.
Lihat data film ini di IMDb.