The Jose Flash Review
Insidious: Chapter 3

Nama James Wan menjadi semacam brand jaminan mutu di horor Hollywood semenjak debutnya, Saw yang lantas berkembang menjadi salah satu franchise horor besar. Tak hanya itu, Insidious di tahun 2010 pun akhirnya juga menjelma menjadi sleeper hit dan bahkan berdiri sebagai franchise yang tak kalah kuatnya. Banyak yang beranggapan kunci suksesnya adalah membawa kembali atmosfer dan unsur-unsur horor klasik ke dalam formulanya. Tak lupa unsur keluarga yang menjadikan ceritanya semakin dekat dengan penonton. Jika Insidious: Chapter 2 masih punya hubungan langsung dengan installment pertamanya, maka chapter 3 ini kita dibawa ke beberapa tahun sebelum chapter 1 dan chapter 2, dengan mengubah fokus cerita ke karakter paranormal Elise Rainier. Selain sebagai refreshment, tentu saja sebagai sebuah franchise tidak mungkin terus-terusan hanya bermain-main di tempat yang sama. Sampai satu titik pasti mengalami kejenuhan. Maka perlu dipilih salah satu karakter yang bisa universal menjadi benang merah keseluruhan cerita, dan Elise adalah karakter yang cocok untuk mewakili. Kursi sutradara yang kali ini dijabat langsung oleh Leigh Whannell yang sudah bekerja sama dengan Wan sejak Saw dan menulis naskah Insidious sejak chapter pertama, seharusnya tidak perlu sampai jadi masalah yang berarti.

Ternyata Insidious: Chapter 3 (IC3) tak hanya mengubah POV cerita untuk me-refresh, tapi juga tone film secara keseluruhan. Buat yang nge-fans franchise ini karena tone atmosfer yang creepy dan berbagai elemen klasiknya, siap-siap agak kecewa karena cukup banyak dikurangi. Meski saya masih bisa merasakan sedikit benang merah atmosfer dari original Insidious. Jump scare khasnya pun masih ditebar di sana-sini dengan timing yang masih cukup tepat dan efektif. Tak mengganggu seperti di Annabelle, misalnya. Sebagai penambal, ditambahkan sedikit unsur komedi dan fighting. Ini bisa jadi semacam bunuh diri secara horor, terutama yang sudah terlanjur menjadi fanatik franchise. Tapi saya cukup bisa memahami dan menerima kepentingan untuk mengakomodasi lebih banyak kebutuhan dari penonton yang lebih luas akan hiburan murni. Jujur, target penonton utama film sejenis ini pastilah lebih banyak yang berbondong-bondong buat seru-seruan beramai-ramai, ketimbang horror geek yang merasa lebih seru nonton sendirian. Kalau mau berpikir secara bisnis pun, golongan yang pertama jelas lebih menguntungkan daripada yang kedua. Toh ternyata komedi-komedi yang dihadirkan tak sampai jatuh menjadi berlebihan dan slapstick. Masih bermain-main di komedi sehari-hari yang hanya sampai membuat saya tersenyum atau sedikit chuckle. Adegan fighting-nya pun ditampilkan dengan konsep cerita yang masuk akal: terjadi di alam astral yang memungkinkan sebagai semacam visualisasi atau metafora dari keberanian melawan evil entity, secara manusia sejatinya lebih kuat dari roh. Meski secara horor, ini lagi-lagi menjadi semacam bunuh diri, karena pecinta horor pastinya lebih menyukai penyelesaian masalah yang lebih magis atau melibatkan ritual. But hey, I don’t mind with that. Kinda cool, malah.

Namun yang patut saya apresiasi terutama adalah plotnya yang meski tak sepenuhnya baru atau fresh, namun bisa jadi background story yang masuk akal dan ternyata ditampilkan dengan hearty pula. Okay, mungkin chemistry antara karakter ayah dan anak, Sean dan Quinn tidak ditampilkan sekuat keluarga Lambert di installment-installment sebelumnya. Namun karakter Quinn ditulis dengan detail yang menarik dan bisa menjadi setup cerita horor yang kuat dan relatable. Mulai motivasinya bermain-main dengan dunia spiritual, dilematisnya sebagai putri sulung yang harus menggantikan peran sang ibu dan sebagai remaja yang memikirkan masa depannya, hingga konklusinya yang ternyata jauh lebih mengena dan hearty ketimbang yang ditampilkan keluarga Lambert. Bagi siapa saja yanag pernah merasakan kehilangan salah satu orang tua di usia muda pasti dengan mudah tersentuh oleh beberapa part di sini. Sayangnya detail yang bagus ini tidak diimbangi dengan latar belakang karakter evil entity utama. Penonton (dan juga karakter-karakter manusia di sini) hanya diberi penjelasan umum dan tanda-tanda fisikal untuk dianalisa dan diterka-terka sendiri. Ini jelas berbeda dengan yang ditampilkan installment-installment sebelumnya yang cukup detail menjelaskan latar belakang sosok The Black Bride. Untungnya secara keseluruhan, cerita IC3 mengalir dengan nyaman untuk diikuti, dengan timing-timing yang pas. Tak sampai ada adegan jump scare yang ujung-ujungnya ternyata biasa saja (seperti, lagi-lagi, Annabelle), ataupun durasi thrilling moment yang terasa terlalu diulur-ulur.

Dengan porsi yang jauh meningkat, Lin Shaye ternyata mampu memenuhi tuntutan peran sebagai Elise Rainier. Tak canggung pula beradaptasi dengan nuansa baru yang kadang masih bisa bercanda dan kickass, sehingga menjadikan karakter Elise terasa lebih hidup, manusiawi, dan menyenangkan. Tak melulu sebagai paranormal yang selalu tampak misterius. Stefanie Scott sebagai Quinn pun cukup mampu mencuri hati penonton. Menjadikannya salah satu bintang muda yang punya kans menjadi besar suatu saat nanti.

Tak banyak inovasi dari segi scoring yang masih dikerjakan oleh Joseph Bishara (yang sekaligus berperan sebagai Lipstick-Face Demon di sini). Masih bermain-main di elemen horor klasik, termasuk shrieking string yang menjadi ciri khas franchise. Toh masih cukup efektif membangun atmosfer horornya. Hanya saja ada satu score yang cukup mengganggu di credit title dimana penggunaan shrieking string terasa begitu berlebihan. Malah cenderung seperti kaset tape rusak.


So yes, IC3 akan semakin banyak menimbulkan haters dari kalangan fans setia franchise sejak awal. Tapi bukan tidak mungkin, tetap mendatangkan penonton-penonton baru. Karena harus diakui mau di-review sejelek apapun, film horor (yang asal tetap digarap dengan baik, tidak asal-asalan) tetap komoditas yang menguntungkan. As for me, IC3 mungkin tidak semenyeramkan installment-installment sebelumnya, tapi saya sangat mengapresiasi plot yang ditulis dan menyukai hearty moment keluarga yang begitu warm.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.