The Jose Flash Review
Pitch Perfect 2

Di Hollywood sudah bukan barang baru lagi kalau sebuah sekuel dari franchise baru bakal lebih laris dibanding installment pertamanya. Ini bisa dipahami karena penonton sekarang lebih ‘percaya’ menyaksikan sebuah franchise yang sudah dikenal lebih dulu ketimbang materi orisinal. That’s why jaman sekarang kita bakal lebih sering menemukan sekuel, prekuel, remake, reboot, atau apapun istilahnya untuk mengeruk keuntungan lebih dari materi yang sudah ada. Salah satu yang cukup beruntung bisa berkembang menjadi franchise laris adalah Pitch Perfect yang jadi sleeper-hit di tahun 2012. Sayangnya, genre musikal tidak begitu diminati oleh penonton Indonesia, sehingga rupanya sang distributor tidak mempercayainya untuk tayang di layar lebar sini. Tapi karena hype-nya ternyata tetap sampai di sini, maka kali ini kita berkesempatan menyaksikan penampilan The Barden Bellas dan grup akapela lainnya di layar lebar. Tentu saja menonton di layar lebar menawarkan pengalaman stage performance yang jauh lebih terasa megah ketimbang di layar laptop. So, kesempatan ini sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Masih sama seperti kebanyakan franchise populer, Pitch Perfect 2 (PP2) mengikuti pola yang dipertahankan dari installment sebelumnya. Yes, kita tetap akan menemukan embarrassing moment sebagai adegan pembuka, konfrontasi dengan kontender terberat, chained aca-battle yang seru, kolase kumpulan adegan latihan yang kocak, dan tentu saja final performances yang paling akbar. Pola yang harus diakui berhasil membangun mood penonton, termasuk timing performance-performance yang dijaga pas sehingga tak terkesan melelahkan ataupun jeda antar performance-nya terlalu lama. Namun saya harus mengakui, PP2 punya cukup banyak poin yang mengungguli pendahulunya.

Jika di installment pertama kita dibuat tertarik tak hanya dengan performance-performance akapelanya, tapi juga desain karakter yang tak kalah menarik, maka di PP2, sisi perkembangan karakter tak terlalu banyak diutak-atik, kecuali tentu saja karater utama, Beca. Selain merasa tak perlu untuk memperkenalkan kembali karakter-karakter khasnya, PP2 memilih untuk membahas isu yang secara umum lebih berbobot ketimbang sekedar urusan persaingan antar group seperti di installment pertama. Dampaknya, penonton pun terbagi dua. Bagi yang mementingkan atau menyukai franchise PP karena karakter-karakternya, mungkin akan sedikit kecewa, meski kesemua karakter dari installment pertama kembali hadir dengan kekhasan masing-masing. Di lain sisi, PP2 mengangkat 2 isu yang cukup penting dan relevan: orisinal vs cover yang akhir-akhir ini jadi isu kontroversial di era digital dan media sosial, serta isu “what’s next after college?”. Isu yang pertama jelas sebuah isu yang relevan, karena akapela identik dengan meng-cover lagu yang sudah populer. Namun harus diakui seorang musisi sejati di satu titik harus menghasilkan karya orisinil untuk mencapai kesuksesan yang sebenarnya. Untuk isu ini, saya selalu berpendapat bahwa meski seorang penyanyi cover mampu membawakan sebuah lagu populer dengan lebih baik daripada artis aslinya, lagu tersebut mungkin tidak akan sepopuler itu jika dibawakan oleh si penyanyi cover lebih dulu. Somehow, keunikan karakter suara jauh lebih berpengaruh ketimbang sekedar suara yang bagus.

Isu kedua, yaitu tentang what’s next after college mungkin terasa lebih berat dan sudah sering diangkat di film remaja, namun di sini ditampilkan dengan ringan, mengundang senyum, namun tak kehilangan kemampuan menyentil bagi penonton yang relate.

Tentu saja selain 2 isu utama ini, ada beberapa sub-plot lain yang ditampilkan untuk mewarnai cerita, termasuk misalnya kisah asmara Fat Amy dengan Bumper. Positifnya, kesemua isu dan sub-plot ini dijahit dengan sangat rapi sehingga tidak terkesan penuh sesak dijejalkan. Kesemuanya menjadi satu paket hiburan yang komplit, dengan suguhan utama (saya yakin ini yang menjadi alasan utama kebanyakan penonton menyaksikan PP2), tentu saja performance-performance keren yang tak hanya mengandalkan songs mash-up dengan voice-split yang cantik, tapi juga stage performance yang serba megah dari The Barden Bellas, dan yang tidak kalah kerennya, kontender terkuat mereka, Das Sound Machine (saya yakin nama ini memang disengaja punya singkatan DSM, apalagi setelah ada line, “Beat DSM!”). Tak ketinggalan, pemilihan lagu-lagu yang range-nya semakin diperluas dari segi genre dan era. Mulai hip-hop era 80-90’an seperti Baby Got Back, Insane in the Brain, Scenario, Doo-Woop (That Thing), Thong Song, This is How We Do It, Jump, hingga 2000-an seperti Bootylicious, Low, alternative rock seperti Uprising dari Muse dan My Songs Know What You Did in the Dark dari Fall Out Boy, dan tentu saja pop lintas jaman, seperti A Thousand Miles, We Are Never Ever Getting Back Together, dan What’s Love Got to Do with It. Jangan lupakan juga Any Way You Want It yang dibawakan dengan berbagai bahasa. Keren!

Berpindahnya sutradara dari Jason Moore ke tangan Elizabeth Banks (yang juga memerankan Gail, salah satu komentator yang turut menyumbangkan humor sindiran cukup banyak di film pertama maupun kedua)  agaknya juga mempengaruhi nuansa feminisme yang terasa lebih kental dan menjadi warna tersendiri di PP2. Contoh yang paling mudah adalah melalui beberapa humor satir bertemakan feminisme yang ditebar di banyak bagian.

Para cast masih mengisi peran-peran ikonik mereka dengan kualitas yang masih sama, mulai Anna Kendrick yang porsi perkembangan karakternya paling banyak. Masih loveable dan mengundang simpati di balik karakternya yang dilematis, Katey Sagal, Brittany Snow, Anna Camp, Alexis Knapp, dan tentu saja Rebel Wilson yang seperti biasa, paling menarik perhatian secara komedi. Sementara Hailee Steinfeld yang memerankan karakter baru, Emily, juga mampu tampil menonjol, lebih dari sekedar faktor fisik yang memang menarik perhatian, meski karakternya tak begitu banyak dikembangkan.

Selain tata kamera yang sangat mendukung terutama stage performances, PP2 juga menyajikan tata suara dengan arah surround yang begitu detail, membuat setiap performance terkesan hidup. Ini juga menjadi alasan kenapa PP2 wajib dinikmati di layar lebar.

Dengan berbagai poin plus yang melebihi installment pertama, PP2 jelas menjadi tontonan wajib bagi mereka yang mengaku fans dari seri pendahulunya, juga bagi penonton baru yang mengaku punya referensi musik yang cukup luas.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.