The Jose Flash Review
Entourage

Dibandingkan comic book to movies, terhitung tak banyak TV show yang diangkat ke layar lebar. Mungkin hanya Mission: Impossible dan Transformers yang paling sukses sampai sekarang. Itu pun karena genrenya yang bisa lebih ‘menjual’ di layar bioskop ketimbang sekedar layar kaca. Ada alasan kenapa fenomena TV to movie terhitung jarang. Selain segmentasinya yang lebih sempit, ada cukup banyak juga penonton yang merasa malas nonton di bioskop karena beranggapan apa bedanya dengan nonton TV show-nya. Tak salah juga, karena kebiasaan menonton sebuah acara di TV yang gratisan (atau sekalipun bayar, kalau dihitung-hitung masih lebih murah daripada datang ke bioskop), bisa-bisa nonton di bioskop pengalamannya tidak jauh beda dengan di TV. HBO sebagai salah satu channel TV berbayar terkenal, cukup berani mengangkat salah satu serial paling legendarisnya sepanjang masa, Sex and the City (SatC) dan ternyata hasilnya cukup berhasil. Kini, HBO mencoba peruntungan lagi dengan serial sitkom yang sempat populer di Amerika Serikat namun masih sangat segmented di sini, Entourage. Jika Anda berpikir SatC di sini sudah termasuk segmented, maka Entourage ini lebih segmented lagi. Saya sendiri belum pernah menyaksikan serialnya. Jadi ketika menyaksikan versi layar lebarnya saya hanya berbekal premise serialnya: perjuangan seorang aktor muda, Vincent Chase, dengan backup geng-nya: Johnny, Turtle, Eric, dan agennya, Ari Gold, dalam mengarungungi liar dan ganasnya Hollywood.

Ternyata bekal ini sudah lebih dari cukup untuk saya bisa menikmati versi layar lebarnya. Selain premise yang sebenarnaya tidak rumit-rumit amat, Entourage versi layar lebar memberikan adegan introduksi karakter-karakter utamanya secara efektif dan tentu saja, menggelitik, lewat adegan sebuah interview acara TV eksklusif. Introduksi ini menjadi sangat penting mengingat serialnya mengandalkan perkembangan karakter-karakter sebagai basis cerita. Segera setelah itu, saya dibawa ke belantara Hollywood yang serba wild, keras, tapi fun. Tentu saja dari sudut pandang geng Vincent Chase dkk yang naif, sehingga dengan mudah mengundang tawa bagi penonton yang memahami humor-humornya.

Secara keseluruhan, utamanya Entourage versi layar lebar menyorot hubungan antara produser-sutradara-investor yang memang menarik untuk diangkat. That’s why tidak ditampilkan proses produksi film Hyde yang disutradarai oleh karakter utamanya, Vincent Chase (dimana katanya, di serial sering ditampilkan proses produksi yang ‘fucked-up’), dan lebih banyak menampilkan intrik di belakangnya. Doug Ellin selaku kreator yang kali ini menangani langsung sebagai penulis naskah-sutradara, menulisnya dalam storytelling yang masih serial banget. Bukan karena saya tahu seperti apa serialnya, tapi demikianlah style storytelling rata-rata serial yang tayang di TV, termasuk SatC The Movie yang bahkan tetap bisa setia dengan storytelling ala serial dengan durasi yang mencapai 5 kali lipat versi serialnya. As for me, ini tidak menjadi masalah karena toh masih bisa dinikmati tanpa terlalu terasa draggy. Malah, saya seperti menyaksikan keseruan ‘petualangan’ ala The Hangover, tapi tentu saja dengan kadar ‘fucked-up’ yang jauh lebih wajar.

Tapi yang juga harus diakui adalah Entourage versi layar lebar tak ubahnya menyaksikan salah satu episode yang durasinya lebih panjang, karena faktor story scope yang tidak begitu besar, juga sub plot-sub plot yang diselipkan di sana-sini, seperti skandal video Johnny Drama, hubungan Eric dan Sloan, Turtle yang PDKT dengan petarung UFC, Ronda Rousey, dan masih banyak lagi, yang sengaja dimasukkan untuk memberi warna lebih pada cerita dan humor. Untung saja kesemua sub plot ini dihadirkan dengan relevansi dan porsi yang pas, serta yang paling penting, tidak mengganggu konsistensi fokus main plot. Namun tentu saja yang menjadi komoditas utama Entourage adalah humor-humor yang sarkas, satir, terkadang ofensif, dan seringkali membutuhkan kedekatan dengan dunianya (dalam hal ini, dunia showbiz Hollywood) untuk bisa memahaminya. That’s why, once again, Entourage was very, very segmented.

Sayangnya, sebagai karakter utama, Adrian Grenier kali ini tidak diberikan porsi yang cukup untuk bisa menarik perhatian penonton. Terutama sekali karena karakternya tidak ditulis dengan cukup kuat. Jeremy Piven sebagai Ari Gold justru jauh lebih menarik perhatian. Jadi sorotan utama, malah karena dibawakan dengan sangat baik oleh Piven. Sementara itu pendukung lainnya yang berhasil menonjol, baik berkat penulisan karakter dan penampilannya adalah Kevin Dillon sebagai Johnny, serta kembalinya Haley Joel Osment.

Tak ketinggalan kemunculan lusinan cameo, mulai Ronda Rousey, Emily Ratajkowski, Pharrell Williams, T.I., Jon Favreau, Liam Neeson, Mike Tyson, Kalsey Grammer, Gary Busey, Jessica Alba, Mark Wahlberg, sampai Warren Buffett, tentu menjadikan Entourage tontonan yang semakin menyenangkan.

Pemilihan soundtrack-nya pun patut mendapatkan kredit tersendiri. Mulai genre hip-hop, EDM, hingga alternative rock yang tidak hanya cocok mengiringi adegan-adegannya, tapi juga merepresentasikan filmnya secara keseluruhan: American Dream dan Hollywood’s wilderness.

Well, after all, bagi penonton setia serialnya, Entourage versi layar lebar jelas menjadi sebuah obat kangen yang memuaskan. Pun bagi non penonton serialnya (tapi paham dunia showbiz Hollywood), ia masih bisa jadi jendela rimba Hollywood yang menyenangkan dan menggelikan. Bagi saya, ia juga berhasil membuat saya penasaran untuk mengikuti serialnya. Well, I’ve got 8 seasons to go then.


Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.