The Jose Flash Review
Jurassic World

Sejak dirilis tahun 1993, semua orang setidaknya pernah dengar judul Jurassic Park (JP), dan saya yakin lebih dari separuhnya pernah menonton film sefenomenal itu. Meski bukan menjadi film pertama yang menghadirkan dinosaurus, JP lah yang berhasil menyebarkan demam dinosaurus ke seluruh dunia secara masif. Selain faktor novel karya Michael Crichton yang menjadi dasar cerita film dan teknologi special effect yang mumpuni dalam menghidupkan dinosaurus-dinosaurus ini, Steven Spielberg memang berhasil membuat sebuah film yang setiap adegannya berkesan dan mampu membekas lama dalam benak penontonnya. Tak heran jika JP menyandang gelar klasik dan legendaris sepanjang masa, yang warisannya harus diteruskan ke tiap generasi. Sekuelnya, The Lost World: Jurassic Park juga tak buruk meski tak sekuat dan sememorable JP, begitu juga Jurassic World III yang masih mempan membuat penonton olahraga jantung dan jump on seat sewaktu menontonnya. Setelah 14 tahun sejak film terakhir (serta 22 tahun sejak film pertamanya rilis), ketika generasi penonton pun juga berganti, tentu warisannya perlu diteruskan dan dilestarikan. Bukan sebagai remake, tapi sekuel yang masih punya pertalian cerita dengan seri-seri sebelumnya, namun masih bisa dipahami tanpa menyaksikan seri-seri sebelumnya. Lagipula bagi penonton yang dulu pernah menyaksikan kedahsyatan seri-seri sebelumnya di bioskop, pasti merindukan exciting experience yang pernah dibawa, bukan? Bukan PR yang mudah, mengingat jaman sekarang di mana special effect bukan lagi hal menakjubkan. Apalagi penonton jaman sekarang sudah terbiasa melihat makhluk sebesar dan semengerikan dinosaurus. Perlu lebih dari sekedar pameran special effect yang mumpuni untuk membuat penonton jaman sekarang bisa merasakan kedahsyatan seperti seri pertamanya dulu.

Maka Jurassic World (JW) tak hanya menjadikan PR itu sebagai tujuan utama film, tapi juga memasukkanya sebagai plot utama cerita: creating a new breed of monster, bigger, louder, more teeth, hanya supaya taman hiburan Jurassic World tetap diminati pengunjung. Diciptakanlah hibrida yang mencampurkan berbagai spesies menjadi satu dengan nama Indominus Rex. Secara keseluruhan ide ini memang tidak benar-benar baru. Tak hanya ide dasar cerita ini, tapi juga berbagai elemen penyusunnya, terutama desain-desain karakter manusianya memang sengaja diciptakan untuk resemblance dengan JP pertama. Misalnya saja karakter kakak-adik Zach dan Gray yang mengingatkan kita pada Tim dan Lex Murphy, Owen yang seperti perpaduan Dr. Alan Grant dan Dr. Ian Malcolm, serta Claire yang mirip peran Dr. Ellie Sattler. Tak ada yang salah dengan itu. Toh tujuan utamanya, sekali lagi, adalah ‘melestarikan’ legacy yang ada dan membuat penonton aslinya bernostalgia sambil bersenang-senang. Untuk urusan homage dan tribute ini, Trevorrow dan tim penulis naskah sudah memberikan respect yang luar biasa terhadap seri-seri sebelumnya, dengan polesan yang relevan dan tetap menarik.

Keseluruhan JW memang berhasil membawa penonton kembali ke keseruan JP tentu saja dengan kacamata penonton jaman sekarang. Sutradara Colin Trevorrow (yang mana ini merupakan proyek film besar pertamanya) terbukti mampu menciptakan teror yang setidaknya selevel dengan installment-installment sebelumnya. Tak perlu berlama-lama atau terlalu detail dengan karakter-karakternya maupun menjabarkan teoritis-teoritis ilmiahnya, JW lebih fokus membawa penontonnya seru-seruan berada di dalam taman di pulau terpencil ini. Mulai pertama kali melihat sosok Indominus Rex, sepak terjangnya melahap semua yang dilihatnya, dikejar-kejar Indominus Rex, sampai the final showdown yang membuat penonton film pertamanya kegirangan bak anak kecil karena melibatkan dinosaurus bintang utama di JP. Berkali-kali saya dibuat berteriak, mengumpat, dan berlompatan di kursi, karena adegan-adegan breathtaking-nya yang berhasil.

Tak hanya adegan-adegan mendebarkan yang gripping, saya juga menyukai konsistensi konsep cerita, yaitu tentang kontrol, yang berkali-kali diselipkan dalam dialog dan direlevansikan ke dalam berbagai kondisi. Ini artinya mereka tahu persis apa yang ingin disampaikan dan dikembangkan di installment ini. Tak hanya dalam cerita, tapi juga dalam berbagai konteks lainnya. So bold, and delivered very well on script. Apalagi ternyata, ia juga punya cukup banyak line yang memorable dan bagus.

Namun bukan berarti JW tampil tanpa minus. Ya, saya bisa memahami dan menerima kalau demi menjaga pace cerita, karakter-karakternya tidak begitu diberi perkembangan yang cukup menarik dan dalam, selain yang relevan dengan fokus cerita utama. Tapi yang disayangkan adalah koneksi antar karakternya yang masih sering terasa canggung, terutama antara sibling Zach dan Gray. Untung saja minor ini masih bisa dimaafkan setelah semua yang terjadi sepanjang film. Meski tidak bisa dipungkiri, terutama bagi penonton JP, celah ini sangat terasa.

Untungnya penampilan para aktornya sangat baik membawakan peran masing-masing. Mungkin banyak yang menganggap Chris Pratt masih menjadi Peter Quill di Guardians of the Galaxy, tapi hey bukankah sebenarnya mereka punya karakteristik yang memang mirip? As for me, harus diakui Chris Pratt punya kharisma yang lebih dari cukup untuk menjadi perpaduan Dr. Alan Grant dan Dr. Ian Malcolm, ditambah skill action hero yang kuat. Begitu juga dengan Bryce Dallas Howard yang akhirnya tampil lebih lovable dan memorable ketimbang peran-peran sebelumnya. Even more than Laura Dern has done before. Si cilik Ty Simpkins pun berhasil menarik simpati penonton lebih besar ketimbang Nick Robinson yang berperan sebagai sang kakak, Zach. Tak lupa Vincent D’Onofrio sebagai antagonis Hoskins yang meski tak begitu besar porsinya dibanding yang lain namun cukup memorable. Irrfan Khan yang porsinya juga tak banyak tapi kharismanya begitu terasa dan membuat penonton respect terhadap karakter Simon Masrani. Terakhir, jangan lupakan kehadiran BD Wong sebagai Dr. Henry Wu, satu-satunya karakter dari JP yang kembali muncul di sini.

Secara teknis, bisa dipastikan semua digarap dengan mumpuni. Mulai CGI yang diterapkan untuk most of the dinosaurs and raptors, kecuali beberapa adegan yang katanya menggunakan animatronic, hingga tata suara yang begitu menghidupkan berbagai emosi di semua adegannya. Crisp, dahsyat, tapi tetap jernih. Fasilitas surround pun dimanfaatkan secara maksimal. Score dari Michael Giacchino memberikan warna tersendiri di samping tetap setia pada original score karya John Williams yang ‘emotionally magic’. Tambahan elemen choir di samping orchestra menjadikan emosi epic-nya terasa lebih powerful. Tak ketinggalan sinematografi John Schwartzman yang sudah berpengalaman di banyak film blockbuster dan beberapa kali jadi langganan Michael Bay, yang mampu menerjemahkan teror dengan efektif. Banyak dari adegan ‘jump on seat’ yang disebabkan oleh tata kamera, ketimbang gimmick pop-out 3D-nya.

So yes, nikmati JW as it is, have fun with it! Hidupkan lagi memori pengalaman sinematik luar biasa yang pernah ditawarkan JP, sambil mengestafetkannya ke generasi yang lebih baru. Toh JW melakukannya dengan sangat berhasil. Saya sendiri saja sudah tak sabar untuk mengalaminya lagi, padahal baru sehari.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.