Masih ingat teror video maut yang
bakal membunuh penontonnya jika tidak diteruskan ke orang lain? Premise dari The Ring yang fenomenal itu sudah jarang
diangkat lagi, hingga kali ini muncul sebuah horor indie yang seolah
menggabungkan premise The Ring tersebut
dengan Species. Film berjudul It Follows (IF) ini secara mengejutkan
berhasil memenangkan hati banyak pecinta horor di Amerika Serikat dan mau tidak
mau gaungnya pun terdengar di seluruh dunia. Saya sendiri dibuat penasaran
sedahsyat apakah IF meneror.
Di layar, sebenarnya tidak ada
yang begitu istimewa dari cerita IF. Persis seperti racikan dari cerita The Ring dan Species. So the terror will follow if you don’t pass it on through
sexual intercourse. Terdengar menarik? Tunggu dulu, meski terdengar hot, tapi
adegan-adegannya masih termasuk ‘sopan’ kok. Bahkan seri Species mana pun masih jauh lebih panas. Alih-alih horor yang
mementingkan latar belakang cerita, IF justru membiarkan misterinya tetap
mengambang hingga akhir film. Clue memang disebar di mana-mana yang mungkin
akan tertangkap oleh penonton yang jeli, tapi semua karakternya dibuat
benar-benar clueless. Tak ada cara pasti bagaimana menghilangkan kutukan maupun
melenyapkan makhluk ‘it’ yang selalu mengikuti korbannya. Bahkan kewajiban
untuk ‘pass it on’ melalui sexual intercourse tinggallah mitos belaka. So bagi
penonton yang suka memperhatikan detail mungkin akan bersenang-senang mengamati
dan mendiskusikannya setelah film berakhir. Konsekuensinya, penonton biasa yang
cenderung malas memperhatikan detail dan menganalisis akan dengan mudah mencap
IF geje (tidak jelas).
As for me, IF memang tidak
menyeramkan, tapi saya harus mengakui ada cukup banyak adegan yang sangat
mendebarkan. Dan karena siapa saja bisa diambil wujudnya oleh si makhluk ‘it’
ini, maka siapa saja yang muncul di layar bikin was-was.
Tak hanya itu yang membuat IF jadi
horor yang segmented. Nuansa yang serba retro (era ’60-’80-an) agaknya kurang
mampu menaikkan gairah penonton era sekarang, termasuk pergerakan cerita yang
agak lambat dibanding horor kebanyakan (tapi punya pace yang cukup di adegan-adegan
mendebarkannya), tata kamera yang minim variasi (kebanyakan hanya panning memutar 360 derajat), dan scoring dari Disasterpeace alias Rich Vreeland yang
mengingatkan saya pada horor-horor klasik era ‘70-‘80-an. Bagi saya ini justru sebuah
desain universe yang unik dan mendukung nuansa teror yang ditampilkan. Meski banyak
sekali elemen retro yang ditampilkan, namun ada pula beberapa elemen modern
tapi masih dalam ranah fantasi, misalnya penggunaan sebuah gadget e-book reader
berbentuk clamshell. Ini menandakan IF berada pada universe yang berbeda dengan
dunia nyata dan itu menjadi nilai plus tersendiri.
Menggunakan nama-nama aktor muda
yang belum populer, IF bisa dikatakan cukup berhasil mendongkrak popularitas
aktornya yang bermain cukup menarik di sini kelak. Terutama sekali Maika Monroe yang memang diberi porsi paling dominan. Sementara Jake Weary,
Daniel Zovatto, Keir Gilchrist, Olivia Luccardi, hingga Lili Sepe, menarik namun tidak begitu diberi porsi yang cukup untuk memorable lebih lama di benak penonton.
Well yeah, tidak bisa dipungkiri
IF sebagai horor yang segmented dengan tampilan retro dan cenderung seperti
film horor kelas B. Tapi jelas IF tidak ditulis dengan sembarangan. Ada desain
khusus yang dirancang sedemikian rupa untuk ditemukan oleh penonton yang
peduli. Bahkan kansnya untuk menyandang status cult movie yang dipuja-puja oleh
fans setianya ke depan sangatlah besar.
Lihat data film ini di IMDb.