The Jose Flash Review
It Follows

Masih ingat teror video maut yang bakal membunuh penontonnya jika tidak diteruskan ke orang lain? Premise dari The Ring yang fenomenal itu sudah jarang diangkat lagi, hingga kali ini muncul sebuah horor indie yang seolah menggabungkan premise The Ring tersebut dengan Species. Film berjudul It Follows (IF) ini secara mengejutkan berhasil memenangkan hati banyak pecinta horor di Amerika Serikat dan mau tidak mau gaungnya pun terdengar di seluruh dunia. Saya sendiri dibuat penasaran sedahsyat apakah IF meneror.

Di layar, sebenarnya tidak ada yang begitu istimewa dari cerita IF. Persis seperti racikan dari cerita The Ring dan Species. So the terror will follow if you don’t pass it on through sexual intercourse. Terdengar menarik? Tunggu dulu, meski terdengar hot, tapi adegan-adegannya masih termasuk ‘sopan’ kok. Bahkan seri Species mana pun masih jauh lebih panas. Alih-alih horor yang mementingkan latar belakang cerita, IF justru membiarkan misterinya tetap mengambang hingga akhir film. Clue memang disebar di mana-mana yang mungkin akan tertangkap oleh penonton yang jeli, tapi semua karakternya dibuat benar-benar clueless. Tak ada cara pasti bagaimana menghilangkan kutukan maupun melenyapkan makhluk ‘it’ yang selalu mengikuti korbannya. Bahkan kewajiban untuk ‘pass it on’ melalui sexual intercourse tinggallah mitos belaka. So bagi penonton yang suka memperhatikan detail mungkin akan bersenang-senang mengamati dan mendiskusikannya setelah film berakhir. Konsekuensinya, penonton biasa yang cenderung malas memperhatikan detail dan menganalisis akan dengan mudah mencap IF geje (tidak jelas).

As for me, IF memang tidak menyeramkan, tapi saya harus mengakui ada cukup banyak adegan yang sangat mendebarkan. Dan karena siapa saja bisa diambil wujudnya oleh si makhluk ‘it’ ini, maka siapa saja yang muncul di layar bikin was-was.

Tak hanya itu yang membuat IF jadi horor yang segmented. Nuansa yang serba retro (era ’60-’80-an) agaknya kurang mampu menaikkan gairah penonton era sekarang, termasuk pergerakan cerita yang agak lambat dibanding horor kebanyakan (tapi punya pace yang cukup di adegan-adegan mendebarkannya), tata kamera yang minim variasi (kebanyakan hanya panning memutar 360 derajat), dan scoring dari Disasterpeace alias Rich Vreeland yang mengingatkan saya pada horor-horor klasik era ‘70-‘80-an. Bagi saya ini justru sebuah desain universe yang unik dan mendukung nuansa teror yang ditampilkan. Meski banyak sekali elemen retro yang ditampilkan, namun ada pula beberapa elemen modern tapi masih dalam ranah fantasi, misalnya penggunaan sebuah gadget e-book reader berbentuk clamshell. Ini menandakan IF berada pada universe yang berbeda dengan dunia nyata dan itu menjadi nilai plus tersendiri.

Menggunakan nama-nama aktor muda yang belum populer, IF bisa dikatakan cukup berhasil mendongkrak popularitas aktornya yang bermain cukup menarik di sini kelak. Terutama sekali Maika Monroe yang memang diberi porsi paling dominan. Sementara Jake Weary, Daniel Zovatto, Keir Gilchrist, Olivia Luccardi, hingga Lili Sepe, menarik namun tidak begitu diberi porsi yang cukup untuk memorable lebih lama di benak penonton.


Well yeah, tidak bisa dipungkiri IF sebagai horor yang segmented dengan tampilan retro dan cenderung seperti film horor kelas B. Tapi jelas IF tidak ditulis dengan sembarangan. Ada desain khusus yang dirancang sedemikian rupa untuk ditemukan oleh penonton yang peduli. Bahkan kansnya untuk menyandang status cult movie yang dipuja-puja oleh fans setianya ke depan sangatlah besar.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.