4/5
Chick Flick
Drama
Fantasy
Feel-good
feminism
Hollywood
Romance
The Jose Flash Review
youth
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Age of Adaline
Seorang wanita muda berusia 29
tahun mengalami perlambatan metabolisme tubuh setelah mengalami kecelakaan.
Akibatnya, secara fisik usianya tampak berhenti bertambah, dan kemungkinan
besar… hidup abadi. Ini adalah premise dari The
Age of Adaline (TAoA) yang cukup menarik dan unik. Memang bukan ide yang
benar-benar baru dan orisinal, tapi harus diakui premise cerita seperti itu
masih jarang diangkat dan dieksplor. Belum tentu satu film dalam satu dekade.
Tak sepenuhnya mirip, tapi mungkin ada banyak juga yang langsung teringat
dengan The Curious Case of Benjamin
Button (TCCBB) tahun 2008 lalu. Mungkin karena itulah film bertema mirip
yang paling dekat rentang waktu rilisnya dan cukup dikenal penonton film.
Sebenarnya ada pilihan seperti
apa premise seperti ini bakal dikemas: bisa drama serius dan cenderung mellow,
seperti halnya TCCBB, atau romantic comedy (ditambah lagi nuansa remaja supaya
lebih fresh dan fun) seperti halnya 13
Going On 30 (dulu di Indonesia judulnya menjadi Suddenly 30). Namun rupanya sutradara Lee Toland Krieger (Celeste & Jesse Forever) memilih
untuk berada di antara keduanya. Alhasil, TAoA menjadi sajian drama romantis
yang tak terlalu serius sehingga lebih accessible oleh range penonton yang
lebih luas, namun juga tak jatuh menjadi terlalu slapstick dan teenage. Mungkin
itulah alasan kenapa usia yang dipilih adalah 29.
Masih meng-underline message
memaknai hidup lebih dari sekedar youth dan immortality, nyatanya TCCBB juga
tak mau terbebani dengan cerita yang berat. Dipilihlah romance sebagai rasa
utamanya. Tentu saja dengan bumbu problematika dan dilematik yang relevan
dengan tema youth dan immortality. Nyatanya bumbu-bumbu ini bagi saya cukup
berhasil membuat penonton merasakan dan memikirkan apa yang dialami oleh
Adaline. Rentang waktu penceritaan yang tergolong sangat panjang pun cukup rapi
diringkas, dengan tetap fokus pada setting present day. Sisanya, perjalanan
hidup yang cukup panjang dari Adaline Bowman ditampilkan sebagai flashback dari
adegan present day yang relevan. In the end, keseluruhannya menjadi seperti
kesatuan yang utuh dan esensial dari kisah hidup Adaline Bowman, tentu saja
sesuai dengan fokus message yang ingin disuarakan sejak awal.
Bagi beberapa penonton mungkin
penceritaan yang terfokus pada romance ini terkesan lambat, tanpa lonjakan
dramatis yang cukup signifikan, dan tidak begitu penting. Namun bagi saya ini
adalah cara penyampaian cerita yang sangat efektif kepada range penonton yang
lebih luas. Intinya, keep it simple and very accessible. Tanpa ekspektasi
apa-apa, saya sangat menikmati alurnya yang berjalan santai, terasa manis di
sana-sini, dan secara keseluruhan, feel good. Seperti menikmati film yang
diangkat dari novel Nicholas Spark (mungkin faktor J. Mills Goodloe, salah satu
penulis naskahnya yang memang pernah mengadaptasi novel The Best of Me), namun tentu saja dengan premise yang lebih unik
dan nuansa yang jauh dari menye-menye.
Keberhasilan TAoA tentu tak lepas
dari karakateristik Adaline Bowman yang cukup detail, logis, dan dibawakan
dengan sangat believable dari Blake Lively. Dengan demikian Lively berhasil
membuktikan diri mampu membawa beban peran utama dengan kompleksitas karakter
yang cukup rumit dengan sangat baik. Sementara itu di deretan pemeran
pendukung, Harrison Ford patut mendapat kredit lebih. Dengan screen presence
yang jauh lebih sedikit, namun mampu mengimbangi performa Lively, sekaligus
mencuri perhatian penonton. Penampilan Michiel Huisman sebagai Ellis Jones
mungkin tak begitu istimewa maupun mengesankan, namun juga tak buruk. Begitu
pula Ellen Burstyn sebagai Flemming dan Kathy Baker sebagai Kathy Jones. Above
all, saya patut menyematkan kredit yang cukup besar kepada Anthony Ingruber
sebagai William muda. Ia sangat mencuri perhatian karena kemiripan yang luar
biasa dengan Harrison Ford muda, tak hanya dari segi paras, tapi juga suara dan
kharisma. Keren!
Tak ada yang istimewa dari segi
sinematografi, namun sudah cukup mampu mempresentasikan sesuai kebutuhan
cerita. Keistimewaan justru dihadirkan dari divisi tata suara. Saya dibuat
takjub oleh tata suara yang begitu detail, terutama dalam hal pembagian kanal
surround. Ini sebenarnya jarang menjadi perhatian khusus untuk genre romantic
drama. Apalagi ternyata TAoA mendukung Dolby Atmos dan Auro 11.1. Meski melihat
dari skala filmnya, tidak memungkinkan 2 fasilitas tata suara ini dimanfaatkan
di bioskop-bioskop Indonesia, namun fasilitas surround di studio reguler sudah
lebih dari cukup untuk bisa merasakan detail tata suaranya.
In the end, TAoA adalah sajian
romantic drama dengan premise yang unik dan bumbu manis di sana-sini dengan
takaran yang pas sehingga begitu feel good untuk dinikmati. Tak hanya oleh
penonton wanita, tapi nyatanya juga penonton pria. Toh eternal youth juga
menjadi impian para pria kan?
Lihat data film ini di IMDb.