The Jose Flash Review
Minions

Ketika menyaksikan Despicable Me (DM) pertama tahun 2010, saya sama sekali tidak menyangka kalau karakter-karakter Minion bakal jadi karakter ikonik pop culture seperti sekarang. Selain karena porsinya yang saat itu hanya sekedar comedic gimmick, seperti karakter Scrat di franchise Ice Age, DM pertama sendiri menurut saya bukan termasuk animasi yang terlalu istimewa, meski harus diakui punya storyline yang menarik dan bagus. Baru ketika Despicable Me 2 (DM2), ketika karakter-karakter Minion dieksploitasi lebih, makhluk-makhluk kuning kecil ini mewabah di mana-mana. Mungkin sudah bagian dari strategi, tapi di mata saya kehadiran para minion yang serba konyol dan bodoh, dengan porsi yang sama kuat dengan plot utama Gru dan ketiga putri angkatnya yang lebih ‘dewasa dan serius’, jelas sangat mengganggu. That’s why sejak itu saya jadi sebal dengan para minion hingga tak begitu tertarik untuk menyaksikannya sebagai sajian stand alone, sebuah spin-off bertajuk Minions. Meski harus diakui, DM2 justru sudah berhasil menjadikan para minion predikat salah satu ikon pop culture yang digilai banyak orang, tak hanya anak-anak, tapi juga orang dewasa.

But again, rupanya benar kehadiran minion di seri-seri DM sebagai bagian dari sebuah strategi besar. Setelah menyaksikan hasil akhirnya, saya baru menyadari betapa para minion ini jauh lebih baik berdiri sendiri dalam sebuah film ketimbang menjadi bagian dari DM dan merusaknya. Now I know pasti susah untuk tidak membandingkan Minions dengan kedua installment DM, tapi sebenarnya keduanya punya perbedaan konsep yang sangat besar sehingga tidak adil rasanya untuk melihatnya dengan kacamata yang sama.

Sama seperti kehadirannya di 2 installment DM, para minion masih punya karakteristik yang sama: lucu, menggemaskan, ceroboh, meski sebenarnya cukup cerdas. So yes, di sini pun kita akan disuguhi semua yang ditampillan para minion di DM secara penuh. Artinya kita tidak perlu membagi otak kita untuk mencerna plot Gru dan ketiga putri angkatnya yang lebih bisa dipahami anak-anak di atas 8 tahun, dengan berbagai kelucuan tingkah minion yang mengganggu namun bisa dipahami oleh range usia yang lebih luas, bahkan mulai balita hingga dewasa. Jelas, mengubah cerita dari sudut pandang para minion yang lebih polos dan sederhana, tidak akan bisa menyamai kompleksitas cerita dari sudut pandang Gru dan ketiga putri angkatnya. Jadi sangat aneh dan timpang kalau Anda mencoba untuk membandingkan DM dengan Minions.

Mengubah sudut pandang cerita dari kacamata para minion jelas butuh adjustment penonton remaja dan dewasa yang sudah termindset dengan cerita DM, ke mode yang lebih ringan, bahkan kalau bisa ke pola pikir anak-anak balita yang tak perlu terlalu mencerna untuk menangkap maksudnya, hanya mengikuti alurnya, tertawa karena tingkah-tingkahnya, dan enjoy the ride. Apalagi ternyata ia tetap punya  impact cerita yang cukup besar, dengan adegan-adegan spektakuler sebagai sebuah film layar lebar. Terbukti, dengan cara seperti itu, saya yang dulunya begitu membenci para minion di DM2, balik mencintai mereka. Tidak hanya sekedar mengumbar kekonyolan, kepolosan, dan kecerobohan para minion, kreator sekaligus sutradara Pierre Coffin yang kali ini bekerja sama dengan  Kyle Balda, pada kesempatan ini juga mengajak penonton untuk lebih mengenal minion-minion utama. Saya yang di DM dan DM2 tidak bisa membedakan ciri-ciri fisik dan nama para minion, di sini jadi terasa lebih mengenal dan dekat perbedaannya, terutama 3 karakter utamanya: Bob, Kevin, dan Stuart. Bahkan ada cukup banyak adegan yang membuat saya tersentuh oleh keluguan, kelucuan, namun berhati besar dari para minion ini (terutama sekali, Bob). Karena faktor inilah, saya menjadi berpikir memang benar spin-off Minions ini dibutuhkan untuk membuat kita lebih dekat dan bahkan bisa menyukai mereka apa-adanya, tanpa harus berkompetisi dengan karakter-karakter manusia lainnya di DM.

Jika penonton anak-anak akan dihibur habis-habisan oleh tingkah para minion tanpa perlu banyak pencernaan, Coffin masih memberikan cukup banyak joke-joke bereferensi untuk men-treat (baca: menghibur) penonton yang lebih dewasa (tentu saja itupun jika penonton dewasanya paham yang dimaksud), seperti tradisi minum teh orang Inggris, kontroversi kejadian nyata saat itu (tahun 1968), sampai cameo dari berbagai icon musik tahun 70-an, mulai Jimi Hendrix sampai The Beatles. Oh ya, kalau Anda termasuk penggemar The Beatles, rugi kalau sampai melewatkan after credit scene-nya!

Sayangnya dominasi para minion yang jelas mencuri layar tidak memberikan ruang yang cukup untuk karakter-karakter lainnya, termasuk sang villain utama, Scarlet Overkill dan Herb Overkill yang diisi suaranya oleh Sandra Bullock dan John Hamm. Alhasil plot utamanya pun menjadi sekedar tempelan dan karakter Scarlet & Herb terkesan asal ada. Tak heran jika lantas keduanya juga terkesan tidak jahat dan mengundang kepedulian penonton untuk dibenci dan dikalahkan. Selain dari mereka berdua, penampilan Jennifer Saunders sebagai Ratu Elizabeth, Michale Keaton sebagai Walter Nelson, dan Allison Janney sebagai Madge, yang meski screentime-nya tak banyak tapi cukup berkesan.

Aspek lain yang patut mendapatkan kredit lebih adalah tata suaranya yang begitu detail, hidup, dan memanfaatkan fasilitas Dolby Atmos dengan cukup maksimal. Dengarkan saja, misalnya saat para minion sedang koor yang terasa sekali perbedaan arahnya. Penggunaan lagu-lagu rock n roll era 70’an, mulai The Kinks, The Who, Jimi Hendrix, dan The Beatles, jelas menjadi nilai tambah tersendiri, terutama bagi penonton dewasa yang relate.

Oh yes, dengan berbagai formulanya, Minions jelas punya target audience yang jauh lebih luas, termasuk balita, dan itu artinya more money. Terlebih lagi bagi penonton Indonesia yang ‘rasa kebanggaannya’ masih mudah dibeli oleh elemen-elemen ke-Indonesia-an di film Hollywood. Coffin menyadari itu dan berkat darah Indonesia yang dimilikinya (seperti yang sudah dipublikasikan sejak promo DM2, Coffin putra dari penulis novel Indonesia, N.H. Dini), Coffin semakin memaksimalkan potensi itu dengan memasukkan lebih banyak kata-kata berbahasa Indonesia sebagai bagian dari bahasa Minion, berpadu terutama dengan bahasa Spanyol. So yes, I bet Minions will be easily become Hollywood’s number 1 hits in 2015 in Indonesia. And I think it quite deserves it.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.