3.5/5
Action
Adventure
Animation
Blockbuster
Box Office
Comedy
Family
Franchise
Hollywood
Kids
Pop-Corn Movie
Spin-off
Summer Movie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Minions
Ketika menyaksikan Despicable Me (DM) pertama tahun 2010,
saya sama sekali tidak menyangka kalau karakter-karakter Minion bakal jadi
karakter ikonik pop culture seperti sekarang. Selain karena porsinya yang saat
itu hanya sekedar comedic gimmick, seperti karakter Scrat di franchise Ice Age, DM pertama sendiri menurut saya
bukan termasuk animasi yang terlalu istimewa, meski harus diakui punya
storyline yang menarik dan bagus. Baru ketika Despicable Me 2 (DM2), ketika karakter-karakter Minion
dieksploitasi lebih, makhluk-makhluk kuning kecil ini mewabah di mana-mana.
Mungkin sudah bagian dari strategi, tapi di mata saya kehadiran para minion
yang serba konyol dan bodoh, dengan porsi yang sama kuat dengan plot utama Gru
dan ketiga putri angkatnya yang lebih ‘dewasa dan serius’, jelas sangat
mengganggu. That’s why sejak itu saya jadi sebal dengan para minion hingga tak
begitu tertarik untuk menyaksikannya sebagai sajian stand alone, sebuah
spin-off bertajuk Minions. Meski
harus diakui, DM2 justru sudah berhasil menjadikan para minion predikat salah
satu ikon pop culture yang digilai banyak orang, tak hanya anak-anak, tapi juga
orang dewasa.
But again, rupanya benar
kehadiran minion di seri-seri DM sebagai bagian dari sebuah strategi besar.
Setelah menyaksikan hasil akhirnya, saya baru menyadari betapa para minion ini
jauh lebih baik berdiri sendiri dalam sebuah film ketimbang menjadi bagian dari
DM dan merusaknya. Now I know pasti susah untuk tidak membandingkan Minions dengan kedua installment DM,
tapi sebenarnya keduanya punya perbedaan konsep yang sangat besar sehingga
tidak adil rasanya untuk melihatnya dengan kacamata yang sama.
Sama seperti kehadirannya di 2
installment DM, para minion masih punya karakteristik yang sama: lucu,
menggemaskan, ceroboh, meski sebenarnya cukup cerdas. So yes, di sini pun kita
akan disuguhi semua yang ditampillan para minion di DM secara penuh. Artinya
kita tidak perlu membagi otak kita untuk mencerna plot Gru dan ketiga putri
angkatnya yang lebih bisa dipahami anak-anak di atas 8 tahun, dengan berbagai
kelucuan tingkah minion yang mengganggu namun bisa dipahami oleh range usia
yang lebih luas, bahkan mulai balita hingga dewasa. Jelas, mengubah cerita dari
sudut pandang para minion yang lebih polos dan sederhana, tidak akan bisa menyamai
kompleksitas cerita dari sudut pandang Gru dan ketiga putri angkatnya. Jadi
sangat aneh dan timpang kalau Anda mencoba untuk membandingkan DM dengan Minions.
Mengubah sudut pandang cerita
dari kacamata para minion jelas butuh adjustment penonton remaja dan dewasa
yang sudah termindset dengan cerita DM, ke mode yang lebih ringan, bahkan kalau
bisa ke pola pikir anak-anak balita yang tak perlu terlalu mencerna untuk
menangkap maksudnya, hanya mengikuti alurnya, tertawa karena
tingkah-tingkahnya, dan enjoy the ride. Apalagi ternyata ia tetap punya impact cerita yang cukup besar, dengan
adegan-adegan spektakuler sebagai sebuah film layar lebar. Terbukti, dengan
cara seperti itu, saya yang dulunya begitu membenci para minion di DM2, balik mencintai
mereka. Tidak hanya sekedar mengumbar kekonyolan, kepolosan, dan kecerobohan
para minion, kreator sekaligus sutradara Pierre Coffin yang kali ini bekerja
sama dengan Kyle Balda, pada
kesempatan ini juga mengajak penonton untuk lebih mengenal minion-minion utama.
Saya yang di DM dan DM2 tidak bisa membedakan ciri-ciri fisik dan nama para
minion, di sini jadi terasa lebih mengenal dan dekat perbedaannya, terutama 3
karakter utamanya: Bob, Kevin, dan Stuart. Bahkan ada cukup banyak adegan yang
membuat saya tersentuh oleh keluguan, kelucuan, namun berhati besar dari para
minion ini (terutama sekali, Bob). Karena faktor inilah, saya menjadi berpikir
memang benar spin-off Minions ini
dibutuhkan untuk membuat kita lebih dekat dan bahkan bisa menyukai mereka
apa-adanya, tanpa harus berkompetisi dengan karakter-karakter manusia lainnya
di DM.
Jika penonton anak-anak akan
dihibur habis-habisan oleh tingkah para minion tanpa perlu banyak pencernaan,
Coffin masih memberikan cukup banyak joke-joke bereferensi untuk men-treat
(baca: menghibur) penonton yang lebih dewasa (tentu saja itupun jika penonton
dewasanya paham yang dimaksud), seperti tradisi minum teh orang Inggris, kontroversi
kejadian nyata saat itu (tahun 1968), sampai cameo dari berbagai icon musik
tahun 70-an, mulai Jimi Hendrix sampai The Beatles. Oh ya, kalau Anda termasuk
penggemar The Beatles, rugi kalau sampai melewatkan after credit scene-nya!
Sayangnya dominasi para minion yang jelas mencuri layar tidak memberikan ruang yang cukup untuk karakter-karakter lainnya, termasuk sang villain utama, Scarlet Overkill dan Herb Overkill yang diisi suaranya oleh Sandra Bullock dan John Hamm. Alhasil plot utamanya pun menjadi sekedar tempelan dan karakter Scarlet & Herb terkesan asal ada. Tak heran jika lantas keduanya juga terkesan tidak jahat dan mengundang kepedulian penonton untuk dibenci dan dikalahkan. Selain dari mereka berdua, penampilan Jennifer Saunders sebagai Ratu Elizabeth, Michale Keaton sebagai Walter Nelson, dan Allison Janney sebagai Madge, yang meski screentime-nya tak banyak tapi cukup berkesan.
Aspek lain yang patut mendapatkan kredit lebih adalah tata suaranya yang begitu detail, hidup, dan memanfaatkan fasilitas Dolby Atmos dengan cukup maksimal. Dengarkan saja, misalnya saat para minion sedang koor yang terasa sekali perbedaan arahnya. Penggunaan lagu-lagu rock n roll era 70’an, mulai The Kinks, The Who, Jimi Hendrix, dan The Beatles, jelas menjadi nilai tambah tersendiri, terutama bagi penonton dewasa yang relate.
Oh yes, dengan berbagai formulanya, Minions jelas punya target audience yang jauh lebih luas, termasuk balita, dan itu artinya more money. Terlebih lagi bagi penonton Indonesia yang ‘rasa kebanggaannya’ masih mudah dibeli oleh elemen-elemen ke-Indonesia-an di film Hollywood. Coffin menyadari itu dan berkat darah Indonesia yang dimilikinya (seperti yang sudah dipublikasikan sejak promo DM2, Coffin putra dari penulis novel Indonesia, N.H. Dini), Coffin semakin memaksimalkan potensi itu dengan memasukkan lebih banyak kata-kata berbahasa Indonesia sebagai bagian dari bahasa Minion, berpadu terutama dengan bahasa Spanyol. So yes, I bet Minions will be easily become Hollywood’s number 1 hits in 2015 in Indonesia. And I think it quite deserves it.
Lihat data film ini di IMDb.