The Jose Movie Review
Wreck-It Ralph


Overview

Nostalgia tampaknya sedang menjadi semacam trend ide cerita di Hollywood. Selain berbagai film dari masa era 80-90’an yang di-reborn dengan gaya baru, lengkap dengan aneka tribute dari original material-nya, ada juga materi cerita baru yang mengambil banyak sekali referensi dari budaya pop masa lampau. Terakhir sebut saja Ted yang paling terasa tribute-nya. Walt Disney tak mau ketinggalan merilis film bertema nostalgia melalui animasi panjang ketiganya tahun ini setelah Brave musim panas lalu mendapat sambutan yang biasa saja serta Frankenweenie yang meski mendapat banyak pujian kritikus namun hasil box office-nya ternyata juga biasa saja.
Membaca premise-nya, saya jadi teringat premise Toy Story (TS) yang menjadi komoditas Disney-Pixar paling menguntungkan atau Who Framed Roger Rabbit? (WFRR). Hanya saja jika TS mengangkat kehidupan paramainan ketika sedang tidak dimainkan dan WFRR tentang karakter-karakter kartun, Wreck-It Ralph (WIR) mengajak penonton berfantasi bagaimana kehidupan karakter-karakter video game ketika mesin console dimatikan.  Tentu saja meski punya premise yang sama, hanya beda di subjeknya, ketiganya mempunyai esensi yang jauh berbeda.
WIR dibuka oleh perkenalan karakter-karakter utama dan kehidupannya yang tervisualisasi dengan sangat menarik. Penonton dibawa ke dunia 8-bit yang saat ini sering disebut pixelate melalui game fiktif Fix-It Felix, Jr.  Lantas perkenalan dilanjutkan ke alam dimana para karakter-karakter dari berbagai video game ber-“sosialisasi”. Remind me of Monsters, Inc.’s realm tetapi jauh lebih menarik karena kita bisa melihat aneka karakter game dari era 30 tahun silam hingga sekarang yang tampil sebagai cameo. Mulai Pac-Man, Street Fighter, Sonic the Hedgehog, Q*bert, Tapper, hingga Mortal Kombat. Bagi “generasisekarang” jangan takut tidak nyambung karena beberapa game dijelaskan sekilas cara memainkannya. Bagi yang familiar, of course it was already a big gems itself.
Petualangan karakter utama kita, Ralph, yang sedang mencari jati diri (disimbolkan dengan medali emas) lantas membawa kita ke alam-alam video game yang jauh berbeda : luar angkasa di Hero’s Duty dan candyland di game fiktif Sugar Rush. Variasi “alam” yang ditampilkan tentu menjadi daya tarik utama bagi WIR,  selain tentu saja perkembangan cerita dan karakter Ralph sendiri. Berbagai humor  cerdas seperti plesetan kata juga menghiasi hampir sepanjang film dan saya rasa cukup berhasil memancing tawa (tentu saja bagi penonton yang mengerti dialog Bahasa Inggris-nya). Chemistry antara Ralph danVanellope yang awalnya saling bermusuhan tetapi ternyata punya persamaan tujuan, terbangun dengan lancar melalui proses dan penggambaran yang cukup realistis.
Sayangnya entah kenapa menurut saya alur cerita yang  sudah terbangun dengan sangat baik dan menarik sejak awal terasa kendur di pertengahan. Ada kalanya saya merasa bosan dan tidak begitu tertarik dengan alurnya di tengah-tengah, terutama ketika melibatkan sang villain, King Candy. Mungkin faktor konflik antara Ralph-King Candy dan Vanellope-King Candy yang  penceritaannya kurang atraktif (atau kurang efektif?),  atau bisa jadi karena kurangnya kedalaman emosi yang potensial untuk digali. Mungkin juga karena saking terlalu cepatnya alur dan hingar bingar di mana-mana  sehingga tidak cukup ruang untuk mengundang simpati penonton.Jangankan menyamai kedalaman emosi TS,  dibandingkan Shrek saja masih terasa sangat kurang. Menjelang klimaks hingga ending, thankfully it was back on track dan setidaknya berhasil memuaskan secara keseluruhan. It was fun, has several of its moments, and a little piece of heart as well. WIR bisa jadi franchise baru yang sangat potensial bagi Disney di kemudian hari. Semoga saja kekurangan yang terasa di installment pertama ini bisa diperbaiki di installment-installment berikutnya.
P.S. : seperti film-film panjang Disney lainnya, ada sebuah film pendek yang ditayangkan sebelum film utama. Kali ini mereka menyelipkan film pendek, hitam-putih (plus merah), dan bisu, berjudul Paperman. Sebuah animasi dengan cerita sederhana tetapi very sweet. Malahan jauh lebih banyak mencuri hati saya ketimbang film utamanya sendiri. Teknik animasi yang unik, gaya gambar animasi 2D khas Disney classic dengan kedalaman 3D. It’s beautiful, don’t miss it!

The Casts

Aktor yang bisa berakting serius maupun komedik dengan sama baiknya, John C. Reilly,  cocok sekali dengan karakter Ralph yang beraura penjahat sekaligus komedik disaat yang sama. Just like Shrek, very lovable. Sementara Sarah Silverman (Vanellope), Jack McBrayer (Felix), Jane Lynch (Calhoun), dan Alan Tudyk (King Candy) juga mengisi peran masing-masing dengan pas meski tidak terlalu istimewa juga.

Technical

Selain visualisasi aneka alam yang menarik, atmosfer masing-masing alam juga terasa hidup berkat aneka atributnya. Misalnya saja pergerakan karakter di alam 8-bit yang patah-patah,  suasana suram, menegangkan, serta dinamis di alam Hero’s Duty, dan colorful diSugar Rush. Lihat juga tampilan animasi 3D dari bercak kue tart yang masih sangat terasa 8-bit-nya di alam Fix-It Felix, Jr. Perpaduan dua dunia yang menarik sekali.
Efek 3D yang ditawarkan cukup terasa, baik depth of field maupun pop-out gimmick yang lumayan banyak. But after all, I assure you will only realize some of the effects due to focusing on the storyline.
Henry Jackman yang pernah menggarap score untuk Monsters vs Aliens, film-film animasi pendek Kungfu Panda, dan Puss in Boots tahu betul bagaimana menghidupkan suasana fun untuk film animasi. Ditambah single dari Owl City dan Skrillex yang cocok sekali untuk ilustrasi musik game. Tak ketinggalan girlband Jepang, AKB48 membawakan theme song dari game fiktif Sugar Rush yang cukup ear-catchy di telinga saya.

The Essence

Ada kerancuan esensi yang saya rasakan sepanjang film. Awalnya saya berpikir WIR  ingin menyampaikan esensi bahwa yang tampak jahat belum tentu benar-benar jahat, begitu juga sebaliknya. Karakter Felix (dan karakter-karakter warga alam Fix-It Felix, Jr.) yang  notabene heroine, justru memperlakukan Ralph dengan buruk. Sementara Ralph yang di dalam game dijadikan musuh, seperti terperangkap takdirnya yang harus menjadi jahat.  Padahal sebenarnya ia bosan menjadi penjahat. Kontradiksi dua kubu yang berbanding terbalik dengan peran dalam game.
Seiring dengan berjalannya film, saya merasakan tema “kebaikan tidak akan terasa baik jika tidak ada kejahatan”. Semacam pembelaan dari kaum penjahat yang telah lama tercetus. Lantas saya berpikir, wow berani sekali Walt Disney menyelipkan esensi seperti ini ke dalam  film yang audience utamanya anak-anak.
Menjelang akhir baru terasa esensi utamanya : tidak peduli seberapa jahatnya seseorang bagi suatu pihak, ia bisa saja menjadi pahlawan bagi pihak yang lain. Baik-jahat hanyalah masalah sudut pandang saja.

They who will enjoy this the most

  • Game freaks, especially from the 80’s until early 2000’s
  • General audiences who seek for a fun and entertaining movie

Academy Awards 2013 Nominees for :

  • Best Animated Feature Film of the Year

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.