The Jose Movie Review
Hello Goodbye


Overview

Korea. Jujur, mendengar nama negara itu saja sudah cukup membuat saya eneg. Bukannya membenci, tetapi kultur pop negeri Korea Selatan bisa begitu booming (baca : overrated) meski sebenarnya di mata saya sama sekali tidak ada keren-kerennya. Tak hanya fenomena K-Pop, saya juga cenderung menjauhi drama-drama Korea yang notabene menye-menye dan klise. Tetapi begitu membaca nama Titien Wattimena yang menulis sekaligus untuk pertama kalinya menyutradarai film layar lebar, tentu minat saya untuk menyaksikan Hello Goodbye (HG) menjadi sedikit muncul, meski tetap bukan prioritas di list tontonan saya.

First of all, HG adalah drama romansa yang gaya penceritaannya lambat, dibangun melalui detail-detail adegan dimana mungkin bagi penonton yang sudah terbiasa dengan pace film-film Hollywood, terasa tidak begitu penting dan membosankan. Bahasa gambar dan dialog menjadi kunci sekaligus kekuatan cerita. Intinya, khas film independen (festival) atau Eropa sekali. Belakangan saya baru mengetahui dari seorang teman bahwa gaya penceritaan yang lambat seperti ini memang juga khas drama dewasa Korea Selatan banget. Oh jadi memang sengaja dibuat dengan gaya Korea… Ok, not a big deal. Toh nyatanya walau kisahnya tergolong biasa untuk sebuah drama romansa, saya masih bisa menikmatinya hingga akhir film.

Meski bergaya Korea, tetapi Titien yang sudah menulis naskah untuk berbagai judul film Indonesia hits seperti Tanda Tanya, Mengejar Matahari, Love, In the Name of Love, From Bandung with Love, Minggu Pagi di Victoria Park, dan Kebun Binatang, tetap mempertahankan ke-khas-an tulisannya : dialog-dialog cerdas, tajam dan kadang menggelitik serta tentu saja esensi yang jauh lebih menarik ketimbang plotnya sendiri. Di situlah letak kekuatan utama HG sehingga terasa lebih berbobot ketimbang drama romansa biasa.

Speaking of romance, maaf saja saya tidak begitu menyukai HG sebagai sebuah drama romantis. Entah bagaimana, saya tidak merasakan aura-aura romantis yang terjalin wajar. Kejanggalan yang paling saya rasakan adalah begitu jauh gap perubahan sikap antara karakter lovebirds kita yang awalnya saling membenci, Abi dan Indah. Seandainya proses perubahan ini ditata dengan lebih wajar, masuk akal, dan tidak langsung drastis, HG akan menjadi film drama Indonesia paling romantis tahun ini. But I don’t know, karena ada banyak juga teman yang dapat merasakan aura-aura romantis di HG. So, I guess it’s only about subjective preference differential and you better experience it yourself since the results may vary.

But in other way, saya menangkap HG bukan sebagai film percintaan tetapi sebuah film yang mengangkat isu pandangan hidup yang untungnya jauh lebih menarik di mata saya. Plot percintaan hanyalah bumbu yang menjadi “buah” dari bertemunya dua pandangan hidup yang berbeda tersebut. Beberapa detail adegan menguatkan konsep pandangan hidup tersebut dengan sangat kuat, misalnya betapa bosannya karakter Indah yang tinggal di kota sekecil Busan hingga membuat boneka dari tiap orang yang ditemuinya untuk mengisi waktu. Juga karakter teman Indah (diperankan Kennes Andari) di hampir penghujung film yang dihadapkan pada pandangan hidupnya soal masa depan. Begitu pula buku yang dibaca Indah dan hampir keseluruhan dialog. Memang lantas perkembangan isu pandangan hidup ini tidak terangkai dengan jelas hingga tiba-tiba sampai pada sebuah keputusan bagi Abi dan Indah, but at least it stays on my mind and keep me thinking about it.

Akhirnya sebagai sebuah film utuh, HG di mata saya mungkin bukan film yang begitu mengesankan. Namun saya tidak memungkiri kalau ada banyak hal yang memorable di benak saya, terutama quote dan beberapa detail-detail teknis. You know that kind of movie: personally you don’t really like the movie but you always remember some aspects of it, absolutely in a positive way.

The Casts

Atiqah Hasiholan sangat menonjol sepanjang film dan dia membawa beban tersebut dengan sangat baik, terutama di awal-awal cerita. Sementara Rio Dewanto masih kalah pesona ketimbang sang kekasih dan masih memainkan peran tipikal tetapi masih tergolong baik. Status sebagai sepasang kekasih di dunia nyata tentu membuat keduanya tidak sulit membangun chemistry. Tetapi patut diingat bahwa di awal cerita, chemistry antara keduanya seharusnya bertolak belakang dengan kehidupan nyata, tetapi mereka berdua mengemban tugas tersebut dengan sangat baik. Sejenak saya lupa bahwa mereka berdua memang sepasang kekasih. Kekurangan yang ada bukan soal chemistry keduanya yang kurang, tetapi lebih ke skrip.

Selain dari mereka berdua, tidak ada pemeran lain yang tampil menonjol apalagi menjadi screen stealer. Mungkin satu-dua kali penampilan sahabat-sahabat Indah seperti yang diperankan Kennes Andari dan Verdi Solaiman menarik perhatian berkat porsi skrip (terutama adegan makan malam dengan dialog campur-campurnya itu), namun secara keseluruhan masih terasa seperti pelengkap semata. Apalagi penampilan Eru, bintang Korea yang baru saya dengar namanya ketika menonton HG. Ia hanya tampil sebagai cameo yang mungkin dipasang untuk menambah nilai jual film ini. But that’s okay asal tidak mengganggu jalan cerita secara keseluruhan.

Technical

Ini dia bagian yang paling menarik karena di mata saya HG memang memiliki banyak kekuatan di segi teknis. Yang paling saya ingat adalah sinematografinya yang berhasil menampilkan gambar-gambar indah. Tidak hanya berkat setting lokasi panorama yang memang sudah indah, tetapi juga gambar-gambar adegan medium shot dan close up yang tidak mengandalkan setting. My favorite one was when Indah playing two dolls in the left and right side, while her face was right in the middle. Mata ketiganya seakan berada dalam satu garis. Menarik, unik, dan sangat sinematik. Apalagi didukung penggunaan aspect ratio yang terasa lebih lebar ketimbang film Indonesia kebanyakan.

Dari segi tata suara juga diperhatikan dengan sangat baik. Meski bergenre drama yang tidak membutuhkan banyak detail tata suara, nyatanya sound HG terasa hidup. Belum lagi efek surroundnya juga ternyata dimanfaatkan maksimal. Sayang ada  beberapa dialog tidak terdengar dengan jelas tetapi jumlahnya tak banyak.

Pakar score film Indonesia, Raymondo Gascaro kali ini tidak banyak mengumbar aneka bunyi-bunyian unik seperti biasanya. Cukup dentingan piano sederhana yang mengiringi kesunyian dari mayoritas adegan. Hasilnya cukup menyatu dengan gambar dan berhasil menghidupkan emosi. Penampilan paduan suara anak yang membawakan lagu Natal dalam bahasa Korea menjadi bonus manis tersendiri. Sementara lagu soundtrack Blackglasses yang dibawakan Eru dan Atiqah Hasiholan sedianya bukan tipikal lagu kesukaan saya, tetapi harus diakui alunannya terus teresonansi dalam benak.

The Essence

Ada dua pandangan hidup yang bertolak belakang terepresentasi dalam film : yang satu terfokus pada tujuan hingga lupa untuk menikmati dan memperhatikan tiap prosesnya, yang lainnya terlalu nyaman menikmati tiap menit kehidupan hingga mengabaikan tujuan. Ketika keduanya bertemu, wajar jika konfrontasi terjadi hingga keduanya berada pada satu titik temu dan akhirnya saling melengkapi. Konsep perjumpaan-perpisahan dan cinta yang terjalin di sini dilandaskan pada pertemuan dua pandangan hidup tersebut.

They who will enjoy this the most

  • Penonton yang sudah terbiasa dengan film drama ala festival, Eropa, maupun drama romansa Korea dewasa
  • Penonton yang suka menganalisis film lewat bahasa gambar dan dialog
Diberdayakan oleh Blogger.