3/5
Drama
Festival
Indonesia
Personality
Romance
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Hello Goodbye
Overview
Korea. Jujur, mendengar nama
negara itu saja sudah cukup membuat saya eneg. Bukannya membenci,
tetapi kultur pop negeri Korea Selatan bisa begitu booming (baca : overrated) meski sebenarnya di mata saya sama sekali tidak ada keren-kerennya. Tak
hanya fenomena K-Pop, saya juga cenderung menjauhi drama-drama Korea yang
notabene menye-menye dan klise. Tetapi begitu membaca nama Titien Wattimena
yang menulis sekaligus untuk pertama kalinya menyutradarai film layar lebar,
tentu minat saya untuk menyaksikan Hello
Goodbye (HG) menjadi sedikit muncul, meski tetap bukan prioritas di list
tontonan saya.
First of all, HG adalah drama
romansa yang gaya penceritaannya lambat, dibangun melalui detail-detail adegan
dimana mungkin bagi penonton yang sudah terbiasa dengan pace film-film
Hollywood, terasa tidak begitu penting dan membosankan. Bahasa gambar dan
dialog menjadi kunci sekaligus kekuatan cerita. Intinya, khas film independen
(festival) atau Eropa sekali. Belakangan saya baru mengetahui dari seorang teman bahwa
gaya penceritaan yang lambat seperti ini memang juga khas drama dewasa Korea Selatan
banget. Oh jadi memang sengaja dibuat dengan gaya Korea… Ok, not a big deal.
Toh nyatanya walau kisahnya tergolong biasa untuk sebuah drama romansa, saya masih
bisa menikmatinya hingga akhir film.
Meski bergaya Korea, tetapi
Titien yang sudah menulis naskah untuk berbagai judul film Indonesia hits
seperti Tanda Tanya, Mengejar Matahari, Love, In the Name of Love,
From Bandung with Love, Minggu Pagi di Victoria Park, dan Kebun Binatang, tetap mempertahankan
ke-khas-an tulisannya : dialog-dialog cerdas, tajam dan kadang menggelitik
serta tentu saja esensi yang jauh lebih menarik ketimbang plotnya sendiri. Di
situlah letak kekuatan utama HG sehingga terasa lebih berbobot ketimbang drama
romansa biasa.
Speaking of romance, maaf saja
saya tidak begitu menyukai HG sebagai sebuah drama romantis. Entah bagaimana,
saya tidak merasakan aura-aura romantis yang terjalin wajar. Kejanggalan yang
paling saya rasakan adalah begitu jauh gap perubahan sikap antara karakter lovebirds
kita yang awalnya saling membenci, Abi dan Indah. Seandainya proses perubahan
ini ditata dengan lebih wajar, masuk akal, dan tidak langsung drastis, HG akan
menjadi film drama Indonesia paling romantis tahun ini. But I don’t know,
karena ada banyak juga teman yang dapat merasakan aura-aura romantis di HG. So,
I guess it’s only about subjective preference differential and you better
experience it yourself since the results may vary.
But in other way, saya menangkap
HG bukan sebagai film percintaan tetapi sebuah film yang mengangkat isu
pandangan hidup yang untungnya jauh lebih menarik di mata saya. Plot percintaan
hanyalah bumbu yang menjadi “buah” dari bertemunya dua pandangan hidup yang
berbeda tersebut. Beberapa detail adegan menguatkan konsep pandangan hidup
tersebut dengan sangat kuat, misalnya betapa bosannya karakter Indah yang
tinggal di kota sekecil Busan hingga membuat boneka dari tiap orang yang
ditemuinya untuk mengisi waktu. Juga karakter teman Indah (diperankan Kennes Andari) di hampir
penghujung film yang dihadapkan pada pandangan hidupnya soal masa depan. Begitu pula buku yang dibaca Indah dan hampir keseluruhan dialog. Memang
lantas perkembangan isu pandangan hidup ini tidak terangkai dengan jelas hingga
tiba-tiba sampai pada sebuah keputusan bagi Abi dan Indah, but at least it stays
on my mind and keep me thinking about it.
Akhirnya sebagai sebuah film
utuh, HG di mata saya mungkin bukan film yang begitu mengesankan. Namun saya tidak
memungkiri kalau ada banyak hal yang memorable di benak saya, terutama quote
dan beberapa detail-detail teknis. You know that kind of movie: personally you
don’t really like the movie but you always remember some aspects of it,
absolutely in a positive way.
The Casts
Atiqah Hasiholan sangat menonjol
sepanjang film dan dia membawa beban tersebut dengan sangat baik, terutama di
awal-awal cerita. Sementara Rio Dewanto masih kalah pesona ketimbang sang
kekasih dan masih memainkan peran tipikal tetapi masih tergolong baik. Status
sebagai sepasang kekasih di dunia nyata tentu membuat keduanya tidak sulit membangun
chemistry. Tetapi patut diingat bahwa di awal cerita, chemistry antara keduanya
seharusnya bertolak belakang dengan kehidupan nyata, tetapi mereka berdua
mengemban tugas tersebut dengan sangat baik. Sejenak saya lupa bahwa mereka
berdua memang sepasang kekasih. Kekurangan yang ada bukan soal chemistry
keduanya yang kurang, tetapi lebih ke skrip.
Selain dari mereka berdua, tidak
ada pemeran lain yang tampil menonjol apalagi menjadi screen stealer. Mungkin
satu-dua kali penampilan sahabat-sahabat Indah seperti yang diperankan Kennes Andari dan Verdi Solaiman menarik perhatian
berkat porsi skrip (terutama adegan makan malam dengan dialog campur-campurnya itu), namun secara keseluruhan masih terasa seperti pelengkap
semata. Apalagi penampilan Eru, bintang Korea yang baru saya dengar namanya
ketika menonton HG. Ia hanya tampil sebagai cameo yang mungkin dipasang untuk
menambah nilai jual film ini. But that’s okay asal tidak mengganggu jalan
cerita secara keseluruhan.
Technical
Ini dia bagian yang paling
menarik karena di mata saya HG memang memiliki banyak kekuatan di segi teknis.
Yang paling saya ingat adalah sinematografinya yang berhasil menampilkan
gambar-gambar indah. Tidak hanya berkat setting lokasi panorama yang memang
sudah indah, tetapi juga gambar-gambar adegan medium shot dan close up yang
tidak mengandalkan setting. My favorite one was when Indah playing two dolls in
the left and right side, while her face was right in the middle. Mata ketiganya
seakan berada dalam satu garis. Menarik, unik, dan sangat sinematik. Apalagi
didukung penggunaan aspect ratio yang terasa lebih lebar ketimbang film
Indonesia kebanyakan.
Dari segi tata suara juga
diperhatikan dengan sangat baik. Meski bergenre drama yang tidak membutuhkan
banyak detail tata suara, nyatanya sound HG terasa hidup. Belum lagi efek
surroundnya juga ternyata dimanfaatkan maksimal. Sayang ada beberapa dialog tidak terdengar dengan jelas
tetapi jumlahnya tak banyak.
Pakar score film Indonesia,
Raymondo Gascaro kali ini tidak banyak mengumbar aneka bunyi-bunyian unik
seperti biasanya. Cukup dentingan piano sederhana yang mengiringi kesunyian
dari mayoritas adegan. Hasilnya cukup menyatu dengan gambar dan berhasil
menghidupkan emosi. Penampilan paduan suara anak yang membawakan lagu Natal
dalam bahasa Korea menjadi bonus manis tersendiri. Sementara lagu soundtrack Blackglasses yang dibawakan Eru dan Atiqah
Hasiholan sedianya bukan tipikal lagu kesukaan saya, tetapi harus diakui
alunannya terus teresonansi dalam benak.
The Essence
Ada dua pandangan hidup yang
bertolak belakang terepresentasi dalam film : yang satu terfokus pada tujuan
hingga lupa untuk menikmati dan memperhatikan tiap prosesnya, yang lainnya
terlalu nyaman menikmati tiap menit kehidupan hingga mengabaikan tujuan. Ketika
keduanya bertemu, wajar jika konfrontasi terjadi hingga keduanya berada pada
satu titik temu dan akhirnya saling melengkapi. Konsep perjumpaan-perpisahan
dan cinta yang terjalin di sini dilandaskan pada pertemuan dua pandangan hidup
tersebut.
They who will enjoy this the most
- Penonton yang sudah terbiasa dengan film drama ala festival, Eropa, maupun drama romansa Korea dewasa
- Penonton yang suka menganalisis film lewat bahasa gambar dan dialog