3/5
Drama
Drugs
Friendship
Indonesia
The Jose Movie Review
Thriller
Urban
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Loe Gue End
Overview
Sudah
bosankah Anda melihat atau mendengar kampanye anti-narkoba dan
berbagai bentuk “penyuluhan”-nya? Saya sudah... sejak SMA.
“Penyuluhan” lewat media film (atau sinetron/ILM atau media
cerita naratif apapun) sudah tak terhitung lagi frekuensinya
didaur-ulang. Namun nyatanya narkoba masih menjadi masalah sosial
yang tak kunjung menemui titik terang hingga kini. Well, maybe the
way they introduce the drugs and its world-nya yang salah (baca :
tidak menarik) sehingga ya cuma jadi sekedar preach numpang lewat
bagi audience-nya.
Apa yang disajikan sutradara Awi
Suryadi (I Know What You Did on Facebook,
Simfoni Luar Biasa,
dan Claudia/Jasmine)
sedikit lebih menarik ketimbang film-film preachy sejenis yang
terjebak dalam pola tragis serta klise : terlibat narkoba karena
brokenhome lalu berakhir either dipenjara, kena HIV, atau mati. Yes,
judulnya memang alay, klise demi klise masih ada di sana-sini. Namun
ia cukup berhasil membungkusnya dalam sebuah cerita thriller
menegangkan. Teror kematian demi kematian dengan “warning”
sebelum kejadian menjadikan LGE terasa lebih menarik dan seru untuk
diikuti. Sedikit mengingatkan teror ala Final Destination
dengan kadar tensi yang kurang lebih sama. Sayang, masing-masing
kejadian tidak diberi waktu untuk “menahan” ketegangan hingga
klimaks. It is good but if they can hold the tension a little bit
longer, that will be much better.
Tak
hanya itu, Awi dan timnya juga bisa dibilang sangat berhasil
membangun dunia gemerlap kaum socialita muda yang serba glamour,
keren, dan energik. Alana's world, our heroine berkat gambar, setting
lokasi, pace, music, costume, dan juga editing. Perkenalan
jenis-jenis narkoba yang dipakai oleh karakter-karakternya dijelaskan
dengan visualisasi sangat menarik dan keren. Love that part!
Tetapi
sampai di situ saja pujian saya untuk LGE. Kelemahan yang paling
jelas terasa (dan paling fatal) adalah skripnya yang gagal untuk
mengeksplor lebih dalam cerita yang sudah dibuka dengan menarik. Oke,
ia punya teror kematian yang sangat menegangkan serta penjelasan
supranatural yang jarang diangkat sekaligus rasional, tetapi usaha
menyelimuti ceramah anti-narkoba-nya masih terasa terlalu obvious.
Seandainya saja unsur teror pembunuhan bisa dikembangkan lebih dalam
sebelum terungkap, penjelasan supranaturalnya tidak dijelaskan
terlalu blak-blakan, dan tanpa bagian terklise : drama internal
keluarga, LGE bisa jadi tontonan hiburan yang berkelas di scene
perfilman Indonesia tahun ini dan syukur-syukur semangat anti-narkoba
bisa mempengaruhi generasi muda. Dengan durasi yang hanya sekitar 75
menit (60 menit jika tanpa credit title), jelas LGE terasa
terburu-buru dalam bertutur sehingga mengorbankan banyak detail
cerita yang sebenarnya bisa dikembangkan lebih dalam lagi ketimbang
memberikan percabangan ke sub-plot-sub-plot lain yang cukup mengganggu.
Kemubaziran
cerita terjadi pula pada sub-plot Zara Zettira ZR. Seandainya jika
naskah (yang sebenarnya juga ditulis oleh Zara Zettira ZR sendiri)
memberikan benang merah yang lebih kuat sedikit saja dengan cerita
Alana dan gank glamournya, misalnya mungkin di bagian ending, tentu
sub-plot ini tidak akan serasa mubazir dan menjadikan keseluruhan
cerita film terasa lebih solid.
So,
I guess just enjoy the cool world and of course, the beautiful faces
they've introduced to us and let's parry.
The Casts
Nadine
Alexandra, Putri Indonesia 2010 ini mampu tampil menarik sepanjang
film. Porsinya yang mendominasi bisa dibilang berhasil ditanganinya
dengan baik. Sementara karakter-karakter anggota gank lainnya,
meliputi Dimas Beck, Dion Wiyoko, Manohara Odelia, serta wajah-wajah
baru nan rupawan; Kelly Tan, Martina Tesela, Kelly Tandiono, dan
Moudy Zanya tampil just fine. Bukan buruk, tetapi memang porsi
masing-masing saja yang hanya terkesan pemanis/pelengkap saja.
Di
luar gank, ada nama Ray Sahetapy, aktor senior yang justru di
menjelang akhir berakting seolah-olah hanya main-main atau justru
mengejek. Claudia Hidayat sebenarnya menarik dan cukup baik namun
penampilannya yang sedikit membuat ilfill. She reminded me of
Stifler's Mom, Jennifer Collidge.
Terakhir, Tracy Shuckleford memerankan karakter yang butuh kemampuan akting lebih namun
berhasil dibawakan dengan baik olehnya tanpa dialog. Ketika ia
berdialog... hmmmm I think she needs more experience and a lot of learning.
Anyway, siapa sangka ternyata ia adalah seorang model yang bahkan
bentuk badannya berbeda jauh dari yang saya lihat di layar.
Technical
Selain
teknis LGE yang saya puji di segmen sebelumnya, visual effect-nya
patut mendapatkan apresiasi lebih. Meski di beberapa bagian tampak
kasar, namun cukup beralasan karena memang tampilannya sengaja dibuat
stylish ala Robert Rodriguez, bukan realis. Quite cool.
Musik-musik
dari band dalam negeri macam Agrikulture dan favorit saya, Aku Lupa Aku Luka
dari Koil terasa sangat cocok sekali mengiringi dunia Alana yang
hits.
Sayang
tata suaranya di beberapa bagian, seperti misalnya yang paling terasa
adalah di adegan awal ketika pertama kali gank masuk ke club,
musiknya terasa kurang mantap seolah-olah hanya memanfaatkan dua
kanal depan saja. Padahal suasana club yang happening seperti itu
bisa terasa lebih hits dengan dukungan suara surround. Namun di
berbagai adegan lain, termasuk adegan-adegan “kematian”, tata
suara tidak begitu mengalami kendala yang dapat mengurangi kenikmatan
menonton.
The Essence
Drugs
don't bring us happiness and peace. Family does. Begitu “ceramah”
Alana. Tetapi karena terlalu klise untuk saya angkat, maka saya
memilihkan yang saya pasang di quote banner di bawah ini sebagai The
Essence dari Loe Gue End...
They who will enjoy this the most
- Partygoers and socialites
- Simple thriller lovers
- Pretty-faces hunters