The Jose Movie Review
Jakarta Hati

Overview

Tahun 2010 lalu (namun baru ditayangkan terbatas di salah satu jaringan bioskop ibukota pada pertengahan 2011), Salman Aristo yang selama ini dikenal sebagai salah satu penulis skenario handal negeri ini memulai debutnya sebagai sutradara lewat omnibus yang diberi titel utama Jakarta Maghrib (JM). Dengan semangat indie dan dukungan teknis yang serba terbatas, terbukti JM berhasil mencuri hati saya (dan saya yakin juga banyak penonton lainnya) berkat skripnya yang kuat di setiap segmen. Sindiran-sindiran terhadap berbagai fenomena yang terjadi di ibukota Jakarta berhasil dirangkum dengan cerdas dan menggelitik. Dua hal yang penting untuk menjadi film yang berbobot sekaligus menghibur. Dialog memang menjadi kekuatan utama Salman di tiap karyanya. He’s really good at making quotes and punch-lines. Jadi jika ada yang mengatakan kekurangan dari karya-karyanya adalah lebih mengandalkan dialog ketimbang bercerita lewat gambar, itulah ciri khas seorang Salman dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut.
Ketika mendengar kabar Salman punya project serupa dengan dukungan teknis yang jauh lebih memadai, tentu saja saya langsung menyambutnya dengan antusias tanpa pikir panjang atau sekedar menyaksikan trailernya. JM memang berhasil membuat saya wanting for more from him.
Setelah selesai menyaksikan keseluruhan segmen dari Jakarta Hati (JH), saya tidak langsung merasa puas. Ada cukup banyak beban dalam pikiran saya untuk mencerna JH. Okay, at first glance, of course I would say that JM was much more enjoyable than JH. Semalaman saya mencoba mencari-cari benang merah dari tiap segmen yang ditampilkan, lengkap dengan dialog-dialog “terselubung” yang, tidak selugas JM.
Finally, saya berhasil menangkap apa yang ingin disampaikan oleh Salman lewat karya keduanya sebagai sutradara ini. Baiklah, saya memang tidak dengan instan bisa menikmati JH. Namun berkat pemikiran dan penelaahan yang lebih banyak, saya menilai bahwa JH adalah peningkatan yang tidak hanya bersifat teknis dari JM, namun juga penyusunan segmen, ragam segmen baik dari segi esensi, gaya, dan genre.  
Orang Lain membuka JH dengan muram. Pertemuan dua orang yang ternyata memiliki kaitan dengan pasangan masing-masing, memutuskan untuk me-reminisce tempat-tempat yang mempunyai kenangan bagi mereka sambil bercerita tentang pasangannya. Penonton diajak berjalan-jalan di gelap malam ibukota yang masih berdenyut kencang. Jakarta masih digambarkan dengan indah, tanpa intrik maupun carut-marut di sana-sini. Malam yang damai bagi mereka berdua untuk akhirnya saling mengenal, lebih dari pasangan masing-masing. Sebuah pembuka yang berakhir manis dan dengan bombardir quote-quote metafora dari keduanya.
Cerita berpindah ke seorang dewan yang “bertualang” merasakan kehidupan rakyat jelata sebelum melakukan deal penting yang mempertaruhkan nama baiknya. Gambaran Jakarta yang keras dan kasar pun mulai terasa. Segmen Masih Ada mungkin memiliki premise yang paling kuat dan menarik, namun sayang bagi saya justru segmen ini yang paling lemah berkat penuturannya yang terlalu blak-blakan dan terkesan dibuat-buat. Meski saya mengerti begitulah realitas di Jakarta yang penuh kejadian serba tak terduga, bahkan ketika kita berjalan kaki di pinggir jalan sekalipun.
Segmen ketiga, Kabar Baik menjadi salah satu favorit saya karena berhasil memberikan fluktuasi emosi yang sangat baik dan pas antara ayah-anak melalui dialog. Karakter Bana yang dilematis antara profesionalisme dan urusan pribadi menjadi menarik. Segmen inilah yang paling berhasil menyentuh hati saya sepanjang film.
Hadiah lagi-lagi memberikan terlalu banyak “gangguan” terhadap plot utamanya, bahkan lebih mengganggu ketimbang Masih Ada. Sekali lagi argumen saya, yah begitulah hidup di Jakarta. Contohnya ketika karakter bertampang preman yang mengira Fajar, seorang penulis naskah adalah petugas pemda, saya tahu itu hanyalah modus kejahatan yang kebetulan pernah saya alami di ibukota beberapa tahun silam. Sub-plot yang cukup berhasil membuat saya tersenyum di ending tentang sudut pandang miskin-kaya justru menutupi ending plot utama yang seolah kurang “nendang” meski intinya cukup memuaskan dan bijak.
Segmen yang paling banyak menjadi pembicaraan orang-orang adalah segmen berikutnya yang bertajuk Dalam Gelap. Teknik pengambilan gambar yang sekali take meski bukan barang baru namun menarik. Peletakan kamera yang stagnan sepanjang segmen seolah menjadi saksi dialog antara sepasang suami istri dalam kegelapan akibat pemadaman listrik bergilir. Proses dialog yang tertata baik hingga klimaks membuahkan sebuah keputusan, turut menambah menariknya segmen ini.
Akhirnya, Salman meletakkan Darling Fatimah pada segmen penutup. Keputusan yang sangat tepat karena segmen inilah menurut saya yang paling menghibur berkat arahnya yang lebih ke komedi ketimbang segmen-segmen sebelumnya yang tergolong serius. Terbaik? Saya rasa tidak, tetapi berkat tampilan yang memikat, menghibur, cerdas, feel-good, dan dibawakan oleh aktor-aktris yang sangat menghidupkan, this was practically almost every audiences’ favorite.
So, dengan ragam isu yang dihadirkan JH, tentu menjadikannya lebih berwarna dan terarah ketimbang JM. Tiap penonton berhak untuk memilih mana yang paling disukai, yang isunya lebih dekat dengan kehidupan sehari-harinya. Namun saya harus mengakui bahwa JH tidak semudah JM untuk dinikmati. Perlu porsi perenungan yang lebih untuk memaknainya. Bukankah itu baik? Bukankah itu yang diinginkan oleh penulis (sekaligus sutradara) untuk penontonnya? Memang lantas isu-isu yang dihadirkan di JH bisa terjadi tidak hanya di Jakarta saja, tetapi sudah merambah kota-kota besar lain di Indonesia. Mungkin justru itulah yang diinginkan Salman, perenungan universal bagi siapa saja. Jakarta hanya menjadi representasi dan percontohan.

The Casts

Sama seperti JM, JH pun bertabur bintang dan penampilan masing-masing tergolong baik. Namun tentu ada nama-nama yang saya anggap paling menonjol sepanjang film. Yang terutama tentu saja Shannaz Haque berkat karakter nyablak-nya, Fatimah. Roy Marten juga menjadi favorit saya berkat peran seorang ayah yang... undescribable. You have to watch it yourself.

Technical

Secara kualitas gambar, angle-angle kamera, tata suara, dan score, jelas terasa JH lebih siap dan mapan ketimbang JM. Kesemuanya berhasil tampil merata di semua segmen. Gambar terbaik menurut saya adalah pasar subuh di segmen Darling Fatimah yang menangkap warna-warni cerah di cahaya subuh. Warna Dalam Gelap yang memang sesuai judulnya juga terasa pas dengan konsepnya. Tidak terlalu gelap tapi penonton tetap tidak bisa melihat wajah pemerannya dengan jelas. Penonton hanya dibatasi untuk melihat jelas apa saja yang mereka lakukan dan melalui audio.
JH mengandalkan dialog dan keseluruhannya terdengar dengan jelas dan crisp. Sound ambience juga memanfaatkan tata suara surround seperti suara lesatan mobil atau motor dengan jelas. Score nya pun juga mengiringi petualangan di ibu kota dengan baik sesuai dengan fungsinya.

The Essence

Ini dia benang merah yang berhasil saya simpulkan melalui sebuah perenungan : seburuk apapun peristiwa yang terjadi menimpa kita, jika menggunakan hati untuk menghadapi/menyelesaikannya, it wasn’t so bad anyway. Selalu ada hal positif yang dapat dipetik dan menjadikannya lebih mudah dalam mengambil keputusan yang bijak.

They who will enjoy this the most


  • Audiences who love attractive and smart dialogues
  • Audiences who like to think and make a reflection after watching a movie
  • People who needs inspiration to solve their problems with an open-heart
Lihat data film ini di Film Indonesia.
Diberdayakan oleh Blogger.