4/5
Animation
Comedy
Family
Fantasy
Horror
Kids
Oscar 2013
The Jose Movie Review
Thriller
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Frankenweenie
Overview
Salah
satu yang membuat nama Tim Burton menjadi semacam legenda dalam
budaya populer saat ini adalah konsistensi style gothic yang
ditunjukkan melalui film-filmnya. Bahkan saat tampil dalam
warna-warni cerah ala Alice in Wonderland
atau Dark Shadows pun
terasa sekali aroma Burton-nya. Selain dari itu, semenjak The
Nightmare Before Christmas (NBC)
dimana ia bertindak sebagai kreator cerita dan karakter-karakternya,
dilanjutkan Corpse Bride
(CB), karya clay stop motion animation juga begitu lekat dengan image
Tim Burton yang selalu ditunggu-tunggu para penggemarnya. Di tahun
2012 ini Tim Burton kembali memuaskan para penggemarnya dengan
mengangkat film pendek live-action tahun 1984 buatannya sendiri yang
kala itu dianggap terlalu menakutkan untuk konsumsi
anak-anak/keluarga dan mengakibatkan ia dipecat dari Walt Disney.
Keputusan yang tepat sekali menjadikannya versi clay stop motion
animation. Selain tampak tidak semenakutkan jika dibuat versi
live-action, clay stop motion animation ala Tim Burton sudah punya
fanbase tersendiri.
Frankenweenie
bisa dibilang sebuah spoof dari kisah klasik karya Mary Shelley,
Frankenstein versi
hewan peliharaan. Tak hanya itu, ia juga menjadikan karyanya kali ini
sebuah tribute kepada karakter-karakter legendaris, seperti Bride
of Frankenstein, Gremlins,
Dracula,
Werewolf,
Hunchback of
Notre Dame,
bahkan Godzilla.
Menyenangkan sekali melihat aneka tribute yang diselipkan secara
gokil di berbagai bagian. It's fun, especially if you can notice
them.
Jika
Anda mengharapkan feel yang sama dengan NBC atau CB, mungkin Anda
akan sedikit kecewa karena Frankenweenie
sama sekali bukan film musikal seperti dua judul yang saya sebutkan
sebelumnya. Selain tampil dengan format hitam-putih, Frankenweenie
juga memiliki skala cerita yang lebih kecil dan tidak se-“meriah”
NBC dengan setting kota yang mengingatkan setting kota terpencil ala
Edward
Scissorhands.
Mungkin juga nantinya Frankenweenie
tidak
akan semelekat NBC dan CB dalam benak saya. Tapi tunggu dulu, bukan
berarti lebih buruk ketimbang NBC maupun CB. Di berbagai aspek
Frankenweenie
mampu tampil sebagai karya yang sama baiknya, bahkan ada yang
melebihi pencapaian NBC dan CB.
Nevertheless,
Frankenweenie
tetap merupakan karya hiburan yang cerdas, menyenangkan; seru, lucu,
dan menegangkan, serta yang pasti terasa sekali dibuat dengan hati
yang cukup besar. Meski hanya terbuat dari clay, setiap kali air mata
menetes dari mata Victor membuat saya ikut meleleh. Aaaawwwwwhhhh...
The Casts
Tidak
ada yang tampil paling menonjol karena setiap voice talent yang
digunakan mampu menghidupkan tiap karakter dengan sangat baik. My
favorite would be Martin Landau yang mengisi suara Mr. Rzykruski.
Berpadu dengan tampilan fisik karakter yang mengingatkan saya akan
aktor legendaris Vincent Price, suara Landau terdengar pas dengan
“karakter unik” tersebut. Selain dari itu, saya juga menyukai
karakter-karakter unik Toshiaki (James Hiroyuki), Edgar (Atticus
Shaffer), dan Bob (Robert Capron) yang disuarakan dengan sangat baik
dan hidup.
Winona
Ryder, aktris favorit lawas Tim Burton sebelum Helena Bonham Carter,
kembali bernostalgia bekerja dengan Tim sebagai Elsa van Helsing.
Meski porsi karakternya tak banyak, namun berhasil mencuri perhatian
berkat nyanyian Praise
be New Holland.
Terakhir,
kudos to Catherine O'Hara dan Martin Short yang masing-masing mengisi
suara untuk tiga karakter penting dan berbeda-beda kepribadiannya;
Mrs. Frankenstein, Weird Girl, dan Gym Teacher untuk O'Hara serta Mr.
Frankenstein, Mr. Burgemeister, dan Nassor untuk Short.
Technical
Jika
kita mengikuti karya-karya clay stop motion animation Burton, jelas
sekali Frankenweenie
terlihat mengalami banyak perkembangan. Lihat saja gerakan-gerakan
yang semakin halus dan tidak patah-patah khas stop motion animation.
Saya juga takjub dengan tampilan air dan api. I mean, how did they
make it in an clay set? Perpaduan clay stop motion animation dengan
CGI yang rapi dan tidak kehilangan kekhasan stop motion animation.
Konsep
hitam/putih yang digunakan sama sekali tidak mengganggu kenikmatan
menonton seperti cibiran orang-orang yang seolah hanya mampu
menikmati gambar berwarna. Justru dengan tone warna seperti itu, feel
vintage ala film-film klasik justru sangat terasa dan itu yang
menjadi keunikan Frankenweenie. Versi 3D-nya menawarkan efek depth yang cukup terasa meski tak banyak karena memang tak ada adegan yang tampak signifkan jaraknya. Tak ada gimmick pop-out, namun kemunculan beberapa monster di layar memberikan sedikit efek kejut yang lebih hidup di versi 3D. Pada akhirnya, Anda tidak akan begitu mempedulikan efek 3D-nya jika Anda sudah nyaman dengan jalinan cerita dan visualisasinya.
Score
gubahan Danny Elfman yang sudah menjadi langganan Burton juga
berhasil menghidupkan dunia ala Burton dengan sangat baik dan unik.
Meski tak terdengar begitu establish, namun cukup untuk menyatu
dengan adegan-adegan yang tersaji. Elfman seolah selalu sudah
menyatukan visi dalam karya-karya Burton.
Terakhir,
meski berkonsep vintage baik dari segi tone warna dan desain
produksi, namun tata suara mengikuti teknologi saat ini.
Menjadikannya suatu pengalaman sinematik yang unik di era digital
ini. Selain kualitas bass dan treble yang terdengar mantap dan
jernih, efek surround pun dimanfaatkan dengan maksimal sebagai efek
kejut untuk penonton di berbagai adegan.
The Essence
Ketika
menonton, saya merasa Tim Burton sedang menyindir mentalitas
mayoritas bangsa Indonesia yang “takut” untuk mempelajari dan
mengembangkan sains. Ada banyak sekali quote, terutama dari Mr.
Rzykruski, yang (seharusnya) menggugah kita untuk berpikir maju;
mempertanyakan, mempelajari, serta mengembangkan banyak hal di
sekitar kita ketimbang hidup nyaman dalam keadaan saat ini. Mungkin
mental seperti itulah yang membuat kita jarang memiliki penemu, ahli
sains, atau inovasi teknologi dibandingkan negara-negara lain yang
lebih berpikiran terbuka. Lucu, orang awam takut akan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh sains dan menganggap
orang-orang yang menyukai sains sebagai nerd dan orang aneh, padahal
mereka sendiri sebenarnya suka dan menggunakan yang dihasilkan oleh
sains.
They who will enjoy this the most
- Tim Burton's fans
- Stop motion animation enthusiasts
- Classic creatures/characters lovers
- Vintage film fans
- General audiences, even family or kids above 5 years old, who think B/W film isn't a problem
Academy Awards 2013 Nominees for :
- Best Animated Feature Film of the Year
Lihat data film ini di IMDb