Satu Jaringan
Beda Kualitas Layanan



Saya yakin Anda semua yang notabene sering nonton film di bioskop pasti pernah punya pengalaman penting saat menunaikan “ritual”, baik itu positif maupun negatif, baik yang berkaitan dengan pelayanan bioskop maupun penonton yang lain. Kali ini saya akan membagi pengalaman saya soal pelayanan jaringan bioskop romawi (dan juga angka berbintang) yang kebetulan menjadi satu-satunya pemain usaha bioskop di kota saya. Meski berada pada satu jaringan yang sama, ternyata berdasarkan pengalaman saya setiap bioskop memiliki mutu pelayanan yang berbeda-beda, terlepas dari standard (yang seharusnya) sudah ada.

Numbers

Sebenarnya wajar jika pihak bioskop membatalkan penayangan sebuah film jika penonton yang hadir ketika show tidak mencapai kuota tertentu yang sudah ditentukan. Tentu bioskop tidak mau rugi terutama listrik untuk projector dan AC jika penontonnya hanya satu orang. Namun jika penonton sudah membeli tiket beberapa jam sebelumnya dan ternyata tiba-tiba dibatalkan begitu saja karena kuota penontonnya kurang, tentu ini menjadi nilai minus besar bagi pelayanan bioskop. Perusahaan apapun seharusnya sebisa mungkin meminimalisir kekecewaan konsumen bukan? Setahu saya bioskop-bioskop di beberapa negara tetap menayangkan film bahkan ketika tidak ada penontonnya sekalipun karena proyektornya sudah diprogram. Bagaimana dengan di Indonesia?
Kala itu The Artist masih menjadi bahan pembicaraan hangat di antara moviegoers menjelang perhelatan Academy Awards 2012. Saya tahu jaringan bioskop tersebut paling lamban kalau menayangkan film-film yang tergolong non-mainstream jika tidak benar-benar ada momen yang pas. Untuk kasus The Artist, apalagi filmnya hitam-putih dan bisu pula. Oleh sebab itu ketika akhirnya film terbaik Oscar 2012 tersebut tayang midnite, tanpa pikir panjang saya langsung memutuskan untuk menontonnya. Kebetulan di bioskop terdekat dari tempat saya tinggal (yang tergolong mewah tapi harga tiketnya paling murah se-Surabaya karena mal-nya yang sepi dedhet) ikut memutar. Saya khawatir tayang regulernya masih bakal lama dan itupun hanya tayang beberapa hari saja karena penontonnya tidak banyak.
Ketika sampai bioskop yang berarti hanya 5 menit sebelum jam tayang, saya langsung membeli satu tiket. Ternyata benar, hanya saya penontonnya.
Si mbak penjual tiket memperingatkan, “Cuma Anda saja yang nonton tidak apa-apa?” Mungkin si Mbak berpikir saya takut yah kalau nonton sendirian.
Saya tersenyum, “Tidak masalah, tetapi pasti tetap diputar kan?”
Si mbak mengiyakan. Oke, saya masuk studio dengan senyum lebar. Akhirnya, saya punya pengalaman nonton film di bioskop SENDIRIAN! Iya, hanya saya seorang sestudio. Kurang enak apa coba?
Seriously, saya benar-benar kagum dengan profesionalisme jaringan romawi saat itu.
Selama menonton pun semua petugasnya memperlakukan saya dengan ramah. Bahkan seorang security berujar ke saya, “Mas, nanti kalau sudah selesai langsung keluar lewat pintu itu saja yah.”
Nikmatnya nonton film sendirian. Tidak perlu terganggu oleh penonton lain yang seenaknya sendiri teriak-teriak norak atau protes hanya karena tidak bisa menikmati filmnya.
Sayangnya, kenikmatan menonton sendirian hanya terjadi sekali itu saja. Di lain kesempatan, di bioskop yang berbeda, pengalaman yang saya dapatkan berbanding terbalik.
Saya sudah lama menanti-natikan film panjang pertama Eugene Panji, Cita-Citaku Setinggi Tanah. Mungkin karena kurang promosi, dalam kurun kurang dari seminggu hanya ada satu bioskop yang menayangkan film tersebut dengan jam tayang penuh. Di bioskop langganan saya untuk film Indonesia hanya tinggal show pertama saja yang tidak mungkin menjadi pilihan karena saya kerja kantoran. So, my only choice was  bioskop yang sudah lama tidak pernah saya jamah semenjak kuliah... bioskop yang kelasnya “angka berbintang” tetapi harganya paling mahal. Mungkin karena letaknya di mall yang sangat ramai itu yah.
Mengincar jam tayang 18.45, saya baru sampai di lokasi 18.50 (DAMN MACET!!!). Ternyata yang show jam tersebut tidak tayang karena sama sekali tidak ada yang nonton. Mereka tidak mungkin menayangkan terlambat (padahal kalau dihitung-hitung durasinya, jika ditayangkan saat itu juga tidak akan overleap dengan show berikutnya. Itu pun kalau ada yang nonton jam segitu. Hello... film anak-anak jam 20.55???).
Pilihan saya tinggal show berikutnya, yaitu 20.55. Tetapi si mbaknya menolak saya membeli tiket saat itu juga dan menyuruh saya untuk kembali lagi nanti ketika mendekati jam tayang karena jika kuota penontonnya tidak mencukupi, yaitu 6 orang, ya batal tayang juga. Grrrrrrr.... udah dibela-belain nonton di mall alay (ups.. keceplosan!), gagal pula. Lebih gondok lagi setelah tahu studio sebelah yang menayangkan Kutukan Santet Kuntilanak sudah penuh lebih dari setengah studio. Where the hell is these people’s brains??? Alhasil saya pulang dengan kecewa. Untung saja keesokan harinya jumlah penonton lebih banyak dan saya akhirnya berhasil menonton film sederhana tetapi punya makna dan hati yang besar itu. Bless you, Eugene Panji and the crews!

Until the credit ends

Berbeda dengan penonton awam yang menganggap credit title tidak penting, bagi saya (dan saya yakin banyak juga moviegoers lainnya) menonton film sampai credit title benar-benar habis adalah kepuasan tersendiri. Selain bentuk penghargaan terhadap kru yang telah berjasa melahirkan film tersebut, dari credit title saya belajar banyak apa saja yang diperlukan untuk membuat sebuah film. Tentu saja yang terutama bagi saya mengetahui para pemain pendukung dan pengisi soundtracknya. Apalagi jaman sekarang cukup banyak film yang menyisipkan sedikit adegan tambahan setelah credit title selesai. Sebut saja tiap installment X-Men dan sekarang hampir semua film keluaran Marvel ikut-ikutan trend ini.
Pihak jaringan bioskop, baik romawi maupun kilatan seringkali malah mengingatkan penonton jika memang ada after-credit scene melalui akun twitter-nya. Jaringan kilatan justru terang-terangan menegaskan dalam satu twit-nya bahwa pihaknya tidak akan mematikan proyektor jika masih ada penonton yang duduk di studio. Tentu saja hal ini menjadi kabar baik bagi saya.
Masih menyambung kasus The Artist tadi, saat itu saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan langka tersebut. Saya benar-benar menunggu credit title habis baru keluar dari studio. Sekalian ngetes sejauh mana pelayanan mereka berhasil memenangkan hati saya. Aaaaandd.... yes, mereka tidak mematikan proyektor hingga akhir credit title. Bahkan ketika saya melangkah keluar dari pintu studio, security dan petugas kebersihannya dengan ramah menyapa saya dan mengucapkan terima kasih. Simpati saya untuk mereka dan jaringan romawi (saat itu)!
Dalam berbagai kasus di bioskop yang berbeda-beda, saya tidak pernah mengalami kekecewaan dalam hal credit title, baik itu di bioskop di dalam mall baru yang sampai sekarang masih belum melayani mobile ticketing maupun di bioskop termahal pertama se-Surabaya sebelum harganya terakhir diikuti oleh bioskop-bioskop sekelas. Memuaskan sekali!
Tetapi kepuasan tidak pernah bertahan selamanya. Ada kalanya kekecewaan datang menghampiri. Bagi saya adalah saat saya menyaksikan Wreck-It Ralph 3D di bioskop paling dekat dengan kantor sekaligus bioskop termahal pertama di Surabaya sebelum diikuti bioskop-bioskop papan atas lainnya.
Ketika credit berjalan (masih belum credit yang rolling lho ya), nyaris semua penonton sudah meninggalkan studio. Yang tersisa hanya saya dan sepasang cowok-cewek (sepertinya sepasang kekasih) di depan saya yang kebetulan juga menikmati film hingga credit benar-benar usai. Tiba-tiba proyektornya dimatikan. Si cewek di depan spontan teriak, “Yah.. koq dimatiin? Padahal mau lihat videonya sampai habis...”
Saya membalas dengan suara yang sengaja saya keraskan, “Iya nih, koq dimatiin? Belum habis lho padahal...”
“Mas, ini belum habis koq sudah dimatikan?” protes saya ke seorang security yang sedang membantu bersih-bersih.
“Oh, masa?” jawabnya dengan nada cuek dan terus melanjutkan pekerjaan bersih-bersihnya.
“Ini bagaimana sih? Woi, koq dimatiin?” saya protes ke arah lubang proyektor di atas.
Masih tidak ada yang menanggapi.
Cewek di depan saya menyerah. “Sudah Mas, nggak apa-apa. Biarin!”
“Nggak bisa, Mbak. Ini namanya nggak menghormati penonton. Sudah bayar mahal-mahal koq, kita berhak nonton sampai benar-benar habis,” kompor saya.
Si cewek dan pacarnya akhirnya keluar dari studio sementara saya melayangkan protes ke petugas pengumpul kacamata 3D di dekat pintu keluar.
“Oh, masih belum habis sudah dimatikan ya?” Si petugas lantas berkomunikasi melalui HT ke bagian proyeksionis.
“Saya tidak mau tahu, pokoknya harus dilanjutkan sampai benar-benar habis!” seru saya.
“Iya iya, Mas. Silahkan. Ini filmnya dilanjutkan,” jawab petugas dengan ramah.
Saya kembali ke seat saya dan menunggu mereka menyalakan kembali proyektornya. Saya melihat filmnya dimulai dari awal dan mem-fast forward hingga credit title. Saya tidak mau tahu jika jadwal jam berikutnya terganggu. Lah, yang salah siapa  mematikan proyektornya duluan?
Saya akhirnya memang mendapatkan kembali hak saya, tetapi mood buruk yang disebabkan kejadian tadi tidak bisa hilang begitu saja dan tentu mempengarahui mood dalam menikmati credit yang fun tersebut. Damn you ignorant employees!!!
Setelah hendak keluar, kekecewaan saya ternyata masih ditambah dengan tatapan sinis dari petugas security yang tadi tak acuh terhadap komplain saya.
“Kenapa Mas? Koq liatnya nggak enak gitu?” tanya saya.
“Kenapa memangnya?” tantang dia balik.
Saya malas berdebat dan sambil keluar dari studio saya meninggikan suara saya, “Salah petugasnya koq saya yang disalahkan? Pelayanan apa itu?”
Saya tahu mungkin mereka (atau juga Anda) berpikir saya orang yang paling tidak penting sedunia karena menunggui credit title hingga benar-benar habis dan memperjuangkannya mati-matian ketika hak tersebut dirampas dari saya. Tetapi itu adalah hak tiap penonton yang sudah membayar penuh harga tiketnya. Itu artinya saya berhak untuk mengklaim apa yang tidak diberikan penuh kepada saya sesuai dengan yang saya bayarkan. Hak penonton untuk meninggalkan apa yang sebenarnya sudah menjadi haknya, tetapi penonton yang menggunakan haknya secara penuh tetap harus dihormati bukan?
What I tried to say here is... if you’re not satisfied about any services, you should fight for it. Bukan persoalan “tidak mau rugi”, tetapi soal kebiasaan. Pegawai harus menghormati penonton, apa pun yang terjadi. Apabila mereka sudah dibiasakan untuk semena-mena, ya mereka akan terus semena-mena. Either claim it straight forward or complain to the management staff, or the last way, embarass them on the mass media! Not only in movie theatre terms, but in any form of services.
Diberdayakan oleh Blogger.