4/5
Artistic
Drama
Festival
Indie
Indonesia
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Atambua 39°Celsius
Overview
Riri Riza adalah salah satu
sineas tanah air yang konsisten membuat karya-karya bermutu, baik di jalur pop
maupun idealis. Diawali dengan Petualangan Sherina yang membuktikan bahwa
film Indoensia juga bisa tampil pop ala Hollywood. Dilanjutkan Gie, Laskar
Pelangi, dan sekuelnya Sang Pemimpi.
Di sela-sela itu ada pula project-project pribadi yang terasa semangat
idealisnya seperti Eliana Eliana, 3 Hari untuk Selamanya, dan Untuk Rena. Di tahun 2012 ini, Riri
bersama partner setianya, Mira Lesmana, mengeluarkan karya terbaru yang
menambah daftar panjang karya idealisnya, Atambua
39°Celsius (A39C).
Sejak awal, jelas terlihat
semangat indie dari A39C. Riri membidik cerita melalui karakter Joao, pemuda
yang tinggal di Atambua, sebuah kota di propinsi Nusa Tenggara Timur yang
menjadi perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Di awal, kita
diperkenalkan dengan keseharian penduduk di Atambua yang ter-reprensentasi
melalui Joao dan ayahnya, Ronaldo. Kehidupan yang tak jelas arahnya membuat
Joao berpikir untuk kembali ke Timor Leste, bergabung bersama ibu dan
saudara-saudaranya. Konon kabarnya di sisi sebelah Timor Leste keadaannya jauh
lebih baik.
Gaya alur khas indie digunakan
oleh Riri untuk membidik kehidupan sehari-hari Joao, Ronaldo, dan seorang gadis
muda yang juga memiliki problematika kurang lebih sama, Nikia. Bagi penonton
umum yang sudah terbiasa naratif berdasarkan dialog mungkin merasa bosan dan
dengan mudahnya men-judge tidak jelas. Tetapi jika sudah terbiasa menonton film
yang lebih banyak berbicara dengan bahasa gambar tentu akan bisa dengan mudah
menikmatinya. Jangan bayangkan bakal sepoetic karya-karya Garin Nugroho , A39C
justru tampil natural seperti layaknya sebuah film dokumenter. Penonton memang
dibiarkan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu sehingga
mengakibatkan ketiga karakter utama ini seperti yang terdeskripsi sejak awal
film. Menjelang klimaks barulah masing-masing menceritakan rahasianya secara
detail. Klimaks yang mencerahkan sekaligus membuat saya tercengang dalam
hening, mencoba berempati kepada mereka.
Kunci dalam menikmatinya;
bersabar, perhatikan tiap detail adegan yang tersaji dalam keheningan, dan
renungkan ending yang begitu revealing. It’s very strong, even after a long
quietness.
The Casts
Riri menggunakan penduduk lokal
untuk berperan, termasuk karakter-karakter utamanya; Gudino Soares (Joao),
Petrus Beyleto (Ronaldo), dan Putri Moruk (Nikia). Ketiganya bermain dengan
sangat natural dan sangat meyakinkan. Gudino dengan kebimbangannya, Nikia yang
kesepian dan menyimpan duka, serta Ronaldo yang tampak keras namun sebenarnya
rapuh, terasa dengan jelas melalui tatapan mata dan ekspresi wajah daripada
melalui dialog verbal dalam bahasa Tetum, bahasa setempat. Satu hal yang saya
suka dari A39C, membuatnya lebih berkelas dan tidak cheesy. Bagi penonton awam,
hitung-hitung belajar membaca ekspresi wajah manusia lah.
Technical
Semangat dan gaya indie bukan lantas mengabaikan
kualitas teknis. Sinematografi Gunnar Nimpuno berhasil mendokumentasikan
keindahan alam Atambua yang meski kering, keras, dan tandus, sejalan dengan
yang dirasakan para karakternya (that’s why they put 39°C in the title). Cahaya
matahari dimainkan sedemikian rupa dan variatif sehinggga memperkuat keindahan
tiap ruang yang ditampilkan. Ditambah permainan fokus kamera yang sering
ditonjolkan di berbagai adegan, it’s one cinematic pleasure.
Sementara di lini tata suara
meski tidak menggunakan surround, namun sudah berhasil membangun emosi cerita.
Memang sepanjang film lebih banyak adegan dalam keheningan, hanya terdengar
efek-efek suara saja ditambah score dari Basri B. Sila yang membangun lirih
melalui alat-alat musik tradisional. So I guess tata suara surround sebenarnya
tidak begitu diperlukan.
The Essence
Berbeda dengan film-film
Indonesia bertema nasionalisme yang sedang sering dibuat, A39C justru
mempertanyakan sampai sejauh mana perlu mempertahankan nasionalisme.
Tokoh Ronaldo yang awalnya
memilih ikut Timor Indonesia meski hidupnya tak jelas arah, pada akhirnya harus
mempertimbangkan kembali pilihannya itu. Sementara Joao yang awalnya hanya ikut
keputusan sang ayah, punya pilihan untuk menentukan tinggal di mana.
Kebimbangannya semakin bertambah ketika ia tertarik dengan Nikia yang merasa
bebas, tidak berasal dari mana-mana. After all, Anda yang memutuskan mana yang
lebih penting, nasionalisme semu atau berpikir realistis.
They who will enjoy this the most
- Audiences who have already got used to the festival movies type
- Penonton yang lebih suka film bercerita dengan bahasa gambar ketimbang dialog
- Documentary style enthusiasts