3.5/5
3D
Action
Adventure
Based on Book
Based on TV show
Blockbuster
Box Office
Comedy
Franchise
IMAX
Oscar 2017
Pop-Corn Movie
Psychological
quotebanner
Summer Movie
Superheroes
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Suicide Squad
Meski di ranah layar lebar
usianya jauh lebih ‘tua’ dibandingkan Marvel, DC yang haknya dipegang
sepenuhnya oleh WarnerBros tak pernah berhenti mengalami pasang surut.
Sementara Marvel Cinematic Universe dikembangkan dengan makin solid dan matang,
DC Cinematic Universe yang sejak awal kemunculannya sudah diwarnai
kontroversial sampai sekarang masih terus diwarnai hujatan dan kritikan tajam.
Setelah Man of Steel, Batman v Superman: Dawn of Justice yang
dirilis Maret 2016 lalu tetap saja mengalami nasib yang tak berbeda jauh. Tentu
petinggi-petinggi WarnerBros tak ingin kondisi ini berlarut-larut. Maka proyek Suicide Squad (SS) yang sudah produksi
sejak April 2015 lalu ini diselesaikan dengan sangat hati-hati, mulai berita
reshot sampai editing dengan berbagai versi yang memakan proses cukup panjang,
terutama agar hasilnya tidak terlalu gelap seperti installment-installment
sebelumnya. Pengalaman membuktikan reshot dan proses editing yang alot bukanlah
pertanda bagus terhadap hasil akhir. Terlepas dari trailer musikal yang
terkesan sangat fun dan menjanjikan, terbukti begitu embargo dibuka
reviewer-reviewer Amerika Serikat memberondong SS dengan berbagai review
negatif. Nama David Ayer yang punya reputasi bagus menggarap berbagai film
aksi, seperti Street Kings, End of Watch, Sabotage, dan Fury pun
sudah didapuk sebagai sutradara sekaligus penulis naskah. Sebagai penulis
naskah, Ayer pun punya track record yang bagus, baik secara kualitas maupun
komersial, termasuk The Fast and the
Furious, dan Training Day. SS sendiri
berkonsep supervillain yang dikumpulkan jadi satu tim untuk dijadikan sosok
superhero yang memberantas even bigger villain. Tentu konsep antihero seperti
ini memang tidak benar-benar baru, karena masih tahun ini juga ada Deadpool dari Marvel. Bahkan konsep tim
supervilain juga dimiliki Marvel dengan nama Sinister Six. Sayang, proyek layar
lebar Sinister Six yang sempat diumumkan akhirnya di-pending sampai batas waktu
yang belum ditentukan. Speaking of SS, how bad would it be?
Pasa klimaks Batman v Superman, pemerintah
Amerika Serikat memutar otak bagaimana menjaga pertahanan keamanan dalam
negeri. Petinggi operasi intelijen, Amanda Weller, muncul dengan ide
memanfaatkan penjahat-penjahat paling berbahaya untuk dijadikan satu tim
pembasmi kejahatan luar biasa. Mulai pembunuh bayaran dengan kemampuan menembak
selalu jitu, Deadshot; eks-psikiatris Joker yang justru terpengaruh jadi
sinting, Harley Quinn; El Diablo yang punya kemampuan pyrokinetic (mampu
menghasilkan api dari tubuhnya sendiri); perampok asal Australia, Captain
Boomerang; buaya mutan, Killer Croc; sampai Slipknot. Kesemuanya dikumpulkan di
Belle Reve Penitentiary di bawah komando Kolonel Rick Flag. Pasukan ini
akhirnya diuji cobakan ketika muncul teror di kereta api bawah tanah Midway
City yang diduga bukan berasal
dari sosok manusia. Tak mudah meyakinkan kesemuanya agar mau menjalankan misi
ini. Namun dengan kepentingan sendiri-sendiri, akhirnya mereka bersedia
menumpas sosok monster ini.
Di atas kertas, SS adalah proyek
yang sangat menarik. Terutama karena jajaran supervillain yang sudah dikenal
luas, terutama Joker dan pasangannya, Harley Quinn. Dengan mengedepankan
jajaran karakter sentral (yang jumlahnya sampai sebelas!) sebagai komoditas dan
daya tarik utama, sudah seharusnya itulah yang menjadi porsi utama dalam film
pula. Tentu tak mudah membuat kesebelas-sebelasnya punya porsi yang sama dengan
durasi yang terbatas. SS cukup jeli memilih karakter-karakter populer sebagai
lini depan untuk digali lebih banyak dan menarik perhatian penonton. Harley
Quinn dan Deadshot menjadi yang paling digali secara emosi, sementara Joker
masih ‘disimpan’ untuk installment-installment berikutnya. Tapi jangan salah,
karakter Joker di sini dimanfaatkan untuk ‘memperkeruh’ keadaan dan itu sukses
menjadi pencuri perhatian yang efektif. El Diablo juga mendapatkan latar
belakang yang jelas, tapi mungkin karena terlalu klise sehingga porsinya
dibatasi. Sekedar memberi tahu penonton semata. Sementara Captain Boomerang,
Killer Croc, Slipknot, dan Katana tampaknya hanya diberi porsi peran lewat
keunikan ciri masing-masing. Buat saya tak masalah. Masih ada kesempatan lain
untuk mendalami. Sementara ini biarlah menjadi semacam teaser untuk membuat
penonton tertarik dan penasaran.
Sebenarnya bukan urusan porsi
tiap karakter yang menjadi masalah terbesar SS. Ia sudah memberikan porsi pas
dengan alasan serta tujuan yang cukup reasonable. Kendala terbesarnya bagaimana
merangkai kesemuanya menjadi satu kesatuan yang runtut dan enak diikuti. Plotline
padat yang ditawarkan SS terasa tidak tersampaikan dengan mulus.
Storytelling-nya membuat tiap adegan bak fragmen-fragmen terpisah yang berdiri
sendiri, tidak menyatu dengan ups and downs yang mulus. Ini lantas memunculkan
banyak pertanyaan dalam benak saya yang bahkan sampai akhir belum mendapatkan
jawaban memuaskan. Terutama sekali motivasi utama Weller membentuk SS yang
jelas punya resiko sangat berbahaya. How bad of WW III threat that made her
feeling in an urgency to build the team? Toh jika meruntut urutan plotline,
sang monster yang berasal dari badan tim sendiri muncul setelah SS dibentuk.
Menurut saya tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mengambil resiko sebesar
itu. Taktik licik Weller yang coba dibuat twisting pun menjadi membingungkan
gara-gara susunan adegan (dan juga etalase keunikan karakter yang ditebar di
sana-sini) yang mendistraksi. In short, secara storytelling termasuk kacau.
Untung saja tampilan SS yang
membombardir dengan adegan-adegan aksi spektakuler dan iringan
soundtrack-soundtrack lintas era yang semakin membuat adegan-adegannya terkesan
lebih gokil. Setidaknya, dua aspek inilah yang membungkus keseluruhan SS
menjadi tontonan yang super fun, sangat menghibur dan memanjakan panca indera.
Dengan mengedepankan ensamble
karakter, ensamble cast pun menjadi daya tarik yang krusial. WB-DC termasuk
jeli dalam memilih. Mengisi lini terdepan, Margot Robbie dan Will Smith jelas
tampil paling menonjol. Robbie dengan attitude centil tapi masih punya kesan
mengerikan, menggelitik tapi juga bisa menyentuh, sementara Will Smith dengan
keseimbangan pas antara villainous charisma dan hearty factor. Jared Leto yang
memerankan Joker mungkin tak se-membius mendiang Heath Ledger, tapi sangat
berhasil sebagai pencuri perhatian sebagaimana fungsinya di film. ‘Belum’
terkesan begitu beringas, tapi ekpresi ‘sakit jiwa’-nya sudah lebih dari cukup.
Viola Davis sebagai Amanda Waller juga berhasil menunjukkan kemisteriusan
sekaligus kebengisan karakternya di balik keanggunan. Joel Kinnaman sebagai
Rick Flag meski belum berhasil memberikan action hero charisma yang membuat
kagum, tapi setidaknya memperlihatkan moral dilemma yang cukup membuat saya
bersimpati. Begitu pula dengan Jay
Hernandez sebagai El Diablo yang menunjukkan kualitas akting setara. Pesona
fisik serta aura sensual Cara Delevingne cukup menghidupkan kerapuhan karakter
Dr. June Moone pada porsi
terbatas, sekaligus cool-factor (tentu saja dengan polesan CGI) saat
bertransformasi menjadi Enchantress. Sementara Karen Fukuhara sebagai Katana,
Jai Courtney sebagai Captain Boomerang, Adewale Akinnuoye-Agbaje sebagai Killer
Croc, dan Adam Beach sebagai Slipknot belum punya porsi yang cukup untuk
menarik simpat penonton, tapi cukup untuk memperlihatkan action ability
masing-masing.
Menjadi langganan Ayer, Roman
Vasyanov mempersembahkan kualitas sinematografi yang mumpuni untuk film action
blockbuster. Adegan-adegan yang ditata dengan cantik oleh Ayer dan desainer
produksi Oliver Scholl berhasil dibidik olehnya dengan pergerakan kamera yang
sedinamis adegan-adegannya. Editing John Gilroy (yang tentu mendapatkan
intervensi banyak pihak hingga menghasilkan hasil akhir di layar) mungkin
terasa kurang baik dalam merangkai kesemuanya menjadi satu kemasan film yang
utuh, tapi setidaknya adegan-adegan aksi yang ditampilkan masih punya nyawa
untuk dinikmati dan mengalir tidak sengaco Batman
v Superman. Sound design juga patut mendapatkan kredit lebih dalam menyusun
suara-suara dengan begitu detail untuk memberikan kesan keren dan kick-ass
sepanjang film, termasuk dalam urusan pembagian kanal surround bahkan untuk musik pengiringnya. Terakhir,
tentu saja pemilihan soundtrack-soundtrack lintas era (serta lintas genre) yang
tergolong populer (agar penonton familiar) dan makin memperkuat kesan gokil
serta menjadikan adegan-adegannya lebih memorable. Mulai You Don’t Own Me versi asli (Lesley Gore, pemeran Pussycat di
serial TV Batman versi 1967) yang
begitu pas untuk adegan Harley Quinn, Sympathy
for the Devil dari The Rolling Stones, Purple
Lamborghini dari Skrillex & Rick Ross, Black Skinhead dari Kanye West, Gangsta
dari Kehlani, Paranoid dari Black
Sabbath, Seven Nation Army dari The
White Stripes, Without Me dari
Eminem, Come Baby Come dari K7, Bohemian Rhapsody dari Queen, Heathens dari Twenty One Pilots, dan Sucker for Pain dari Lil Wayne, Whiz
Khalifa, serta Imagine Dragons yang membombardir bahkan sampai credit roll
selesai. Masih ditambah scoring Steven Price yang tak kalah gokilnya membuat
tiap adegan makin terasa secara emosional.
Saya sangat merekomendasikan
untuk experience SS di format IMAX 3D. Dibandingkan format reguler 2D, SS di
IMAX 3D memberikan ketajaman dan kejernihan gambar yang jauh lebih baik, dengan
tata suara yang juga lebih hidup, clear and crisp, perbedaan kanal sumber yang
terdengar punya dimensi lebih, serta yang terpenting, all sounds blasting.
Untuk format 3D, SS punya kedalaman gambar yang terlihat dengan jelas dan
terutama terlihat pada titel-titel adegan. Meski tak ada gimmick pop-out the
screen yang mengesankan, tapi masih ada efek kamera yang membuat saya terhenyak
off the seat dengan bantuan gimmick 3D. Oya jangan lupa, SS di IMAX juga
menghadirkan countdown bumper edisi khusus SS yang sayang untuk dilewatkan.
Tak bisa dipungkiri, kekhawatiran
WB-DC untuk SS sampai ada reshot dan proses editing yang panjang mungkin
menjadi faktor kekurangan-kekurangan yang saya jabarkan sebelumnya.
Nevertheless, SS masih menjadi sajian pure-entertainment yang begitu memuaskan
indera penglihatan dan pendengaran. Ditambah performa-performa cast yang lebih
dari cukup untuk menjadi remarkable atau bahkan signatural, banyak elemen yang
bisa membekas dalam memori untuk jangka waktu yang cukup lama. I enjoyed it a
lot, even over and over again. By the way, saya menonton SS dua kali dalam
tempo enam jam dengan format Sphere X dan IMAX 3D. Tak ada sedikitpun part yang
membosankan bagi saya. Justru lebih banyak detail yang berhasil saya tangkap,
meski pada akhirnya masih ada pertanyaan-pertanyaan yang semoga saja terjawab
di installment-installment berikutnya. Terakhir, jika Anda termasuk yang kapok dengan
Batman v Superman: Dawn of Justice,
SS masih lebih enjoyable dan memberikan sedikit harapan keberlangsungan DE
Extended Universe ke depan. Setidaknya menurut saya. Jika Anda berpendapat
sebaliknya, itu hak Anda. No further debate is necessary until the upcoming
installments come and numbers matter more.
Lihat data film ini di IMDb.
The 89th Academy Awards Nominees for:
- Makeup and Hairstyling - Alessandro Bertolazzi, Giorgio Gregorini, and Christopher Nelson