The Jose Flash Review
Suicide Squad

Meski di ranah layar lebar usianya jauh lebih ‘tua’ dibandingkan Marvel, DC yang haknya dipegang sepenuhnya oleh WarnerBros tak pernah berhenti mengalami pasang surut. Sementara Marvel Cinematic Universe dikembangkan dengan makin solid dan matang, DC Cinematic Universe yang sejak awal kemunculannya sudah diwarnai kontroversial sampai sekarang masih terus diwarnai hujatan dan kritikan tajam. Setelah Man of Steel, Batman v Superman: Dawn of Justice yang dirilis Maret 2016 lalu tetap saja mengalami nasib yang tak berbeda jauh. Tentu petinggi-petinggi WarnerBros tak ingin kondisi ini berlarut-larut. Maka proyek Suicide Squad (SS) yang sudah produksi sejak April 2015 lalu ini diselesaikan dengan sangat hati-hati, mulai berita reshot sampai editing dengan berbagai versi yang memakan proses cukup panjang, terutama agar hasilnya tidak terlalu gelap seperti installment-installment sebelumnya. Pengalaman membuktikan reshot dan proses editing yang alot bukanlah pertanda bagus terhadap hasil akhir. Terlepas dari trailer musikal yang terkesan sangat fun dan menjanjikan, terbukti begitu embargo dibuka reviewer-reviewer Amerika Serikat memberondong SS dengan berbagai review negatif. Nama David Ayer yang punya reputasi bagus menggarap berbagai film aksi, seperti Street Kings, End of Watch, Sabotage, dan Fury pun sudah didapuk sebagai sutradara sekaligus penulis naskah. Sebagai penulis naskah, Ayer pun punya track record yang bagus, baik secara kualitas maupun komersial, termasuk The Fast and the Furious, dan Training Day. SS sendiri berkonsep supervillain yang dikumpulkan jadi satu tim untuk dijadikan sosok superhero yang memberantas even bigger villain. Tentu konsep antihero seperti ini memang tidak benar-benar baru, karena masih tahun ini juga ada Deadpool dari Marvel. Bahkan konsep tim supervilain juga dimiliki Marvel dengan nama Sinister Six. Sayang, proyek layar lebar Sinister Six yang sempat diumumkan akhirnya di-pending sampai batas waktu yang belum ditentukan. Speaking of SS, how bad would it be?

Pasa klimaks Batman v Superman, pemerintah Amerika Serikat memutar otak bagaimana menjaga pertahanan keamanan dalam negeri. Petinggi operasi intelijen, Amanda Weller, muncul dengan ide memanfaatkan penjahat-penjahat paling berbahaya untuk dijadikan satu tim pembasmi kejahatan luar biasa. Mulai pembunuh bayaran dengan kemampuan menembak selalu jitu, Deadshot; eks-psikiatris Joker yang justru terpengaruh jadi sinting, Harley Quinn; El Diablo yang punya kemampuan pyrokinetic (mampu menghasilkan api dari tubuhnya sendiri); perampok asal Australia, Captain Boomerang; buaya mutan, Killer Croc; sampai Slipknot. Kesemuanya dikumpulkan di Belle Reve Penitentiary di bawah komando Kolonel Rick Flag. Pasukan ini akhirnya diuji cobakan ketika muncul teror di kereta api bawah tanah Midway City  yang diduga bukan berasal dari sosok manusia. Tak mudah meyakinkan kesemuanya agar mau menjalankan misi ini. Namun dengan kepentingan sendiri-sendiri, akhirnya mereka bersedia menumpas sosok monster ini.

Di atas kertas, SS adalah proyek yang sangat menarik. Terutama karena jajaran supervillain yang sudah dikenal luas, terutama Joker dan pasangannya, Harley Quinn. Dengan mengedepankan jajaran karakter sentral (yang jumlahnya sampai sebelas!) sebagai komoditas dan daya tarik utama, sudah seharusnya itulah yang menjadi porsi utama dalam film pula. Tentu tak mudah membuat kesebelas-sebelasnya punya porsi yang sama dengan durasi yang terbatas. SS cukup jeli memilih karakter-karakter populer sebagai lini depan untuk digali lebih banyak dan menarik perhatian penonton. Harley Quinn dan Deadshot menjadi yang paling digali secara emosi, sementara Joker masih ‘disimpan’ untuk installment-installment berikutnya. Tapi jangan salah, karakter Joker di sini dimanfaatkan untuk ‘memperkeruh’ keadaan dan itu sukses menjadi pencuri perhatian yang efektif. El Diablo juga mendapatkan latar belakang yang jelas, tapi mungkin karena terlalu klise sehingga porsinya dibatasi. Sekedar memberi tahu penonton semata. Sementara Captain Boomerang, Killer Croc, Slipknot, dan Katana tampaknya hanya diberi porsi peran lewat keunikan ciri masing-masing. Buat saya tak masalah. Masih ada kesempatan lain untuk mendalami. Sementara ini biarlah menjadi semacam teaser untuk membuat penonton tertarik dan penasaran.

Sebenarnya bukan urusan porsi tiap karakter yang menjadi masalah terbesar SS. Ia sudah memberikan porsi pas dengan alasan serta tujuan yang cukup reasonable. Kendala terbesarnya bagaimana merangkai kesemuanya menjadi satu kesatuan yang runtut dan enak diikuti. Plotline padat yang ditawarkan SS terasa tidak tersampaikan dengan mulus. Storytelling-nya membuat tiap adegan bak fragmen-fragmen terpisah yang berdiri sendiri, tidak menyatu dengan ups and downs yang mulus. Ini lantas memunculkan banyak pertanyaan dalam benak saya yang bahkan sampai akhir belum mendapatkan jawaban memuaskan. Terutama sekali motivasi utama Weller membentuk SS yang jelas punya resiko sangat berbahaya. How bad of WW III threat that made her feeling in an urgency to build the team? Toh jika meruntut urutan plotline, sang monster yang berasal dari badan tim sendiri muncul setelah SS dibentuk. Menurut saya tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mengambil resiko sebesar itu. Taktik licik Weller yang coba dibuat twisting pun menjadi membingungkan gara-gara susunan adegan (dan juga etalase keunikan karakter yang ditebar di sana-sini) yang mendistraksi. In short, secara storytelling termasuk kacau.

Untung saja tampilan SS yang membombardir dengan adegan-adegan aksi spektakuler dan iringan soundtrack-soundtrack lintas era yang semakin membuat adegan-adegannya terkesan lebih gokil. Setidaknya, dua aspek inilah yang membungkus keseluruhan SS menjadi tontonan yang super fun, sangat menghibur dan memanjakan panca indera.

Dengan mengedepankan ensamble karakter, ensamble cast pun menjadi daya tarik yang krusial. WB-DC termasuk jeli dalam memilih. Mengisi lini terdepan, Margot Robbie dan Will Smith jelas tampil paling menonjol. Robbie dengan attitude centil tapi masih punya kesan mengerikan, menggelitik tapi juga bisa menyentuh, sementara Will Smith dengan keseimbangan pas antara villainous charisma dan hearty factor. Jared Leto yang memerankan Joker mungkin tak se-membius mendiang Heath Ledger, tapi sangat berhasil sebagai pencuri perhatian sebagaimana fungsinya di film. ‘Belum’ terkesan begitu beringas, tapi ekpresi ‘sakit jiwa’-nya sudah lebih dari cukup. Viola Davis sebagai Amanda Waller juga berhasil menunjukkan kemisteriusan sekaligus kebengisan karakternya di balik keanggunan. Joel Kinnaman sebagai Rick Flag meski belum berhasil memberikan action hero charisma yang membuat kagum, tapi setidaknya memperlihatkan moral dilemma yang cukup membuat saya bersimpati.  Begitu pula dengan Jay Hernandez sebagai El Diablo yang menunjukkan kualitas akting setara. Pesona fisik serta aura sensual Cara Delevingne cukup menghidupkan kerapuhan karakter Dr. June Moone pada  porsi terbatas, sekaligus cool-factor (tentu saja dengan polesan CGI) saat bertransformasi menjadi Enchantress. Sementara Karen Fukuhara sebagai Katana, Jai Courtney sebagai Captain Boomerang, Adewale Akinnuoye-Agbaje sebagai Killer Croc, dan Adam Beach sebagai Slipknot belum punya porsi yang cukup untuk menarik simpat penonton, tapi cukup untuk memperlihatkan action ability masing-masing.

Menjadi langganan Ayer, Roman Vasyanov mempersembahkan kualitas sinematografi yang mumpuni untuk film action blockbuster. Adegan-adegan yang ditata dengan cantik oleh Ayer dan desainer produksi Oliver Scholl berhasil dibidik olehnya dengan pergerakan kamera yang sedinamis adegan-adegannya. Editing John Gilroy (yang tentu mendapatkan intervensi banyak pihak hingga menghasilkan hasil akhir di layar) mungkin terasa kurang baik dalam merangkai kesemuanya menjadi satu kemasan film yang utuh, tapi setidaknya adegan-adegan aksi yang ditampilkan masih punya nyawa untuk dinikmati dan mengalir tidak sengaco Batman v Superman. Sound design juga patut mendapatkan kredit lebih dalam menyusun suara-suara dengan begitu detail untuk memberikan kesan keren dan kick-ass sepanjang film, termasuk dalam urusan pembagian kanal surround bahkan  untuk musik pengiringnya. Terakhir, tentu saja pemilihan soundtrack-soundtrack lintas era (serta lintas genre) yang tergolong populer (agar penonton familiar) dan makin memperkuat kesan gokil serta menjadikan adegan-adegannya lebih memorable. Mulai You Don’t Own Me versi asli (Lesley Gore, pemeran Pussycat di serial TV Batman versi 1967) yang begitu pas untuk adegan Harley Quinn, Sympathy for the Devil dari The Rolling Stones, Purple Lamborghini dari Skrillex & Rick Ross, Black Skinhead dari Kanye West, Gangsta dari Kehlani, Paranoid dari Black Sabbath, Seven Nation Army dari The White Stripes, Without Me dari Eminem, Come Baby Come dari K7, Bohemian Rhapsody dari Queen, Heathens dari Twenty One Pilots, dan Sucker for Pain dari Lil Wayne, Whiz Khalifa, serta Imagine Dragons yang membombardir bahkan sampai credit roll selesai. Masih ditambah scoring Steven Price yang tak kalah gokilnya membuat tiap adegan makin terasa secara emosional.

Saya sangat merekomendasikan untuk experience SS di format IMAX 3D. Dibandingkan format reguler 2D, SS di IMAX 3D memberikan ketajaman dan kejernihan gambar yang jauh lebih baik, dengan tata suara yang juga lebih hidup, clear and crisp, perbedaan kanal sumber yang terdengar punya dimensi lebih, serta yang terpenting, all sounds blasting. Untuk format 3D, SS punya kedalaman gambar yang terlihat dengan jelas dan terutama terlihat pada titel-titel adegan. Meski tak ada gimmick pop-out the screen yang mengesankan, tapi masih ada efek kamera yang membuat saya terhenyak off the seat dengan bantuan gimmick 3D. Oya jangan lupa, SS di IMAX juga menghadirkan countdown bumper edisi khusus SS yang sayang untuk dilewatkan.

Tak bisa dipungkiri, kekhawatiran WB-DC untuk SS sampai ada reshot dan proses editing yang panjang mungkin menjadi faktor kekurangan-kekurangan yang saya jabarkan sebelumnya. Nevertheless, SS masih menjadi sajian pure-entertainment yang begitu memuaskan indera penglihatan dan pendengaran. Ditambah performa-performa cast yang lebih dari cukup untuk menjadi remarkable atau bahkan signatural, banyak elemen yang bisa membekas dalam memori untuk jangka waktu yang cukup lama. I enjoyed it a lot, even over and over again. By the way, saya menonton SS dua kali dalam tempo enam jam dengan format Sphere X dan IMAX 3D. Tak ada sedikitpun part yang membosankan bagi saya. Justru lebih banyak detail yang berhasil saya tangkap, meski pada akhirnya masih ada pertanyaan-pertanyaan yang semoga saja terjawab di installment-installment berikutnya. Terakhir, jika Anda termasuk yang kapok dengan Batman v Superman: Dawn of Justice, SS masih lebih enjoyable dan memberikan sedikit harapan keberlangsungan DE Extended Universe ke depan. Setidaknya menurut saya. Jika Anda berpendapat sebaliknya, itu hak Anda. No further debate is necessary until the upcoming installments come and numbers matter more.

Lihat data film ini di IMDb.

The 89th Academy Awards Nominees for:

  • Makeup and Hairstyling - Alessandro Bertolazzi, Giorgio Gregorini, and Christopher Nelson


Diberdayakan oleh Blogger.