3/5
Crime
Drama
Hollywood
Indie
Investigation
murder
Mystery
Philosophical
Psychological
serial killer
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Solace
Se7en (1995) memang menjadi semacam milestone untuk genre serial
killer investigation thriller. Tak hanya materi naskah yang memang bagus,
kepiawaian sutradara David Fincher dalam memvisualisasikannya pun menjadi
faktor terpenting sehingga menjadi sekuat dan se-klasik itu. Ide untuk membuat
sekuelnya pun sempat muncul setelah New Line Cinema (anak perusahaan dari
Warner Bros.) selaku studio memilih sebuah naskah karya Sean Bailey dan Ted
Griffin (Ocean’s Eleven versi 2001
dan Matchstick Men) ditulis ulang
dengan judul Ei8ht dan kembalinya
karakter Detektif William Somerset. Sayang akhirnya batal karena Fincher tak
menyukai ide cerita dari naskah tersebut. Warner Bros. akhirnya memilih untuk
tetap memproduksi naskah ini sebagai film yang berdiri sendiri dengan sutradara
Brazil, Afonso Poyart (Two Rabbits –
2012) dan aktor Anthony Hopkins. Setelah berhasil diselesaikan pada 2013, jalan
film bertajuk Solace ini lagi-lagi
sempat mengalami jalan buntu untuk peredarannya. Ia masih harus tersimpan
selama hampir dua tahun di ‘bank’ Warner Bros. hingga akhirnya hak distribusi
dioper ke Relativity Media yang akhir
2015 lalu mengalami kebangkrutan. Sementara rilis di negara-negara lain
terlebih dahulu, Solace baru rilis di
negara asalnya, Amerika Serikat, 2 September 2016 nanti. Indonesia termasuk
salah satu negara yang mendapatkan jadwal rilis lebih awal.
Agen FBI Joe Merriwether dan
Katherine Cowles mengalami jalan buntu ketika harus mengungkap serangkaian
kasus pembunuhan dengan modus identik. Mereka menduga pelakunya adalah orang
yang sama. Joe meminta bantuan pada kolega lamanya, Dokter John Clancy yang
punya intuisi untuk melihat masa lalu sekaligus masa depan seseorang hanya
dengan menyentuhnya. John yang sudah dua tahun mengisolasi diri dari dunia luar
sejak kematian sang putri karena leukemia, awalnya menolak untuk membantu.
Namun ketertarikan membuatnya setuju untuk membantu. John menemukan lebih
banyak persamaan dari para korban yang belum disadari FBI sebelumnya. Siapa
sangka sang pelaku sebenarnya sudah menyiapkan perangkap berbahaya untuk mereka
semua.
Secara premise dan susunan plot, Solace sebenarnya identik dengan Se7en. Bahkan elemen-elemen pendukungnya
pun bak comot sana-sini dari berbagai film thriller invetigasi. Misalnya saja,
intuisi bisa melihat masa lalu dan masa depan untuk membantu penyelidikan.
Sah-sah saja sebenarnya selama masih bisa bikin penonton penasaran. Di awal Solace mungkin masih bisa bikin saya
penasaran. Sayangnya setelah satu per satu petunjuk ditemkukan, plot seperti
kehilangan arah dan membuat saya tak lagi penasaran apa yang bakal terjadi
selanjutnya (baca: revealing moment, klimaks, dan konklusi-nya). Faktor
utamanya adalah kegagalan naskah untuk menyatukan elemen-elemen yang dimiliki
menjadi kesatuan yang solid dan bold. Ditambah pengarahan adegan dari Poyart
yang jangankan memberikan style khas yang unik seperti Fincher, menjaga pace
thriller-nya menjadi ‘gripping’ saja masih belum. Banyak momen yang akhirnya
jatuh menjadi biasa saja. Padahal sebenarnya Solace membahas konsep moralitas tentang hidup dan mati yang lebih
besar serta menarik ketimbang sekedar thriller investigatif biasa. Konsep ini
tersampaikan sih, tapi tetap saja terasa masih mentah.
Naskah yang masih jauh dari kesan
solid akhirnya mempengaruhi pula performa aktor-aktor utama. Seperti misalnya
Anthony Hopkins sebagai Dokter John Clancy yang sebenarnya tampil penuh
kharisma seperti biasa, jadi terasa tanggung dan kurang memorable di mata saya.
Padahal ia mencoba untuk menjalin chemistry dengan karakter Joe Merriwether
yang diperankan Jeffrey Dean Morgan dan Katherine Cowles yang diperankan Abbie
Cornish. Sayang koneksi antar karakter ini masih terasa ‘canggung’ dan kurang
kuat di layar. Begitu pula penampilan Morgan dan Cornish yang sebenarnya tak
buruk dan terlihat mencoba memberikan performa maksimal, tapi ternyata belum
cukup untuk menarik simpati penonton. Colin Farrell yang memerankan karakter antagonis
sebenarnya punya dilema moral yang menarik. Lagi-lagi faktor naskah yang
membuat motif mendalam ini hanya tersampaikan secara verbal, tak sampai
‘mengusik’ benak maupun emosi saya. Screen presence dan pace yang membuat upaya
Farrell terkesan sia-sia.
Secara teknis, Solace menawarkan beberapa visualisasi
menarik, terutama penglihatan John yang melibatkan dramatic slow motion, one
shot dengan kamera yang mengikuti, serta multiplied character sequence. Memang
tak benar-benar baru, tapi bagi saya tetap saja menarik untuk dicatat. Editing Lucas
Gonzaga yang sudah bekerja sama dengan Poyart sejak Two Rabbits dan film selanjutnya, biografi José Aldo, juara UFC
kelas bulu, Mais Forte que o Mundo: A
História de José Aldo, mungkin tak ada yang salah karena permasalahan pace
sebenarnya berasal dari pengarahan Poyart sendiri. Sementara scoring dari BT
mungkin tak sampai jadi sesuatu yang memorable, tapi terdengar cukup unik dan
masih mendukung adegan pada level ‘secukupnya’.
Jika Anda termasuk penggemar
thriller investigatif, Solace masih
bisa jadi pilihan tontonan yang menarik meski punya elemen-elemen yang tentu tak
unik lagi. Namun jika juga mengharapkan jalinan cerita yang solid dan bikin
penasaran atau momen-momen thriller yang gripping, rasanya Anda akan agak kecewa.
So, just enjoy the plotline although you’ve known its flaws.
Lihat data film ini di IMDb.