The Jose Flash Review
Mechanic: Resurrection

The Mechanic (TM) yang dirilis tahun 2011 mungkin bukan merupakan film rilisan studio besar dengan budget yang besar pula, tapi ia cukup menarik perhatian karena merupakan remake dari film berjudul sama tahun 1972 yang dibintangi sang legendaris action, Charles Bronson dan disutradarai Michael Winner (trilogi Death Wish). Di tangan sutradara Simon West (Con Air, The General’s Daughter, dan Lara Croft: Tomb Raider), TM versi 2011 menjelma menjadi drama-action-thriller tentang assassin yang mengalir bekelas serta terasa begitu ‘bersahaja’, sedikit berbeda dengan tipikal film Jason Statham, sang (more to) B-class pure-action icon era 2000-an yang terkesan asal punya banyak adegan aksi baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata api, tanpa mengindahkan plot maupun acting performance. Hasil box office-nya sebenarnya biasa saja (total di seluruh dunia ‘hanya’ US$ 76 juta, dengan budget US$ 40 juta), tapi sosok Jason Statham sebagai icon action era 2000-an, terutama di Asia dan Eropa, masih mampu jadi daya tarik. Maka Millenium Films memberikan lampu hijau untuk penggarapan sekuel yang meski masih mengusung nama Jason Statham di garda terdepan, tapi punya penulis naskah dan sutradara yang berbeda. Bangku sutradara kali ini dipercayakan kepada sineas Jerman, Dennis Gansel yang pernah menggarap Napola - Elite für den Führer (2004) dan Die Welle (2008), sementara naskahnya disusun oleh duo Philip Shelby (Survivor - 2015) dan debutant di layar lebar, Tony Mosher. Sementara di barisan cast, didukung aktor senior Tommy Lee Jones, Jessica Alba, dan Michelle Yeoh. Filmografi dari penulis naskah serta tanggal rilis yang terus mengalami perubahan sebenarnya membuat saya agak sangsi dengan hasil akhir dari sekuel yang diberi tajuk Mechanic: Resurrection (MR) ini. Maka saya mencoba untuk tetap menonton dengan ekspektasi serendah-rendahnya.

Setelah memalsukan kematiannya sendiri, Arthur Bishop yang mantan assassin handal dan paling rapi dalam beroperasi, memilih untuk hidup tenang di Rio de Janeiro dengan identitas baru. Tiba-tiba ada seorang wanita yang mengenalinya dan menawarinya pekerjaan membunuh. Penolakan membuat dirinya malah dikejar-kejar oleh gerombolan orang tak dikenal. Ia memutuskan untuk mengasingkan diri ke sebuah pulau terpencil di Thailand Selatan bersama teman lama yang punya sebuah bungalow, Mei. Di sini Bishop menyelamatkan seorang wanita yang menjadi korban kekerasan bernama Gina Thorne. Ternyata Gina adalah umpan dari seorang pria bernama Crain. Pria ini pula yang memburu Bishop ketika di Rio. Bishop yang mulai jatuh hati pada Gina mau tak mau mengambil pekerjaan menghabisi nyawa tiga orang tanpa menimbulkan kecurigaan sebagai kasus pembunuhan, demi menyelamatkan Gina. Mengetahui tabiat Crain, Bishop pun tak mau kalah cerdas mengakali ‘pekerjaan terpaksa’-nya kali ini.

Sejak opening sequence di Rio de Janeiro, MR sudah memberikan sinyal akan ‘rasa’  yang berbeda dengan TM. MR dibuat dengan konsep fast-pace action thriller yang jelas berbeda jauh dengan TM yang membangun ketegangan lewat kesunyian sebelum akhirnya ‘meledak’. Tak ada yang salah dengan konsep ini sebenarnya. Yang menjadi masalah adalah MR juga mengalami perubahan yang sangat drastis dari segi tipe plot. Tak hanya cliché dan corny (come on, menyandera wanita yang dicintai agar tokoh utama mau melakukan apa saja untuk menyelamatkannya sebagai plot device? It’s one  of the most basic and classic!), logika dan kausal sebab-akibat-nya terasa sangat janggal jika tak mau dianggap bodoh. Misalnya saja sosok Gina yang digunakan Crain sebagai ‘umpan’. Why her? What’s made Crain think Bishop will fall easily for Gina, since we knew that Bishop was a loner who believe in nobody? Itu baru yang menurut saya paling ‘bodoh’, sementara masih ada cukup banyak kejanggalan dan logika sumbang di sepanjang perjalanan plotnya. Ini diperparah dengan penggarapan yang tergolong kasar dan murahan, terutama dari segi transisi antar sequence yang banyak terkesan jumping dan incoherent. Dengan demikian penggunaan bermacam negara sebagai latar setting, mulai Rio de Janeiro, Thailand, Penang, Australia, sampai Bulgaria, terasa sia-sia saja. Memberikan sedikit rasa eksotis di tiap bagian, namun masih jauh untuk bisa menolong keseluruhan film menjadi lebih terasa gripping dan enjoyable, apalagi memorable. Praktis, yang masih bisa dinikmati adalah adegan-adegan aksi dari Statham dengan sedikit ‘akrobatik’ dan berdarah-darah. Masih tergolong biasa saja sih, tapi boleh lah sekedar untuk hiburan brainless.

Jason Statham seperti biasa, masih menjadi leading action actor dengan kharisma action hero yang kuat. Sementara Jessica Alba tak lebih dari sekedar pemanis dan another female character who just waited for the hero to save her. Begitu juga dengan Michelle Yeoh yang ternyata porsi perannya teramat sedikit dan no-action performance pula. Sam Hazeldine sebagai Crain yang just another villain typical. Yang tampil paling menarik justru Tommy Lee Jones sebagai Max Adams. Dengan porsi yang sebenarnya juga tak banyak tapi cukup penting di klimaks, Tommy berhasil menyelaraskan tampilan dandanan nyentrik bin flamboyan (reminded me a lot of Sir Elton John! ;p) dengan performa perwatakannya.

Sebagai sebuah action yang dimaksudkan punya konsep fast-paced dan dinamis, sinematografi Daniel Gottschalk berusaha menghadirkannya. Sayang hasil akhirnya masih jauh dari kata mulus. Bahkan detail adegan aksi dengan pergerakan kamera dinamis terlihat kurang jelas. Begitu juga editing Ueli Christen, Michael J. Duthei, dan Todd E. Miller yang membuat adegan-adegan terasa jumping dan incoherent di banyak kesempatan. Sedangkan untuk urusan detail adegan-adegan aksi, editing cukup membantu menghantarkan pace yang diinginkan. Desain suara efek lebih dari cukup untuk ukuran film non-stop action, meski seharusnya bisa lebih dahsyat lagi dengan dukungan teknologi yang lebih mumpuni.  One of the best part, scoring Mark Isham yang masih membawa nuansa (action thriller) sejenis dari TM dan memberikan power tersendiri bagi keseluruhan film.


Jika Anda menyukai TM dengan segala konsep classy-nya, MR adalah sebuah ‘jungkir-balik’. Tak hanya dari segi konsep tapi juga kualitas berbagai elemennya. Alhasil MR jatuh menjadi just another Statham’s B-class violent action dengan naskah yang dungu di banyak bagian dan penggarapan yang tergolong cheap. Masih penasaran? Boleh saja, asal siap-siap ekspektasi yang sesuai. Nikmati saja sebagai sajian brainless violent action yang masih sedikit lebih renyah.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.