The Jose Flash Review
The Shallows

Sub-genre creature sebenarnya sudah ada sejak sejarah perfilman dimulai. Hanya saja keberadaannya yang terkesan monoton dan hanya mengandalkan adegan-adegan sadis semata membuat genre ini lebih akrab sebagai film TV atau direct-to-video. Akhir 90-an genre ini sempat kembali populer dengan judul-judul seperti Anaconda (1997), Lake Placid (1999), dan Deep Blue Sea (1999). Sayang, setelahnya genre ini kembali ke ‘habitat’-nya sebagai film direct-to-video. Jangan salah, sebagai produk film TV, ada Sharknado (2013) yang sempat heboh dan sudah sampai installment keempat. Salah satu sub-sub-genre yang sempat populer adalah shark attack yang mencapai titik puncaknya lewat Jaws (1975). Setelah itu, mungkin hanya Deep Blue Sea yang dengan mudah diingat oleh kebanyakan penonton. Padahal sebenarnya ada Open Water (2003), Shark Night (2011), Soul Surfer (2011), Bait (2012), Dark Tide (2012), dan film Australia, The Reef (2010). Tahun 2016, Sony Pictures kembali menghadirkan tema survival/one (wo)-man show/creature lewat The Shallows. Berdasarkan naskah Anthony Jaswinski (Vanishing on 7th Street) yang masuk daftar Blacklist 2014, ditunjuklah sutradara Spanyol, Jaume Collet-Serra, yang sudah berpengalaman mengarahkan Liam Neeson di tiga film action thriller; Unknown, Non-Stop, dan Run All Night, serta salah satu thriller paling ikonik era 2000-an, Orphan. Dengan memasang Blake Lively sebagai aktris utama sekaligus sosok one (wo)-man show, The Shallows mencoba menaikkan kembali reputasi film bertemakan shark attack maupun creature.

Nancy Adams memutuskan mencari sebuah pantai rahasia di pedalaman Meksiko, dimana sang ibu yang juga seorang surfer pernah berkunjung. Nancy pun menyebutnya sebagai ‘mom’s beach’. Perjalanannya tak sia-sia ketika sampai di pantai yang masih perawan tersebut. Selain dirinya, hanya ada dua surfer pria yang sedang menjajal ombak dengan bekal sebuah kamera Go-Pro. It’s all a paradise, sampai ketika Nancy memutuskan untuk tinggal lebih lama bersama ombak sementara dua surfer pria lainnya meninggalkan dirinya sendiri. Setelah menemukan bangkai paus bungkuk, Nancy sadar bahwa ada sesosok hiu putih yang ganas dan siap menyerang menghuni pantai tersebut. Tak hanya pahanya yang sempat tergigit, Nancy harus mengandalkan kepiawaiannya sebagai mahasiswi kedokteran, logika dan perhitungan yang matang, serta keberanian lebih untuk bertahan hidup sampai ada pengunjung lain yang datang menolong.

Ketimbang sebagai film bergenre shark attack ataupun creature, The Shallows sebenarnya lebih cenderung menggunakan treatment sebagai film one (wo)-man show survival. Sedikit mengingatkan saya akan perjuangan Tom Hanks untuk bertahan hidup di Cast Away, bahkan dengan menampilkan sosok burung camar yang diberi nama Steven Seagull yang jelas-jelas mengingatkan kita akan sosok bola voli bernama Wilson. Hanya saja, The Shallows punya elemen-elemen pembangun konflik yang jauh lebih menegangkan dan membuat saya berkali-kali memicingkan mata dan jump-off-the-seat. Tentu saja semua berasal dari serangan hiu yang ditata dengan timing dan framing serba tepat sehingga berhasil menjadi sajian shark attack di atas rata-rata. Kepiawaian dan kejelian Collet-Serra dalam menghadirkan thriller yang gripping menjadi faktor terbesar keberhasilan The Shallows. Durasinya memang ‘hanya’ 86 menit, tapi mampu membuatnya serba efektif dalam memompa adrenaline dan memikat penonton lewat karakter Nancy yang cerdas dan pemberani. Naskah pun memasukkan latar belakang Nancy dengan begitu efektif, tak membuang-buang durasi, dan lebih dari cukup untuk membuat penonton memahami serta bersimpati kepadanya. Perjuangan survival Nancy sepanjang film pun menjadi medium yang lebih ampuh lagi untuk menarik simpati penonton, termasuk membuat penonton ikut merasakan perasaan was-was dan ketakutan yang dialami oleh Nancy sendiri. Yang patut dicatat pula, tak ada kesan eksploitasi gore yang berlebihan di sini  (eksploitasi kemolekan tubuh Lively sedikit terasa sih, tapi masih dalam koridor estetis dan tak ada kesan vulgar sama sekali).

Tampil sebagai karakter one (wo)-man show utama, performa Blake Lively tentu menjadi salah satu sorotan terbesar. Untung saja, Blake yang sebelumnya punya image karakter wanita kalem dan lemah lembut, berhasil menghidupkan karakter Nancy Adams dengan amat baik. Tak hanya menjadi screen sweetheart berkat kharisma (dan tentu saja fisiknya), tapi juga menghidupkan berbagai emosi ‘kesendirian’ dengan sangat convincing. Terutama ketika ia harus mempraktekkan ilmu kedokterannya pada diri sendiri dengan peralatan seadanya. Penonton seolah bisa ikut merasakan betapa perih dan menyakitkannya momen itu. Tak ketinggalan struggle yang bikin penonton ikut semangat mendukung dirinya, Lively definitely has won any audiences’ hearts.

Mengandalkan atmosfer, The Shallows dibekali teknis-teknis yang serba mumpuni dan mendukung keberhasilannya sebagai sebuah horror thriller bertema creature. Mulai sinematografi Flavio Labiano yang berhasil menampilkan keutuhan emosi Nancy lewat berbagai angle, editing Joel Negron yang menyusun segalanya dengan porsi dan momentum yang serba tepat (termasuk adegan surfing dengan iringan Trouble dari Neon Jungle yang membuat adegan terkesan lebih asyik), sampai scoring Marco Beltrami yang selalu berhasil mengaduk-aduk adrenaline penonton. Sedikit visual effect di beberapa elemen yang masih terlihat kasar, tapi keseluruhan masih acceptable. Tak sampai mengganggu atmosfer maupun pompa adrenaline yang coba dihadirkan.

Sebenarnya tak perlu naskah yang unik atau muluk-muluk untuk genre seperti The Shallow ini. Masukkan saja semua elemen yang dibutuhkan dengan proporsi seperlunya, kemudian eksekusi dengan pengarahan yang stylish dan thrilling-skill yang mumpuni, maka hasilnya pun akan berhasil melampaui ekspektasi penonton. The Shallows adalah salah satu buktinya. Bagi saya, ia berhasil menjadi salah satu film creature/shark attack (tentu saja setelah Jaws) sekaligus film one (wo)-man show survival paling memorable so far.


Lihat data film ini di IMDb
Diberdayakan oleh Blogger.