The Jose Flash Review
Silent Hero(es) (沉默英雄)

Etnis Tionghoa adalah salah satu dari etnis yang cukup besar dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Tapi eksistensi (budaya)-nya baru terdengar dan benar-benar menjadi bagian dari kebudayaan nasional sejak pemerintahan mantan presiden Abdurrahman Wahid. Satu per satu sineas dari etnis ini pun bermunculan dan mewarnai perfilman Indonesia. Akan tetapi yang benar-benar mengangkat kebudayaan etnis Tionghoa masih bisa dihitung dengan tangan. Maka ketika Ducko Chan, yang sebelumnya dikenal sebagai fotografer/videografer komersil/filmmaker film pendek, membuat sebuah film panjang pertamanya yang mengangkat Barongsai sebagai salah satu budaya Tionghoa, ini menjadi menarik. Apalagi dengan gimmick “film Indonesia pertama yang dialog-nya sebagian besar menggunakan bahasa Mandarin” seperti yang dimiliki Singapura atau Malaysia yang sama-sama punya cukup banyak etnis Tionghoa. Dengan dukungan dari mantan bupati Singkawang, Hasan Karman, sebagai investor, Silent Hero(es) (SH) dibuat dengan semangat indie, melibatkan komunitas DSLR  Cinematography Indonesia, bahkan menurut closing title-nya, sebagian besar kru adalah volunteer yang tidak dibayar. Tujuan utamanya, yang katanya, untuk membantu melestarikan budaya Barongsai, patut mendapatkan apresiasi tersendiri, terlepas dari bagaimana hasil akhirnya.

Namun rupanya debut film panjang Ducko Chan ini masih sangat jauh dari kata baik, apalagi sempurna. Terutama sekali adalah naskah yang tampaknya menjadi terabaikan. Bagaimana tidak, bahkan di seksi cast & crew situs resminya, tidak ada satupun yang tercantum sebagai penulis naskah. Sedangkan menurut filmindonesia.or.id, nama Ducko Chan sendirilah yang dicatat sebagai penulis naskah. Tidak heran jika jalan cerita SH tidak hanya formulaic, tapi juga berkembang klise, dengan struktur yang kacau sehingga menyebabkan plot hole dan kontinuiti adegan yang tidak logis di mana-mana. Premise-nya sendiri sebenarnya sederhana, yaitu tentang sekelompok anak muda yang mengusahakan sendiri untuk berhasil menyalurkan passionnya, di tengah penentangan dari berbagai pihak, terutama dari keluarga. Tapi sebenarnya dengan naskah dan penyutradaraan yang inovatif, masih tetap bisa jadi sajian yang menarik. Sayangnya, SH masih jauh dari harapan itu. Misalnya saja, alasan penentangan keluarga masing-masing anggota barongsai yang kurang kuat dan tidak konsisten. Ditambah lagi perubahan sikap penentangan menjadi penerimaan yang mendadak dan drastis. Logika lain, misalnya bagaimana tokoh Ernest alias Li Jia Cheng diperbolehkan menekuni apa saja kecuali barongsai. Maka ia pun belajar saxophone. So, apa bedanya barongsai dan saxophone yang sama-sama produk kesenian dan "tidak bisa menghasilkan uang" seperti halnya berbisnis?

Kekacauan juga terjadi pada struktur cerita. Dari awal hingga hamper klimaks, cerita berjalan lurus seperti halnya drama gereja yang klise. Namun kemudian dilanjutkan klimaks cerita (apalagi kalau bukan final perlombaan yang menentukan), banyak turnover yang terasa begitu drastis dan terkesan gampangan. Baru setelah klimaks cerita berakhir, dijelaskan satu-satu apa yang terjadi, yang menyebabkan turnover itu. Well, niatan untuk men-twist cerita harus gagal karena: satu, yang sebenarnya terjadi biasa saja, tidak istimewa sama sekali. Dua, terlalu banyak angle karakter yang digunakan untuk men-twist sehingga menjadi terlalu panjang dan klimaks-nya sudah terlampau jauh lewat.

Naskah yang standard dan tereksekusi berantakan masih ditambah dengan instinct storytelling yang masih jauh untuk menghasilkan sesuatu yang lebih menarik. Saya mencatat ada cukup banyak momen yang seharusnya bisa jadi jauh lebih emosional, namun harus terlewatkan begitu saja hanya karena timingnya yang terlalu cepat dan penekanan adegan yang nihil. Alhasil, cerita yang sudah biasa saja tidak berhasil tampil menjadi lebih menarik karena tidak di-“perk up” sama sekali. Performance barongsai yang sebenarnya menjadi highlight utama, juga tidak tergarap dengan maksimal. Tidak ada something yang membuat penonton kagum, baik itu dari segi koreografi maupun camera work yang seharusnya bisa mengeksploitasi keindahan performance-nya. Yang ada hanyalah fusion antara performance barongsai dengan musik hiphop dan jazz yang hasilnya ternyata biasa saja. Seolah menggampangkan image bahwa sesuatu yang bagus dan beda hanya bisa disajikan dengan fusion berbagai elemen budaya. Well, boleh saja sih asal hasilnya memang blending dengan bagus. Kalau biasa saja, ya tetap saja terasa mubazir sih.

Di jajaran cast sebenarnya tidak buruk, meski sebagian besar adalah penampilan pertama mereka di film panjang. Justru kalau mau jujur, penampilan para cast-nya lah yang menolong SH sehingga masih bisa nyaman dinikmati. Terutama sekali pelafalan dialog berbahasa Mandarin dialek Hakka dengan lancar dan hidup. Bahkan jika menutup mata dan hanya mendengarkan audionya, SH sudah seperti film Mandarin sungguhan. Nirina Zubir sebagai satu-satunya aktris professional di jajaran cast jelas terasa yang paling menonjol. Latar belakangnya yang anak duta besar dan memang jago bahasa Mandarin, memperkuat karakternya di sini.

Sementara itu penampilan Fina Phillipe, Ivanaldy Kabul, Zemary Sahat, dan Alena Wu memang masih jauh dari kata istimewa, tapi cukup baiklah sebagai debut. Namun above all, penampilan Joyln Hendrawan sebagai si kecil Yu Yu, berhasil mencuri perhatian saya.

Untuk teknis, secara keseluruhan tergolong cukup mumpuni. Meski ada beberapa pergerakan kamera yang kurang rapi dan coloring yang tidak merata, tapi masih bisa ditolerir apalagi sebagai film indie yang serba terbatas. Sebaliknya tata suara justru terdengar lebih tergarap baik. Setidaknya keseimbangan antara dialog, sound effect, dan musik yang tertata baik.

Once again, SH memang masih jauh dari kata bagus. Namun mengingat semangat indie dan segala keterbatasannya, hasil akhir SH masih layak untuk diapresiasi. Toh, dengan mengesampingkan berbagai kekurangan dan keanehannya, SH juga masih cukup bisa dinikmati. Semoga saja jejak SH bisa terus diikuti oleh karya-karya lain dengan berbagai aspek yang lebih mumpuni, baik sebagai film yang mengangkat budaya Tionghoa maupun film yang berani menggunakan bahasa dan dialek daerah.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id
Lihat situs resmi film ini.
Diberdayakan oleh Blogger.