2.5/5
Chinese
Drama
Family
Friendship
Indonesia
Inspirational
Socio-cultural
Sport
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Silent Hero(es) (沉默英雄)
Etnis Tionghoa adalah salah satu
dari etnis yang cukup besar dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Tapi
eksistensi (budaya)-nya baru terdengar dan benar-benar menjadi bagian dari kebudayaan
nasional sejak pemerintahan mantan presiden Abdurrahman Wahid. Satu per satu
sineas dari etnis ini pun bermunculan dan mewarnai perfilman Indonesia. Akan
tetapi yang benar-benar mengangkat kebudayaan etnis Tionghoa masih bisa
dihitung dengan tangan. Maka ketika Ducko Chan, yang sebelumnya dikenal sebagai
fotografer/videografer komersil/filmmaker film pendek, membuat sebuah film
panjang pertamanya yang mengangkat Barongsai sebagai salah satu budaya
Tionghoa, ini menjadi menarik.
Apalagi dengan gimmick “film Indonesia pertama yang dialog-nya sebagian besar
menggunakan bahasa Mandarin” seperti yang dimiliki Singapura atau Malaysia yang
sama-sama punya cukup banyak etnis Tionghoa. Dengan dukungan dari mantan
bupati Singkawang, Hasan Karman, sebagai investor, Silent Hero(es) (SH)
dibuat dengan semangat indie, melibatkan komunitas DSLR Cinematography Indonesia, bahkan menurut
closing title-nya, sebagian besar kru adalah volunteer yang tidak dibayar.
Tujuan utamanya, yang katanya, untuk membantu melestarikan budaya Barongsai,
patut mendapatkan apresiasi tersendiri, terlepas dari bagaimana hasil akhirnya.
Namun rupanya debut film panjang
Ducko Chan ini masih sangat jauh dari kata baik, apalagi sempurna. Terutama
sekali adalah naskah yang tampaknya menjadi terabaikan. Bagaimana tidak, bahkan
di seksi cast & crew situs resminya, tidak ada satupun yang tercantum
sebagai penulis naskah. Sedangkan menurut filmindonesia.or.id, nama Ducko Chan
sendirilah yang dicatat sebagai penulis naskah. Tidak heran jika jalan cerita SH tidak hanya formulaic, tapi juga
berkembang klise, dengan struktur yang kacau sehingga menyebabkan plot hole dan
kontinuiti adegan yang tidak logis di mana-mana. Premise-nya sendiri sebenarnya
sederhana, yaitu tentang sekelompok anak muda yang mengusahakan sendiri untuk
berhasil menyalurkan passionnya, di tengah penentangan dari berbagai pihak,
terutama dari keluarga. Tapi sebenarnya dengan naskah dan penyutradaraan yang
inovatif, masih tetap bisa jadi sajian yang menarik. Sayangnya, SH masih jauh
dari harapan itu. Misalnya saja, alasan penentangan keluarga masing-masing
anggota barongsai yang kurang kuat dan tidak konsisten. Ditambah lagi perubahan
sikap penentangan menjadi penerimaan yang mendadak dan drastis. Logika lain,
misalnya bagaimana tokoh Ernest alias Li Jia Cheng diperbolehkan menekuni apa
saja kecuali barongsai. Maka ia pun belajar saxophone. So, apa bedanya
barongsai dan saxophone yang sama-sama produk kesenian dan "tidak bisa menghasilkan uang" seperti halnya berbisnis?
Kekacauan juga terjadi pada struktur
cerita. Dari awal hingga hamper klimaks, cerita berjalan lurus seperti halnya
drama gereja yang klise. Namun kemudian dilanjutkan klimaks cerita (apalagi
kalau bukan final perlombaan yang menentukan), banyak turnover yang terasa
begitu drastis dan terkesan gampangan. Baru setelah klimaks cerita berakhir,
dijelaskan satu-satu apa yang terjadi, yang menyebabkan turnover itu. Well,
niatan untuk men-twist cerita harus gagal karena: satu, yang sebenarnya terjadi
biasa saja, tidak istimewa sama sekali. Dua, terlalu banyak angle karakter yang
digunakan untuk men-twist sehingga menjadi terlalu panjang dan klimaks-nya
sudah terlampau jauh lewat.
Naskah yang standard dan tereksekusi berantakan
masih ditambah dengan instinct storytelling yang masih jauh untuk menghasilkan
sesuatu yang lebih menarik. Saya mencatat ada cukup banyak momen yang seharusnya bisa
jadi jauh lebih emosional, namun harus terlewatkan begitu saja hanya karena
timingnya yang terlalu cepat dan penekanan adegan yang nihil. Alhasil, cerita
yang sudah biasa saja tidak berhasil tampil menjadi lebih menarik karena tidak
di-“perk up” sama sekali. Performance barongsai yang sebenarnya menjadi
highlight utama, juga tidak tergarap dengan maksimal. Tidak ada something yang
membuat penonton kagum, baik itu dari segi koreografi maupun camera work yang
seharusnya bisa mengeksploitasi keindahan performance-nya. Yang ada hanyalah
fusion antara performance barongsai dengan musik hiphop dan jazz yang hasilnya
ternyata biasa saja. Seolah menggampangkan image bahwa sesuatu yang bagus dan
beda hanya bisa disajikan dengan fusion berbagai elemen budaya. Well, boleh
saja sih asal hasilnya memang blending dengan bagus. Kalau biasa saja, ya tetap
saja terasa mubazir sih.
Di jajaran cast sebenarnya tidak buruk, meski
sebagian besar adalah penampilan pertama mereka di film panjang. Justru kalau
mau jujur, penampilan para cast-nya lah yang menolong SH sehingga masih bisa
nyaman dinikmati. Terutama sekali pelafalan dialog berbahasa Mandarin dialek Hakka
dengan lancar dan hidup. Bahkan jika menutup mata dan hanya mendengarkan
audionya, SH sudah seperti film Mandarin sungguhan. Nirina Zubir sebagai
satu-satunya aktris professional di jajaran cast jelas terasa yang paling
menonjol. Latar belakangnya yang anak duta besar dan memang jago bahasa
Mandarin, memperkuat karakternya di sini.
Sementara itu penampilan Fina Phillipe,
Ivanaldy Kabul, Zemary Sahat, dan Alena Wu memang masih jauh dari kata
istimewa, tapi cukup baiklah sebagai debut. Namun above all, penampilan Joyln
Hendrawan sebagai si kecil Yu Yu, berhasil mencuri perhatian saya.
Untuk teknis, secara keseluruhan tergolong
cukup mumpuni. Meski ada beberapa pergerakan kamera yang kurang rapi dan
coloring yang tidak merata, tapi masih bisa ditolerir apalagi sebagai film
indie yang serba terbatas. Sebaliknya tata suara justru terdengar lebih
tergarap baik. Setidaknya keseimbangan antara dialog, sound effect, dan musik
yang tertata baik.
Once again, SH memang masih jauh dari kata
bagus. Namun mengingat semangat indie dan segala keterbatasannya, hasil akhir
SH masih layak untuk diapresiasi. Toh, dengan mengesampingkan berbagai
kekurangan dan keanehannya, SH juga masih cukup bisa dinikmati. Semoga saja
jejak SH bisa terus diikuti oleh karya-karya lain dengan berbagai aspek yang
lebih mumpuni, baik sebagai film yang mengangkat budaya Tionghoa maupun film yang
berani menggunakan bahasa dan dialek daerah.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id
Lihat situs resmi film ini.