The Jose Flash Review
Love, Rosie

Apakah Anda termasuk umat yang percaya bahwa kalau jodoh itu ada? Meski terpisahkan sejauh apapun, bahkan oleh janur kuning yang melengkung sekalipun, jika sudah jodoh, suatu hari pasti bakal dipersatukan lagi. Percayakah juga Anda bahwa persahabatan menjadi dasar yang kuat dalam sebuah hubungan asmara? Dua ‘kepercayaan’ tentang asmara ini tentu tidak bisa dianut semua orang, secara setiap orang pasti punya pengalaman pribadi yang berbeda-beda. Maka tak heran jika tiap kemunculan film romance yang manis, selalu ada saja dua kubu yang saling bertolak belakang. Beruntung, saya termasuk umat yang meyakini dua ‘kepercayaan’ tentang asmara itu, sehingga bisa dengan mudah menikmati film romance, asal tidak kelewatan dalam menjual mimpi saja.

Love, Rosie (LR) yang diangkat dari novel berjudul Where Rainbows End karya Cecelia Ahern ini sebenarnya punya premise yang sudah sangat-sangat sering diangkat oleh film romance. Yang paling saya ingat punya premise mirip adalah One Day (OD) yang juga diangkat dari novel. Namun meski sama-sama tentang pasang-surut hubungan asmara dalam rentang waktu yang cukup panjang, LR punya perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan OD. Terutama sekali adalah kemasan LR yang jauh lebih fun, bahkan tidak segan-segan menyelipkan beberapa humor yang cukup slapstick di dalamnya. LR juga lebih banyak mengambil sudut pandang kaum wanita, yang di sini diwakili oleh Rosie, sementara OD lebih berimbang dalam mengambil sudut pandang. Sehingga tak salah jika terkadang LR lebih terasa sebagai chicklit.

Tapi jangan salah, meski didominasi oleh adegan-adegan manis dan unfortunate events yang terkesan bertubi-tubu, saya sama sekali tidak merasakan LR sebagai tontonan yang tenggelam terlalu dalam ke jurang mellodrama maupun terlalu menjual mimpi. The best part of LR justru terletak pada pendekatannya yang sangat realistis, terutama dari segi berbagai keputusan yang diambil oleh karakter-karakternya yang manusiawi, rasional, dan dewasa. Tak ketinggalan pula dialog-dialog manis yang quotable. 

Meski chemistry antara karakter Rosie (Lily Collins) dan Alex (Sam Claflin) tak sepenuhnya terasa kuat, namun masing-masing mampu memainkan perannya dengan sangat pas, baik ketika adegan komedi maupun romantis. Di lini pemeran pendukung pun juga diisi dengan sangat pas sesuai dengan porsinya. Tapi favorit saya adalah Jaime Winston yang memerankan karakter Ruby.

Aspek lain yang turut mendukung nuansa komedi maupun romance-nya adalah pilihan-pilihan soundtrack yang tak hanya pas menghidupkan adegannya menjadi lebih semarak dan mellow ringan, tapi juga populer sesuai dengan rentang waktunya. Mulai I’ll Never Fall In Love Again, Alone Again - Naturally, Asereje, Crazy in Love, Hip Hop Hooray, Played Alive, Push It, Suddenly I See, sampai Hey How.


So yes, LR mungkin punya premise yang just another romance movie. Tapi come on, akui atau tidak kita semua selalu butuh romance seperti ini untuk sekedar merasakan atau diyakinkan lagi akan manisnya cinta. As for me, racikan serba pas dari LR selalu bisa jadi pilihan yang tepat dan manis untuk ditonton bersama pasangan tiap Valentine’s Day tiba.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.