3.5/5
Action
Adventure
Blockbuster
Box Office
Comedy
Futuristic
Hollywood
Parenting
Psychological
Robot
SciFi
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Chappie
Tahun 2009 saya dikejutkan dengan
judul District 9, sebuah film sci-fi
bertemakan serangan alien yang berhasil dinominasikan untuk kategori Best
Motion Picture of the Year. Mengejutkan karena menurut saya The Academy jarang
sekali memasukkan tipikal film ini ke dalam nominasi, apalagi untuk kategori
tertinggi. Maka saya berpikir pasti ada sesuatu yang spesial dari film yang
digarap oleh Neill Blomkamp yang saat itu juga masih asing terdengar. Benar
saja, District 9 adalah film panjang
pertama sutradara asal Afrika Selatan itu, setelah sebelumnya sempat menggarap
beberapa film pendek.
Karir Blomkamp di Hollywood
berlanjut ketika dipercaya untuk menggarap Elysium
yang skalanya jauh lebih besar. Benang merahnya pun sama, tema sci-fi dengan
sindiran-sindiran tentang kemanusiaan, kondisi sosial, dan politis. Tahun 2015,
sekali lagi Blomkamp mendapatkan lampu hijau untuk mewujudkan Chappie, sebuah sci-fi yang ciri-cirinya
juga tak beda jauh dari 2 film Neill sebelumnya. Kali ini Neill membidik
premise yang mirip perpaduan kisah Pinokio (atau lebih tepatnya Artificial Intelligence dan Bicentennial Man) dan Robocop.
Dengan pendekatan satir, dari
luar Chappie terkesan seperti sebuah
action-komedi yang tak jarang membuat penonton tertawa terbahak-bahak, terutama
melihat tingkah robot Chappie yang lugu dan pasangan karakter Ninja-Yolandi
yang berusaha mengajari Chappie berbagai tindak kejahatan. Tapi jika mau
dipahami lebih dalam, sajian komedi yang ditampilkan teramat sangat gelap,
bahkan sampai at some point, saya tidak lagi menganggapnya lucu. Mungkin Neill
sendiri sengaja berusaha ‘menghibur’ penonton dengan mengajak tertawa tapi pada
akhirnya dibuat miris. Jika benar demikian, maka sekali lagi karya Neill
berhasil mencapai tujuannya.
Namun Chappie tidak sesederhana itu. Ada beberapa karakter lain yang
dihadirkan untuk ‘meramaikan’ cerita. Ada Michelle Bradley, bos polisi robot
yang ambisius dan hanya mementingkan keuntungan, dan Vincent Moore, teknisi
robot yang iri karena karyanya tidak dilirik untuk direalisasikan. Sebenarnya
kehadiran karakter-karakter penting ini mampu menjadikan kisah Chappie menjadi lebih menarik dan padat.
Namun sayangnya kesemuanya disajikan dengan kurang seimbang sehingga alih-alih
menjadi satu kesatuan cerita yang padat, Chappie
malah terasa agak bertele-tele. Message utama tentang parenting yang ingin
disampaikan pun menjadi bias dan terasa kurang kuat gara-gara sub-plot-sub-plot
ini. Belum lagi ending-nya yang terkesan kurang klimaks, kalau tidak mau
dibilang aneh.
Sebagai karakter utama yang hanya
terdengar suaranya, Sharlto Copley tampil sangat mengesankan. Dengan artikulasi
yang lugu, membuat siapa pun yang mendengarkan akan lirih dan tersentuh.
Pasangan musisi hip-hop Ninja dan Yo-Landi Visser yang sekaligus mengisi
soundtrack-nya dan menjadikan film menjadi semakin asyik diiikuti, turut
memberikan warna terindah bagi Chappie.
Komikal sekaligus serius. Begitu juga Sigourney Weaver dan Hugh Jackman yang
meski terkesan hanya menjadi pelengkap, sebenarnya tampil menarik. Namun
sayangnya Dev Patel yang sebenarnya diletakkan sebagai salah satu karakter
utama, justru terasa tenggelam di antara cast-cast pengisi karakter lainnya.
Bukan salah Dev, tapi memang karakternya yang tidak ditulis dengan baik.
Aspek menarik lain dari Chappie adalah desain produksinya yang
colorful dan terkesan youth, namun terkesan ‘gelap’ dan suram, sejalan dengan
kisahnya sendiri. Musik-musik bernuansa techno dan rave, dipadukan dengan
scoring Hans Zimmer, yang mewarnai sepanjang film, cukup berhasil menghidupkan
nuansa universe dan ceritanya, meski tak semuanya terasa berkesan.
In the end, Chappie mungkin bukan karya terbaik Blomkamp. Namun sebagai suguhan hiburan yang menggelitik sekaligus sedikit menggugah, Chappie masih cukup berhasil menyampaikan tujuannya.
Lihat data film ini di IMDb.