The Jose Flash Review
Chappie

Tahun 2009 saya dikejutkan dengan judul District 9, sebuah film sci-fi bertemakan serangan alien yang berhasil dinominasikan untuk kategori Best Motion Picture of the Year. Mengejutkan karena menurut saya The Academy jarang sekali memasukkan tipikal film ini ke dalam nominasi, apalagi untuk kategori tertinggi. Maka saya berpikir pasti ada sesuatu yang spesial dari film yang digarap oleh Neill Blomkamp yang saat itu juga masih asing terdengar. Benar saja, District 9 adalah film panjang pertama sutradara asal Afrika Selatan itu, setelah sebelumnya sempat menggarap beberapa film pendek.

Karir Blomkamp di Hollywood berlanjut ketika dipercaya untuk menggarap Elysium yang skalanya jauh lebih besar. Benang merahnya pun sama, tema sci-fi dengan sindiran-sindiran tentang kemanusiaan, kondisi sosial, dan politis. Tahun 2015, sekali lagi Blomkamp mendapatkan lampu hijau untuk mewujudkan Chappie, sebuah sci-fi yang ciri-cirinya juga tak beda jauh dari 2 film Neill sebelumnya. Kali ini Neill membidik premise yang mirip perpaduan kisah Pinokio (atau lebih tepatnya Artificial Intelligence dan Bicentennial Man) dan Robocop.

Dengan pendekatan satir, dari luar Chappie terkesan seperti sebuah action-komedi yang tak jarang membuat penonton tertawa terbahak-bahak, terutama melihat tingkah robot Chappie yang lugu dan pasangan karakter Ninja-Yolandi yang berusaha mengajari Chappie berbagai tindak kejahatan. Tapi jika mau dipahami lebih dalam, sajian komedi yang ditampilkan teramat sangat gelap, bahkan sampai at some point, saya tidak lagi menganggapnya lucu. Mungkin Neill sendiri sengaja berusaha ‘menghibur’ penonton dengan mengajak tertawa tapi pada akhirnya dibuat miris. Jika benar demikian, maka sekali lagi karya Neill berhasil mencapai tujuannya.

Namun Chappie tidak sesederhana itu. Ada beberapa karakter lain yang dihadirkan untuk ‘meramaikan’ cerita. Ada Michelle Bradley, bos polisi robot yang ambisius dan hanya mementingkan keuntungan, dan Vincent Moore, teknisi robot yang iri karena karyanya tidak dilirik untuk direalisasikan. Sebenarnya kehadiran karakter-karakter penting ini mampu menjadikan kisah Chappie menjadi lebih menarik dan padat. Namun sayangnya kesemuanya disajikan dengan kurang seimbang sehingga alih-alih menjadi satu kesatuan cerita yang padat, Chappie malah terasa agak bertele-tele. Message utama tentang parenting yang ingin disampaikan pun menjadi bias dan terasa kurang kuat gara-gara sub-plot-sub-plot ini. Belum lagi ending-nya yang terkesan kurang klimaks, kalau tidak mau dibilang aneh.

Sebagai karakter utama yang hanya terdengar suaranya, Sharlto Copley tampil sangat mengesankan. Dengan artikulasi yang lugu, membuat siapa pun yang mendengarkan akan lirih dan tersentuh. Pasangan musisi hip-hop Ninja dan Yo-Landi Visser yang sekaligus mengisi soundtrack-nya dan menjadikan film menjadi semakin asyik diiikuti, turut memberikan warna terindah bagi Chappie. Komikal sekaligus serius. Begitu juga Sigourney Weaver dan Hugh Jackman yang meski terkesan hanya menjadi pelengkap, sebenarnya tampil menarik. Namun sayangnya Dev Patel yang sebenarnya diletakkan sebagai salah satu karakter utama, justru terasa tenggelam di antara cast-cast pengisi karakter lainnya. Bukan salah Dev, tapi memang karakternya yang tidak ditulis dengan baik.

Aspek menarik lain dari Chappie adalah desain produksinya yang colorful dan terkesan youth, namun terkesan ‘gelap’ dan suram, sejalan dengan kisahnya sendiri. Musik-musik bernuansa techno dan rave, dipadukan dengan scoring Hans Zimmer, yang mewarnai sepanjang film, cukup berhasil menghidupkan nuansa universe dan ceritanya, meski tak semuanya terasa berkesan.


In the end, Chappie mungkin bukan karya terbaik Blomkamp. Namun sebagai suguhan hiburan yang menggelitik sekaligus sedikit menggugah, Chappie masih cukup berhasil menyampaikan tujuannya.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.