The Jose Flash Review
Murder on the Orient Express
[2017]

Penggemar genre detektif pasti mengenal sosok Hercule Poirot (baca: Erkyul Pwarou), detektif fiktif asal Belgia rekaan Agatha Christie yang sudah muncul dalam 33 judul novel, lebih dari 50 cerpen sejak tahun 1920, dan sudah diadaptasi dalam berbagai medium, seperti sandiwara radio, film layar lebar, dan TV. Tak hanya di Inggris dan Amerika Serikat, tapi juga di Jerman, Rusia, bahkan hingga Jepang. Namun judul yang paling sering diadaptasi adalah Murder on the Orient Express (MotOE). Setelah versi tahun 1974 arahan Sidney Lumet dengan ensemble cast kelas A macam Albert Finney, Lauren Bacall, Ingrid Bergman, Jacqueline Bisset, Jean-Pierre Cassel, Anthony Perkins, Sean Connery, dan Vanessa Redgrave, versi FTV tahun 2001 yang dibintangi Alfred Molina, serta salah satu episode serial Agatha Christie’s Poirot, 20th Century Fox berinisiatif untuk memperkenalkan kembali sosok Hercule Poirot ke generasi masa kini dengan menunjuk Michael Green (Logan, Alien: Covenant, Blade Runner 2049) selaku penyusun naskah adaptasi dan Kenneth Branagh sebagai sutradara. 


Melanjutkan ‘kebiasaan’ di film-film adaptasi Shakespeare seperti Henry V, Much Ado About Nothing, dan Hamlet, Branagh tak hanya menyutradarai tapi juga sekaligus mengisi peran utama, sang detektif ulung Hercule Poirot. Dukungan cast-nya pun tak kalah ‘kelas A’ dibandingkan versi 1974. Mulai Johnny Depp, Michelle Pfeiffer, Judi Dench, Penélope Cruz, Willem Dafoe, Josh Gad, Daisy Ridley, Tom Bateman, Marwan Kenzari, Leslie Odom Jr., hingga Lucy Boynton yang sempat memukau kita di Sing Street
Ketika menumpang kereta api Orient Express dari Istanbul ke London karena ada panggilan kasus lain, sebuah kasus pembunuhan terjadi menimpa Samuel Ratchett, pebisnis asal Amerika Serikat yang sebelumnya sempat menawari Hercule Poirot pekerjaan sebagai pengawal pribadi. Atas permintaan direktur kereta yang juga sahabatnya, Bouc, Hercule bersedia menyelidiki siapa pelaku pembunuhan tersebut. Keseluruhan penumpang kelas satu dan dua merupakan kandidat tersangka. Mulai Edward Masterman dan Hector McQueen yang merupakan anak buah Ratchett, Profesor Hardman, sosialita Amerika Nyonya Hubbard, sales mobil Italia Beniamino Marquez, Putri Dragomiroff dan asistennya yang berasal dari Jerman, Hildegarde Schmidt, misionari Pilar Estravados, hingga pasangan bangsawan Andrenyi. Interogasi Poirot mungkin mengarah kepada keterkaitan dengan kasus penculikan dan pembunuhan seorang anak bernama Daisy Armstrong beberapa tahun sebelumnya. Namun dari kesemua kesaksian, semua orang di kereta tersebut punya alibi yang sama kuat dengan faktor-faktor yang memberatkan masing-masing. Poirot sendiri harus mengakui ini bukan kasus biasa yang mudah. Tak hanya mengandalkan intuisi dan daya analisisnya yang tajam, kali ini ia juga harus mendengarkan kata hatinya sendiri.
Mengadaptasi novel investigasi dengan detail yang banyak ke layar lebar dengan keterbatasan durasi sama sekali bukan pekerjaan yang mudah. Penyusun naskah dan sutradara harus jeli memilih mana saja yang wajib ada, mana yang tak perlu, dan mana yang bisa diganti untuk disederhanakan. Secara keseluruhan MotOE cukup setia terhadap materi aslinya. Perubahan hanya dilakukan pada beberapa identitas dan latar belakang karakter dengan tujuan penyederhanaan plot. Namun yang membuat versi 2017 ini terasa berbeda dari versi 1974 maupun adaptasi-adaptasi Hercule Poirot lainnya adalah kemasan yang cenderung lebih fun. Terutama sekali faktor karakter Poirot sendiri yang diberikan penajaman pada sisi witty-nya. Begitu juga beberapa karakter pendukung yang dibuat mengimbanginya dan beruntung berkat performa masing-masing yang cukup prima, upaya-upaya tersebut cukup berhasil.
Jika dianalisis lebih mendalam, porsi investigasi di MotOE versi 2017 ini tergolong ‘secukupnya’ saja. Bukan berarti minimalis, tapi ditampilkan sekedar cukup jelas bagi penonton yang belum familiar dengan plotnya (baik versi novel maupun film tahun 1974). Bahkan penyampaian konklusi yang dilakukan Poirot sendiri tergolong terlalu cepat untuk bisa membuat penonton mencerna kesemuanya sekaligus dalam satu waktu. Di sisi lain ada elemen tambahan yang dimasukkan oleh Green dan Branagh, yaitu sisi-sisi emosional sosok Poirot yang sebenarnya punya tujuan cukup jelas: memperkenalkan ulang sosok Poirot kepada generasi sekarang yang cenderung lebih bersimpati secara personal dan manusiawi ketimbang sekedar ketajaman daya analisis semata. Alhasil penonton juga diajak untuk merasakan pengembangan karakter (itulah sebabnya ada adegan pembuka yang sepintas mungkin tak punya hubungan dengan plot utama tapi seebnarnya merupakan setup pengenalan karakter Poirot yang cukup penting) dan dilema moral seorang Poirot yang biasanya hanya melibatkan otak saja tapi kali ini harus mengikut-sertakan hati sebagai konklusinya. Tentu saja dengan kualitas performa dan kharisma kuat dari seorang Branagh, sosok Poirot berikut detail-detail tambahannya terasa begitu menonjol dan simpatik. Berkat penanganan dramatisasi yang kuat pula, ada beberapa momen penting yang mampu menggerakkan emosi sekaligus nurani penonton. Sisi yang rupa-rupanya belum pernah ditampilkan di kisah Poirot versi manapun atau bahkan kebanyakan kisah-kisah investigasi detektif. Lebih mengeksplor dampak sosial dan psikologis dari sebuah kasus pembunuhan ketimbang sekedar pertanyaan siapa pelaku dan apa motifnya.
Dukungan A-list cast pun menambah daya tarik sepanjang film. Meski mungkin secara porsi peran tak sebanyak di versi-versi sebelumnya, tapi berkat kharisma yang sama-sama kuat kesemuanya terasa punya screen presence yang mengesankan. Lihat bagaimana Johnny Depp terasa begitu cocok membawakan sosok Ratchett, atau Penélope Cruz dengan segala kegelisahan karakter Pilar Estravados, keeleganan Judi Dench sebagai Putri Dragomiroff, Daisy Ridley sebagai Mary Debenam, kerapuhan Lucy Boynton sebagai Countess Helena Andrenyi, kharisma kuat Tom Bateman sebagai Bouc, Willem Dafoe sebagai Hardman, Josh Gad yang sekali ini tampil serius sebagai Hector MacQueen, serta tentu saja Michelle Pfeiffer yang tampil paling menonjol baik dari segi aura maupun performa aktingnya sebagai Caroline Hubbard.
Bagi Anda yang ‘tersesat’ dalam plot investigasinya, MotOE masih punya sinematografi Haris Zambarloukos yang tak hanya memanfaatkan format 65 mm untuk menghasilkan gambar-gambar sinematis, tapi juga camera work one-take yang impresif dan angle-angle tak lazim yang efektif dalam menyampaikan informasi-informasi untuk genre investigasi. Editing Mick Audsley menjaga laju plot bergerak cukup dinamis, tak ada yang terasa bertele-tele sebagaimana film versi 1974. Pun tahu betul kapan perlu menyampaikan emosi penting di beberapa bagian. Musik dari Patrick Doyle cukup catchy dan meningkatkan feel di banyak adegan, terutama dalam membangun intensitas dan emosi. Tentu saja tak boleh ketinggalan nomor penutup, Never Forget yang dibawakan oleh Michelle Pfeiffer dan menjadi pengiring penutup emosi penonton yang powerful. Formar Dolby Atmos mungkin tak terasa memberikan efek yang signifikan tapi lebih dari cukup untuk lebih menghidupkan adegan-adegan.
Apa yang ditawarkan Branagh di MotOE ini sebenarnya tergolong sebuah pertaruhan karena dampaknya bisa beragam, baik bagi penggemar Poirot/Christie yang sudah familiar dengan kisahnya maupun bagi penonton baru yang benar-benar belum mengenal materinya. Bisa jadi menggugah semangat untuk menginginkan lebih banyak kiprah Poirot di film-film berikutnya (yang mana menurut saya merupakan tujuan utama dari upaya kali ini) atau tidak cocok sama sekali dengan treatment-nya. Bagaimanapun menurut saya pribadi ini adalah pembuka yang berani, tajam, bergaya, sekaligus menggugah untuk memperkenalkan kembali sosok Hercule Poirot ke generasi sekarang. Dengan hint kisah berikutnya yang akan diangkat ke layar lebar di penghujung film, ketertarikan saya semakin meningkat. Semoga saja upayanya berhasil dan terus dikembangkan lebih jauh serta mendalam. Saat ini sudah jarang kan kita disuguhi kisah investigasi detektif di layar lebar?
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.