The Jose Flash Review
Qarib Qarib Singlle
[करीब करीब सिंगल]

Salah satu formula paling generik dari genre drama romantis (termasuk juga komedi romantis) adalah mempertemukan dua individu dengan sifat yang berlawanan hingga akhirnya saling jatuh cinta. Sudah begitu banyak film dengan formula dasar seperti ini dengan berbagai variasinya. Mulai macam When Harry Met Sally, You’ve Got Mail, The Proposal, hingga Before Trilogy dari Richard Linklater yang begitu legendaris. Sinema Korea Selatan juga punya Mood of the Day dan bahkan sinema Hindi baru saja menghadirkan When Harry Met Sejal. Formula serupa, bahkan dengan konsep dialog-driven dan taveling a la Before Trilogy, sekali lagi coba dihadirkan oleh penulis naskah/sutradara Tanuja Chandra (penulis naskah salah satu film SRK paling fenomenal, Dil To Pagal Hai) lewat Qarib Qarib Singlle (QQS - secara harafiah berarti “nyaris jomblo”) yang memasangkan aktor Bollywood yang sudah mendunia lewat produksi Hollywood seperti Life of Pi, The Amazing Spider-Man, Jurassic World, dan Inferno, Irrfan Khan dan Parvathy yang mana ini merupakan debutnya di sinema Hindi setelah selama ini lebih banyak berkiprah di sinema Malayalam. 

Nyaris sepuluh tahun menjanda karena kematian sang suami membuat Jaya tergoda untuk mencoba kencan online. Di antara beberapa pesan yang masuk, Jaya tertarik oleh profil dari seorang pria berusia empat puluh tahunan bernama Yogi yang mengaku berprofesi sebagai insinyur dengan hobi berpuisi. Namun kenyataan yang didapat ketika kopi darat, Yogi adalah sosok eksentrik dan ‘hanya’ seorang penyair yang bahkan belum pernah mempublikasikan karyanya untuk umum selain kerabat dekatnya saja. Berniat menghindarinya, Jaya justru dibuat tak bisa berkutik ketika Yogi berniat membuktikan bahwa dirinya benar-benar dirindukan para mantannya, bukan sekedar bualan semata. Maka Jaya yang diam-diam penasaran juga terhadap sosok Yogi memutuskan untuk mengikuti perjalanan Yogi mengunjungi para mantannya di berbagai daerah eksotis di India. Mulai Bikaner, Rewari, Rishikesh, hingga Gangtok. Namun berbagai peristiwa membuat mereka seolah tak pernah benar-benar berjodoh. Hingga keduanya menyadari permasalahan sesungguhnya dari masing-masing pihak yang membuat keduanya sulit akur.

Sejak awal, QQS sudah terasa menggelitik lewat sentilan sosial soal menjadi single bagi wanita di usia tiga puluhan dan online dating. Tak sampai terlalu komikal pun juga tak terkesan cerewet, permulaannya tergolong ringan dan fun. Perlahan tone komedi semakin terasa intens meski tak pernah sampai kelewat meledak-ledak ataupun terkesan dibuat-buat ketika karakter Yogi masuk. Kejadian-kejadian misfortune ditampilkan beriringan secara cukup seimbang dengan momentum-momentum manis yang secara spontan mengundang senyum pada bibir penonton. Chemistry love-and-hate antara Jaya dan Yogi pun terjalin dengan cukup mulus dan meyakinkan. Tentu saja eksplorasi set-set eksotis yang berhasil dilakukan oleh sinematografi Eeshit Narain menjadi elemen plot yang cukup penting dan remarkable daripada sekedar latar cantik, berikut elemen-elemen kebudayaan setempat yang dimanfaatkan, seperti misalnya lokomotif uap Fairy Queen dan trem di Gangtok. Meski harus diakui teknik zoom-in di beberapa adegan sebagai upaya penekanan momentum komikal masih terasa kurang berhasil memberikan impact berarti.

Editing Chandan Arora membuat flow film terasa santai bak perjalanan wisata tapi tetap padat secara perkembangan plot. Titik klimaks dimana konflik yang sebenarnya dari masing-masing pihak dimunculkan di momen yang tepat. Menjadi konklusi yang sebenarnya relevan sejak awal pertemuan tapi masih berhasil menjadi sesuatu yang ‘menohok’. Apalagi bagi penonton yang related secara personal, ia bisa menjadi pemicu kontemplasi yang cukup kuat mengenai permasalahan pribadi yang sebenarnya dalam menjalani hubungan asmara. Open ending mungkin terkesan menggantung bagi penonton yang mengharapkan jawaban pasti. Namun bagi saya ending tersebut sudah lebih dari cukup dalam menyelesaikan konflik personal yang sesungguhnya dan terpenting. Selebihnya, tergantung imajinasi dan/atau keputusan penonton sesuai dengan pilihan kecenderungan kepribadian masing-masing.
Nomor-nomor musikal gubahan Rochak Kohli dan Vishal Mishra dengan lirik Raj Shekhar dan Hussain Haidry yang dihadirkan di sepanjang film sebagai pengiring montase-montase adegan mungkin memang tak sampai menjadi memorable, tapi masih cukup efektif dalam upaya sekedar mengiringi adegan. Begitu pula score music dari Naren Chandavarkar dan Benedict Taylor yang cukup memberikan warna dan penekanan emosi yang masih tetap terasa lembut sepanjang film.

Dengan elemen-elemen yang familiar di genre komedi romantis, QQS mungkin terlihat tak banyak punya keistimewaan selain tentu saja iming-iming traveling menyusuri lokasi-lokasi eksotis di India yang mungkin belum banyak diketahui secara internasional. Pun juga gelaran komedi dan pengembangan plot yang meski tergarap baik, tapi juga tak sampai menjadi sesuatu yang luar biasa atau standout. Namun bukan berarti QQS lantas menjadi komedi romantis yang mediocre. Berkat keberhasilannya menemukan problem sebenarnya dari sebuah hubungan asmara yang menurut saya termasuk umum terjadi, seolah ‘menampar’ secara halus tapi punya impact kontemplatif yang cukup kuat. Bagi penonton yang related, QQS mungkin bisa jadi sajian yang sederhana tapi memorable. Jika tertarik, tak ada salahnya dicoba. Toh setidaknya masih ada bonus traveling sekaligus hitung-hitung mempersiapkan diri jika suatu saat mengalami konflik pribadi serupa.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.