3.5/5
Asia
Comedy
Drama
feminism
Hindi
housewife
media
motherhood
Pop-Corn Movie
radio
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Tumhari Sulu
[तुम्हारी सुलु]
Di antara jajaran aktris papan atas sinema Hindi (baca: Bollywood), Vidya Balan termasuk salah satu yang paling dihormati dan ‘dipandang’, terutama lewat film-film seperti Salaam-E-Ishq, Ishqiya, No One Killed Jessica, The Dirty Picture, hingga yang paling melambungkan namanya, Kahaani. Di tengah tema women empowerment yang makin nyaring didengungkan sinema Hindi akhir-akhir ini, Balan mengambil peran sebagai seorang ibu rumah tangga berpendidikan rendah tapi bermimpi besar, Sulochana atau yang biasa dipanggil Sulu, lewat Tumhari Sulu (TS - dalam bahasa Inggris: Your Sulu). Merupakan debut penulisan naskah serta sutradara film panjang dari Suresh Triveni (sebelumnuya dikenal lewat film-film pendek), TS didukung pula oleh penampilan aktris sekaligus mantan Miss India yang baru saja kita lihat di Qarib Qarib Singlle, Neha Dhupia, Manav Kaul (Kai po che!, Wazir, Jolly LLB 2), dan debut layar lebar seorang penyiar radio di Red FM 93.5, RJ Malishka Mendonsa.
Rumah tangga Sulu dan sang suami, Ashok, tampak bahagia dan baik-baik saja. Meski pendidikannya bahkan tak sampai lulus SMA dan kerap mendapat olok-olok dari kedua kakak kembarnya yang sukses bekerja sebagai bankir, Aradhana dan Kaplana, Sulu bertekad untuk bekerja. Sementara itu Ashok juga sedang frustasi dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah kantor konveksi. Dengan karyawan yang rata-rata sudah uzur dan kerap bertengkar karena alasan sepele, Ashok satu-satunya yang selalu memegang tanggung jawab dalam segala hal. Puncaknya bos Ashok digantikan oleh sang cucu yang lebih semena-mena terhadap dirinya.
Takdir membawa Sulu ke stasiun radio yang sedang membuka lowongan sebagai pengisi acara malam hari. Meski tanpa pengalaman profesional tapi punya bakat dalam menirukan suara-suara orang terkenal, Sulu nekad mencoba audisi. Tak disangka Maria, sang bos radio menyukai suaranya dan menawarinya menjadi penyiar di acara malam yang diberi tajuk “Tumhari Sulu”. Kegirangan Sulu berbanding terbalik dengan kondisi keluarganya, terutama anak semata wayang mereka, Pranav, yang mulai menimbulkan masalah di sekolah, masih ditambah tekanan Ashok di kantor yang membuatnya kerap menjadikan Sulu sebagai pelampiasan kesalahan. Tentu saja kedua kakak kembarnya turut ‘mengutuk’ pekerjaan Sulu yang dianggap mempermalukan keluarga. Sulu pun berada pada ujung tanduk pilihan antara keluarganya atau mimpinya selama ini.
Membuka cerita dengan manis, TS seolah mengisyaratkan bahwa Triveni membawa film terasa menyenangkan untuk diikuti di balik tema sosial yang tergolong serius. Benar saja, meski ada elemen-elemen konflik yang mengundang emosi penonton atmosfer utama yang dibangun tetap saja dalam koridor komedi, termasuk penggambaran karakter Sulu sendiri yang dibuat lugu, menyenangkan, dan konyol. Meski tak sampai kelewat komikal atau slapstick, cukup banyak tingkah konyol karakter Sulu yang spontan mengundang tawa sepanjang film. Ketika konflik semakin meruncing, emosi penonton pun semakin diaduk-aduk lewat pilihan sikap beberapa karakter pendukung. Menjengkelkan tapi harus diakui manusiawi dan kerap ditemui dalam masyarakat. Pun juga tidak ditampilkan kelewat meledak-ledak yang berpotensi mempengaruhi feel film secara keseluruhan. Di satu sisi simpati penonton terhadap Sulu semakin bertambah, tapi di sisi lain juga menjadi sebuah refleksi yang menggugah tentang menghadapi rintangan dalam menggapai impian. Setidaknya ada tiga tema yang coba diangkat dan disentil, yaitu tentang ibu rumah tangga yang bekerja tapi seringkali dijadikan sasaran kesalahan ketika ada masalah dalam rumah tangga, kecanggungan kaum menengah ke bawah yang cenderung masih bergaya hidup tradisional ketika memasuki gaya hidup yang lebih modern, dan pembuktian menggapai cita-cita di tengah cemoohan orang-orang sekitar dan keterbatasan pendidikan.
Sayangnya, Triveni memberikan konklusi yang sangat lemah dalam menyelesaikan konflik yang telah dibangunnya dengan baik. Ketika ia seharusnya membuktikan bahwa ibu rumah tangga yang bekerja bukanlah penyebab utama konflik yang terjadi, ia justru menyodorkan solusi yang menyimpang dari tujuan utamanya. Mungkin benar, konklusinya memuaskan dalam konteks kerjasama bisnis antara suami dan istri, tapi sama sekali tidak meluruskan persepsi tentang ibu rumah tangga bekerja sebagai pangkal segala permasalahan rumah tangga. Malahan bisa jadi menyiratkan ketidak-mampuan sang pria (baca: suami) dalam menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa ide dari sang istri. Dalam konteks tema dan plot film, ini jelas bukanlah arah yang benar.
Vidya Balan, seperti biasa, memperlihatkan kharisma yang begitu kuat di balik sosok lugu, sedikit komikal, dan ceria dari Sulu. Tak sulit untuk mencuri perhatian dan mengundang simpati penonton. Porsi Manav Kaul sebagai Ashok mungkin tergolong tak banyak tapi memberikan performa dukungan yang tak sekedar satu dimensi. Ada dilema pilihan yang terasa kuat bagi penonton meski tak ditampilkan secara eksplisit dari luar. Kualitas yang membuat penonton tak serta-merta membenci karakternya, bahkan dengan mudah membuat penonton memahami kondisinya. Neha Dhupia memancarkan spirit keceriaan dan keseksian tersendiri dalam karakter Maria Sood yang begitu mencuri perhatian di tiap kali kemunculannya di layar. Tak lupa, cameo dari Ayushmann Khurrana yang semakin menyemarakkan film.
Dengan konsep treatment yang sederhana dan membumi, teknis TS bisa terjerumus dalam kemasan FTV atau bahkan sinetron. Untungnya masih ada sinematografi Saurabh Goswami yang menyuguhkan shot-shot cukup sinematis di balik set-set ruang sempit dan camera work yang minimalis. Desain produksi Dhara Jain yang kaya warna-warni vibrant pun tampak memberikan nilai lebih dari segi visual. Editing Shivkumar Panicker bekerja cukup lancar dalam menjalankan plot sekaligus menyampaikan emosi di beberapa adegan terpentingnya. Musik yang digarap oleh Tanishk Bagchi, Amartya Rahut, Santanu Ghatak, Vayu, dan Siddharth Kaushal mungkin memang tak terlalu memorable tapi lebih dari cukup dalam mengiringi sekaligus memberi warna lebih ke dalam adegan-adegan. Lagipula aransemen ulang lagu Ban Ja Rani dari Guru Randhawa dan Hawa Hawai 2.0 dari film Mr. India menjadi daya tarik tersendiri dalam film.
Cukup disayangkan sebenarnya dengan mengangkat tema sosial yang relevan di beberapa budaya, termasuk Indonesia, dimana ibu rumah tangga bekerja masih sering dianggap sumber masalah, serta treatment yang ringan dan manis, Triveni justru memberikan konklusi yang sangat melemahkan. Andaikan saja ia mampu menjaga konsistensi kesolidan hingga konklusi, tak pelak TS menambah daftar panjang film Hindi terbaik tahun 2017 ini. Kendati demikian, setidaknya TS masih menawarkan tema penting dengan kemasan yang menghibur. Anggap saja sebagai bahan refleksi yang menggugah semangat menggapai mimpi dan persepsi tentang ibu rumah tangga bekerja tanpa perasaan terbebani. Sementara sebagai kesimpulannya, silakan mengambil keputusan (alternatif) sendiri.
Lihat data film ini di IMDb.