The Jose Flash Review
Hujan Bulan Juni

Nama Sapardi Djoko Damono di kalangan pencinta sastra Indonesia sudah sangat dikenal sejak akhir ’60-an hingga saat ini. Salah satu faktornya adalah puisi dengan kata-kata indah tapi menggunakan bahasa yang sederhana dan dekat dengan masyarakat umum. Setelah beberapa karyanya diadaptasi ke versi musikalisasi, kini giliran format film layar lebar yang memungkinkan untuk eksplorasi visual lebih luas lagi. Hujan Bulan Juni (HBJ) yang merupakan salah satu judul puisi paling populer dipilih menjadi judul dan naskah yang disusun oleh Titien Wattimena (Badai Pasti Berlalu versi 2007, Di Bawah Lindungan Ka’bah3 Nafas Likas, Negeri Van Oranje) diadaptasi dari versi novel yang diterbitkan 2015 silam. StarVision Plus yang bekerja sama dengan Sinema Imaji mempercayakan bangku penyutradaraan Reni Nurchayo Hestu Saputra (Cinta tapi Beda, Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar, Air Mata Surga) dengan memasang pasangan Adipati Dolken dan Velove Vexia di lini terdepan, serta dukungan dari Baim Wong, Surya Saputra, Ira Wibowo, serta aktor muda berdarah Jepang pendatang baru, Koutaro Kakimoto yang ternyata adalah putra kandung dari aktor pemeran Ksatria Baja Hitam, Tetsuo Kurata.

Meski tak pernah menyatakan hubungan asmara secara jelas, Pingkan merasa sangat nyaman berada bersama Sarwono meski ada perbedaan agama dan suku bangsa. Pingkan berdarah Manado dan beragama Kristen sementara Sarwono asli Jawa dan seorang muslim. Ketidak-jelasan hubungan asmara membuat Sarwono kerap kali resah meski tak jarang juga merasa percaya diri ketika muncul pria-pria yang mencoba memikat hati Pingkan seperti seorang dosen asli Manado bernama Tumbelaka dan Benny yang masih sepupu tak sedarah dengan Pingkan. Keresehannya semakin menjadi-jadi ketika Pingkan mendapatkan beasiswa di Jepang dan muncul pria yang menjadi pendamping Pingkan selama di Jepang, Katsuo, yang secara terang-terangan menunjukkan sikap tertarik pada Pingkan. 
Secara premise, apa yang disuguhkan HBJ memang bak drama romansa biasa dengan tema friendzone dan kepercayaan pasangan di tengah ‘godaan-godaan’ yang lebih realistis. Itupun disajikan dengan visualisasi yang samar-samar. Membuatnya kerap kali seolah tak pernah benar-benar punya konflik yang berarti sepanjang durasi film. I mean, karakter Sarwono tak seharusnya sedikit pun merasa ragu atau minder tatkala Pingkan tak pernah menunjukkan sikap teguh dan tak pernah mengacuhkan Tumbelaka, Benny, maupun Katsuo. Perbedaan agama dan suku bangsa yang tampak sekali diupayakan menjadi konflik pun tak pernah benar-benar terasa meletup menjadi klimaks yang berarti. Alhasil porsi terbesar HBJ terisi oleh rangkaian adegan-adegan sederhana dengan voice-over kata-kata puitis Sapardi Djoko Darmono yang memang terdengar indah. Untung saja masih ada keindahan panorama Manado dan Gorontalo yang berhasil tereskplorasi maksimal oleh sinematografi Faozal Rizal sejalan dengan voice-over puisinya. Artistik dari Alfisyahri dan tata kostum Retno Ratih Damayanti pun tergarap sama cantiknya. 
Selain itu chemistry antara Velove Vexia dan Adipati Dolken juga masih menjadi daya tarik lebih yang setidaknya masih membuat HBJ nyaman untuk diikuti. Velove sendiri, seperti biasa, tampil begitu memikat berkat pesona kharismatik yang didukung dominasi porsi. Adipati Dolken pun menunjukkan transformasi emosi terpendam yang cukup jelas dan mulus sebagai Sarwono. Baim Wong dan Surya Saputra menjadi penyegar yang menggelitik meski aksen Manado-nya masih sering terdengar dibuat-buat. Dukungan dari Koutaro Kakimoto, Ira Wibowo, Sundari Sukotjo, serta Jajang C. Noer cukup noticeable walau tak terlalu memorable.
Musik dari Andhika Triyadi menjadi pengiring voice-over puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang berpadu cantik meski tak sampai jadi memorable untuk jangka waktu yang lama. Namun theme song Hujan Bulan Juni yang dibawakan oleh Ghaitsa Kenang dan Memulai Kembali dari Monita Tahalea ternyata cukup ampuh mem-brainwash. Sehingga tak heran jika kemudian terus terngiang dalam memori dan membuat Anda tak sengaja mendendangkannya.

Tak mudah memvisualisasikan bait-bait puisi menjadi plot narasi, apalagi layar lebar. Biasanya treatment visual yang bersifat fantasi dan melekat dengan imaji ‘art-house’ dipilih untuk lebih menekankan pada ‘rasa’ ketimbang jalinan plot. Tentu resikonya adalah penonton yang segmented meski sastra pun sebenarnya memang sudah tergolong segmented. HBJ memilih treatment visual yang lebih bisa dicerna dan dekat dengan penonton umum. Pilihan yang cukup bijak, tapi juga bukan tanpa resiko. HBJ pun terkesan tak punya konflik berarti yang layak untuk disimak, kecuali Anda memang menggemari bahasa-bahasa sastra dan/atau penggemar Sapardi Djoko Darmono. Other than that, HBJ terasa lebih seperti drama percintaan biasa dengan iringan voice-over puitis sebagai bumbunya. Well, setidaknya keindahan visualisasinya masih bisa jadi hiburan jika Anda tidak keberatan.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.