The Jose Flash Review
Beyond Skyline

Skyline, action thriller sci-fi yang dirilis tahun 2010 silam dan disutradarai oleh Strause Bersaudara (Aliens vs. Predator: Requiem) boleh saja termasuk (very) low budget dengan US$ 10-20 juta, tapi menjadi kejutan ketika berhasil mengumpulkan lebih dari US$ 78 juta di seluruh dunia. Skor rendah di berbagai situs review aggregation seperti Rotten Tomatoes dan Metacritic ternyata tak menghalangi penonton untuk menjawab rasa penasaran mereka. Mungkin tak ada yang menyangka pula ‘keberuntungan’ ini masih bisa menarik minat untuk dikembangkan menjadi franchise. Strause Bersaudara memang tak lagi duduk di bangku sutradara. Adalah Liam O’Donnell (salah satu co-writer di installment pertama) yang justru tertarik untuk menggarap sekuelnya dengan melibatkan rumah produksi dari berbagai negara. Mulai Singapura, Cina, Inggris, Kanada, dan bahkan Indonesia. Bagi kita di Indonesia daya tariknya semakin bertambah dengan terlibatnya Iko Uwais dan Yayan Ruhian di jajaran cast, melengkapi Frank Grillo (Brock Rumlow alias Crossbones di Marvel Cinematic Universe) dan Bojana Novakovic (Drag Me to Hell dan Edge of Darkness). Termasuk juga lokasi syuting yang meliputi Candi Prambanan di Yogyakarta dan studio Infinite Frameworks Studios, Batam. Alasan ini pula yang membuat kita, penonton Indonesia, berkesempatan menyaksikan Beyond Skyline (BS) lebih dulu dibandingkan di Amerika Serikat yang dijadwalkan tayang mulai 15 Desember 2017.

Langit Los Angeles mendadak berubah menjadi kelam dan kekacauan terjadi di mana-mana. Ternyata penyebabnya adalah cahaya biru yang diduga alien ‘menculik’ manusia-manusia yang melihatnya secara langsung. Mark, seorang detektif LAPD adalah salah satu yang nekad masuk ke pesawat induk alien untuk mencari sang putra, Trent. Tak disangka-sangka ternyata Mark bersama dengan penyitas lainnya, Audrey, dan seorang bayi perempuan yang baru lahir di dalam pesawat alien, terbawa ke sebuah kawasan terpencil di Asia Tenggara. Di sana pun ada sekumpulan penyitas lainnya yang sudah siap siaga menghadang invasi alien. Di antaranya Sua, pemimpin pasukan pertahanan manusia bawah tanah yang jago bela diri, dan Kanya. Tak hanya bersiaga untuk beraksi, mereka juga melakukan penelitian untuk menemukan cara mengalahkan para alien ini. Meski awalnya disambut dengan curiga, mereka tertarik dengan bayi perempuan yang dibawa Mark dan Audrey yang tumbuh dengan begitu pesat, melampaui manusia normal. Identitas sang anak perempuan pun menimbulkan dilematis di antara mereka semua sebelum akhirnya mau tak mau harus head-to-head dengan pasukan alien yang tangguh dan brutal.
Alih-alih sebuah sekuel, BS sebenarnya lebih tepat disebut sebagai spin-off mengingat setting yang dipilih adalah kejadian yang sama dengan di Skyline. Hanya saja sudut pandang yang dipilih sebagai fokus sama sekali berbeda. Anda sama sekali tak akan menemukan kembali karakter-karakter dari film pertama. Maka tak jadi masalah jika Anda belum menyaksikan film pertamanya tapi penasaran menonton BS. Secara konsep pun BS tak menawarkan sesuatu yang baru, termasuk daya tarik utama franchise yang menurut saya terletak pada konsep alien perampas otak manusia yang mengindikasikan bahwa jiwa manusia berada pada organ tersebut. Sisanya, BS hanyalah berniat menjadi film aksi non-stop dengan balutan visual effect cukup layak (apalagi untuk ukuran B-class action movie). 
Ya, Frank Grillo memang masih tampil kickass lewat karakter sentral, Mark. Begitu pula Bojana Novakovic yang cukup mencuri perhatian lewat peran Audrey dan Jonny Weston (Project Almanac, Insurgent). Serta tentu saja sang main-dish, Iko Uwais dan Yayan Ruhian yang meski sebenarnya memiliki porsi pendukung tapi berhasil menjadi salah satu daya tarik terbesar sepanjang film. Tak heran jika tone film secara drastis menjadi jauh lebih fun dan seru ketika setting berpindah ke Laos (tapi syuting dilakukan di Candi Prambanan) setelah adegan aksi di dalam pesawat alien yang durasinya tergolong kelewat panjang, bertele-tele, dan minim dialog mulai memasuki fase melelahkan. Meski menawarkan koreografi yang 11-12 dengan di The Raid maupun The Raid: Berandal, tapi dukungan sinematografi Christopher Probst (kendati teknik handheld-nya seringkali membuat kurang nyaman) dan editing Sean Albertson serta Banner Gwin membuatnya terasa lebih bertenaga dan seru. Apalagi jika Anda mengharapkan adegan-adegan aksi brutal dengan melibatkan darah dan organ-organ tubuh yang terlepas. Score music dari Nathan Whitehead pun cukup menyumbangkan feel yang sedikit lebih grandeur di balik desain produksi a la B-class meski masih terdengar generik di genrenya.
Secara keseluruhan BS memang tak menawarkan sesuatu yang lebih dari Skyline maupun film-film aksi sci-fi sejenis. Namun ‘memasukkan’ Iko dan Yayan ke dalam formula yang sudah ada merupakan keputusan yang baik untuk menjadikannya tontonan hiburan instan yang cukup memuaskan. Namun saya masih merasa ia punya banyak konsep menarik yang masih belum termanfaatkan maksimal, terutama melibatkan otak manusia dan sosok alien ‘hibrida’. Semoga saja kelak ada perombakan treatment dan kemasan yang jauh lebih baik untuk memanfaatkan konsep-konsep keren ini. Sayang sekali jika hanya sampai sekedar menjadi film kelas B. Sambil menunggu harapan tersebut terwujud, BS masih bisa jadi pilihan hiburan instan sesuai yang dijanjikan di trailer-nya tanpa mengharapkan sesuatu yang istimewa.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.