4/5
Based on a True Event
Based on Book
Biography
Drama
Hollywood
Psychological
PTSD
The Jose Flash Review
Thriller
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Thank You for Your Service
Tema Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) paska perang termasuk sering diangkat ke layar lebar dengan membidik berbagai angle dan treatment. Terakhir kita lihat Man Down yang dibintangi ShiaLaBeouf dan Kate Mara. Sementara yang paling berkesan bagi saya pribadi adalah American Sniper besutan Clint Eastwood dan memenangkan satu Oscar dari enam kategori nominasi yang diraih. Seolah ingin mengulang sukses atau ada elemen-elemen lain yang ingin dimasukkan, Jason Hall, sang penulis naskah adaptasi, mencoba untuk kembali mengangkat tema serupa dengan mengambil dasar dari novel non-fiksi berjudul Thank You For Your Service (TYFYS) karya reporter The Washington Post pemenang penghargaan Pulitzer, David Finkel. Tak hanya bertindak sebagai penyusun naskah, Hall juga berani duduk di bangku penyutradaraan untuk pertama kalinya. Menggandeng Miles Teller yang tampaknya makin rajin mengejar peran-peran serius seperti di Bleed for This dan Only the Brave, didukung pula oleh Haley Bennett (The Magnificent Seven versi 2016, The Girl on the Train), Beulah Koale, Joe Cole (Secret in Their Eyes, Green Room), Scott Haze (Midnight Special, Only the Brave), dan Amy Schumer (Trainwreck).
Setelah bertugas di Irak selama 15 bulan, Adam Schumann, Billy Waller, dan Solo pulang ke keluarga masing-masing. Adam sudah menikah dengan Saskia dan dikaruniai dua orang anak. Begitu juga Solo yang sudah beristrikan Alea tapi belum punya anak. Sementara Billy sudah bertunangan dan punya seorang putri. Sekembalinya dari perang ia menemukan rumahnya kosong. Tak hanya membawa sang putri, tunangannya juga kabur dari rumah membawa semua perabotan rumah mereka. Billy langsung menjadi frustasi. Ternyata Adam dan Solo juga mengalami trauma berat yang mengganggu kenyamanan hidup mereka masing-masing. Apalagi Adam masih merasa bersalah setelah salah seorang sahabatnya, Sersan Satu James Doster, tewas karena menggantikan giliran tugasnya. Gara-gara antrian layanan konsultasi kejiwaan Departemen Urusan Veteran yang panjang dan lambat, Solo terjerumus pada narkoba dan terlibat gembongnya. Adam dan Solo berupaya mencari pertolongan agar hidup mereka bisa kembali normal.
Hall rupanya masih menerapkan treatment yang kurang lebih sama dengan kebanyakan film post-war drama bertemakan PTSD. Berfokus pada kondisi psikologis Adam, Billy, dan Solo dengan problematika yang realistis dan ironis. Makin ironis ketika menemukan bahwa layanan konsultasi psikologis khusus veteran dari pemerintah ternyata tak banyak membantu, justru memperumit dengan proses dan waktu tunggu yang sangat lama. Padahal kondisi kejiwaan, sama seperti sakit fisik, sejatinya tidak bisa menunggu lama. Ini merupakan salah satu elemen menarik yang belum pernah saya temui di film-film PTSD. Hall menyajikan kesemuanya secara kelam dan depresif tapi plotnya dijalankan secara lancar sehingga TYFYS terasa efektif ‘menyentuh’ tanpa harus membuat penonton merasa stres atau ikut-ikutan kelewat depresi. Above all, yang membuatnya punya nilai tambah selain kebanyakan PTSD adalah konklusi yang simple tapi solutif. Tak hanya dalam menyelesaikan kondisi PTSD, tapi juga relevan pada berbagai konflik personal. Konklusi ini pula yang menjadikannya feel good dan jauh dari kesan tragis sebagaimana kebanyakan tema PTSD.
Dipercaya mengisi porsi terbesar sebagai karakter utama, Adam Schumann, Miles Teller kembali menunjukkan performa yang kuat. Transformasi karakternya terasa mulus, convincing, dan kuat secara emosional. Beulah Koale pun memberikan performa yang tak kalah kuat dan menyentuh meski porsinya masih di bawah Teller. Haley Bennett mengimbangi performa kuat Teller secara natural dan sesuai porsinya. Sementara Joe Cole sebagai Billy Waller dan Scott Haze sebagai Michael Adam Emory cukup mampu mengundang simpati penonton di balik porsi masing-masing.
Teknis TYFYS memang tak ada yang istimewa apalagi konsepnya memang drama yang simple dan natural. Kendati demikian camera work Roman Vasyanov terasa dramatis di banyak kesempatan sekaligus menggigit di adegan-adegan perang yang porsinya tak banyak. Editing Jay Cassidy dan Dino Jonsäter tentu punya andil besar dalam upaya gelaran thriler perangnya, pun juga dalam menggulirkan plot secara lancar dan seimbang di tiap porsi elemen-elemennya. Musical score dari Thomas Newman memperkuat kesan dramatis dan bersahaja secara sederhana serta natural meski belum sampai jadi sesuatu yang ikonik.
Dengan treatment yang tergolong sederhana dan natural untuk tema PTSD, TYFYS masih mampu menggugah penonton lewat poin tentang layanan konsultasi psikologis dari pemerintah yang belum pernah ditampilkan sebelumnya di tema sejenis. Masih ditambah penanganan dramatisasi Hall yang efektif dan berkelas, serta konklusi yang solutif, jauh dari kesan tragis, membuat TYFYS menjadi salah satu film bertema PTSD yang patut disaksikan serta dialami.
Lihat data film ini di IMDb.