The Jose Flash Review
Jigsaw

Mungkin tak ada yang menyangka, termasuk James Wan sendiri, bahwa Saw (2004), film horor indie low budget akan laris manis (film pertama berhasil menghasilkan US$ 103.9 juta di seluruh dunia ‘hanya’ dengan budget US$ 1.2 juta saja!) berkembang menjadi salah satu franchise horor berumur panjang. Bahkan melebihi Final Destination yang sama-sama bertumpu pada adegan-adegan slasher sadis berdarah. Angka penjualannya mungkin tak selalu meningkat, tapi bagaimana pun termasuk sangat menguntungkan mengingat budget yang rendah. Setidaknya installment terakhir, Saw 3D (2010) masih berhasil mencetak US$ 136 juta lebih di seluruh dunia. Saw 3D yang tadinya akan dibagi menjadi dua bagian akhirnya hanya disetujui satu film oleh Lionsgate selaku pemegang lisensi franchise. Penulis naskah Marcus Dunstan dan Patrick Melton menyebutkan alasan mengapa ending installment tersebut malah justru menambah pertanyaan daripada menjawab. Berselang tujuh tahun (padahal sebelum-sebelumnya rajin merilis installment baru tiap tahun) kemudian, Lionsgate tertarik dengan ide pitch dari Josh Stolberg dan Peter Goldfinger (Sorority Row, Piranha 3D) yang sudah bertahun-tahun mengejar kesempatan untuk mengerjakan salah satu proyek Saw. Michael dan Peter Spierig (Daybreakers, Predestination) kemudian dipilih untuk duduk di bangku sutradara, sementara nama-nama aktor yang selama ini belum terlalu dikenal dipilih untuk mengisi layar dan tentu saja kembalinya Tobin Bell sebagai karakter ikonik John Kramer alias Jigsaw yang menandai bahwa sepak terjangnya masih belum benar-benar usai.

Seperti biasa, film dibuka dengan lima orang yang terkurung di sebuah ruangan bak peternakan dengan jebakan tertempel di masing-masing tubuh yang siap menghabisi nyawa mereka jika tidak mengikuti aturan permainan atau kalah. Korban pertama membuat Detektif Halloran dan Detektif Hunt kewalahan karena modusnya mengingatkan mereka akan sosok John Kramer alias Jigsaw yang diketahui sudah tewas beberapa tahun silam. Selagi berusaha membuktikan ‘kebangkitan’ John Kramer, Halloran mencurigai dua orang dokter forensik patologis yang memeriksa mayat korban, Logan dan Eleanor. Di sisi lain Logan justru memperingatkan Hunt akan motif Detektif Halloran yang ternyata punya catatan kriminal di masa lalu. Keruhnya keadaan menghambat tujuan mereka bersama, yaitu menemukan siapa sebenarnya pelaku yang mencoba meniru modus John Kramer. Jangan-jangan benar bahwa John Kramer memang belum tewas dan masih terus melanjutkan ‘karya’-nya.
Sebagaimana installment-installment sebelumnya, Jigsaw masih menawarkan formula-formula yang sudah menjadi khasnya. Mulai peralatan permainan jebakan mematikan yang mungkin secara prinsip masih tak berbeda jauh dari film-film sebelumnya hingga tipuan-tipuan yang mengecoh penonton hingga pengungkapan yang twisted. Bagi penggemar yang setia mengikuti atau setidaknya sudah bisa membaca pola serta formula dari salah satu installment, Jigsaw bisa jadi tergolong mudah untuk ditebak arahnya. Impact-nya bisa jadi Anda sudah bosan dengan sajian yang itu-itu saja atau kegirangan atas kembalinya sajian-sajian yang sudah lama dirindukan. Namun bagi saya pribadi, masih berhasil dibuat tegang lewat adegan-adegan ‘nyaris mati’ yang tetap berhasil intense oleh pengarahan yang serba pas dari Spierig Bersaudara, sinematografi Ben Nott, editing Kevin Greutert, dan musik dari Charlie Clouser (termasuk theme song yang begitu menggedor adrenaline sekaligus glorios pada waktunya). Momentum-momentum slasher-nya pun cukup memuaskan bagi kaum ‘pemujanya’. Beruntung LSF masih cukup ‘baik’ meloloskan banyak adegan sadis. Bahkan hanya beberapa detik dari detail adegan saja yang di-‘revisi’. Bisa jadi beberapa penonton tidak akan merasakannya. 
Investigasi whodunit memainkan distraksi serta tipuan yang cukup baik meski lagi-lagi, masih tergolong generik. Jika Anda mengharapkan variasi ‘twist’ dari biasanya, mungkin termasuk mudah ditebak dan formulaic di franchise-nya, tapi tetap harus diakui cukup kreatif, terutama lewat tipuan kronologikal serta pengembangan arah plot (sekaligus arah franchise, jika memang berniat terus dilanjutkan) yang relevan dengan perkembangan teknologi informasi maupun sosial. 
Penampilan para cast yang namanya rata-rata masih asing di telinga penonton sini bisa dikatakan cukup sesuai dengan porsi masing-masing meski juga tak ada yang benar-benar istimewa ataupun memorable. Setidaknya Matt Passmore sebagai Logan dan Hannah Emily Anderson sebagai Eleanor Bonneville selaku lead berhasil menonjol sepanjang durasi film. Di lini berikutnya ada Callum Keith Rennie sebagai Detektif Halloran dan Clé Bennett sebagai Detektif Hunt yang masih tampil layak sesuai porsi masing-masing. Begitu juga dengan pemeran para ‘korban’, seperti Laura Vandervoort sebagai Anna, Paul Braunstein sebagai Ryan, Mandela Van Peebles sebagai Mitch, dan Brittany Allen sebagai Carly. Terakhir, tak lupa pula performa Tobin Bell sebagai sosok Jigsaw yang kharisma-nya masih sekuat sebelum-sebelumnya.

Meski tak menawarkan banyak hal baru, Jigsaw masih berupaya memasukkan variasi distraksi, tipuan, dan formula yang layak dan malah termasuk berhasil, sebagaimana ketegangan, keseruan, dan slasher yang dihadirkan di installment-installment sebelumnya. Anggap saja sebagai obat kangen bagi penggemar franchise Saw setelah absen selama tujuh tahun. Menghibur dengan esensi value yang masih konsisten sebagaimana konsep awal Saw tentang perjuangan hidup dan pengorbanan.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.