3.5/5
Action
Adventure
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Fantasy
Franchise
Hollywood
Pop-Corn Movie
SciFi
Superheroes
The Jose Flash Review
Trilogy
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
X-Men: Apocalypse
Tanpa terasa para penggemar sudah
dibawa pada bagian ketiga atau bisa dianggap sebagai akhir dari trilogi kedua
cinematic universe X-Men. Saya
sendiri harus mengakui trilogi kedua yang dimulai dengan X-Men First Class (FC) ini punya konsep yang unik dan menarik.
Ketika XMFC jelas-jelas menjadi prekuel which started it all dari keseluruhan
seri sinematik X-Men, sekuelnya, X-Men Days of Future Past (DoFP) tak
sekedar menjadi sekuel tapi juga part yang me-restart semua seri sebelumnya,
termasuk trilogi pertama. Maka tak heran jika ada cukup banyak kontinuiti
kehadiran karakter yang membingungkan penonton yang mengikuti sejak awal, tapi
juga bisa memuaskan banyak kubu fans yang ‘membenci’ apa yang dilakukan kreator
versi layar lebar terhadap karakter-karakter favorit mereka. Dengan kata lain,
memperbaiki keselahan-keselahan yang dibuat kreator di seri-seri sebelumnya.
Kini, cerita pun bergulir maju dengan menghadirkan villain legendaris dari
komik lainnya. Terlepas apapun reaksi terhadap trilogi kedua, keberhasilan tiap
installment X-Men (termasuk Deadpool yang merupakan spin-off dari X-Men) membuktikan bahwa Fox masih layak
untuk tetap terus memegang haknya, tak perlu dikembalikan ke Marvel di bawah
Disney, seperti MCU The Avengers.
Sepuluh tahun setelah kejadian
DoFP, dunia termasuk sedang dalam fase cool-down, termasuk untuk urusan dengan
para mutan. Professor X mewujudkan cita-citanya mendirikan sekolah khusus mutan
bersama Hank dan Alex Summers alias Havoc. Sementara Erik Lehnsherr alias
Magneto memilih identitas dan kehidupan baru sebagai seorang pekerja pabrik di
Polandia, menikah, dan punya seorang putri. Kehidupan yang serba tenang kembali
terusik ketika agen CIA, Moira Mactaggert menemukan kebangkitan sosok mistis
asal Mesir yang dipercaya sebagai mutan pertama di dunia. Dalam berbagai
literatur, sosok yang disebut sebagai En Sabah Nur alias Apocalypse ini selalu
punya misi yang sama: menghancurkan tatanan dunia dan membangun tatanan baru
yang dianggap lebih baik. Dalam menjalankan misinya, ia selalu disertai oleh
empat orang ‘kaki tangan’ yang disebut sebagai ‘the four horsemen’. Benar saja,
Apocalypse memang ‘bangkit’ dari kuburnya dan mengumpulkan ‘the four horsemen’
yang baru: dimulai dari Ororo Munroe, mutan pertama yang ia temukan,
dilanjutkan Angel, Psylocke, dan terakhir, Erik Lehnsherr.
Menyadari kekuatan luar biasa
yang dimilikinya, Apocalypse menculik dan terus membujuk Professor X untuk
mendukung misi ‘pembersihan’-nya. Raven, Hank, Moira, didukung Peter Maximoff,
siswa-siswa paling berbakat, seperti Jean Grey, Scott Summers, dan mutan yang
baru saja diselamatkan Raven, Kurt Wagner alias Nightcrawler, bersatu untuk
menemukan Professor X sekaligus menyelamatkan dunia dari misi ‘pembersihan’
Apocalypse.
Coba analisis lebih dalam trilogi
kedua yang digagas oleh Bryan Singer dan Simon Kinberg. Tak hanya menjadi sebuah prekuel, ia punya gagasan jelas tentang hubungan friend-and-foe antara
Charles Xavier dan Erik Lehnsherr. Kinberg sendiri menegaskan bahwa di FC Erik
mencapai puncak kekuatannya, di DoFP Charles menunjukkan kekuatan terbesarnya
untuk mengakhiri peristiwa besar, maka Apocalypse
keduanya ‘dimanfaatkan’ untuk mengeluarkan kekuatan terbesarnya sekaligus
menyampaikan konklusi dari hubungan friend-and-foe keduanya. For that purpose, X-Men Apocalypse menjadi ‘penutup’ yang
memuaskan, sekaligus menjadi bridge ke trilogi (baca: ‘babak’) baru seri X-Men yang melibatkan generasi-generasi
baru, seperti Steve Summers alias Cyclops, Jean Grey, Peter Maximoff alias
Quicksilver, Ororo Munroe alias Storm, dan Kurt Wagner alias Nightcrawler.
Namun tunggu dulu, ada PR-PR lain yang tak kalah pentingnya untuk dijalankan di
setiap installment sebagai film yang berdiri sendiri. Pertama, porsi yang cukup
bagi tiap karakter mutan yang ditampilkan. Jika spekulasi mutan mana saja yang
akan tampil di setiap installment-nya selalu menjadi salah satu highlight
utama, maka PR yang satu ini pantang untuk diabaikan. X-Men Apocalypse mungkin ‘mengobral’ cukup banyak karakter baru
yang tentu saja membuat banyak fans kegirangan. Sayangnya ia masih kewalahan
dalam membagi porsi ke semuanya sehingga terasa sama-sama memorable. Misalnya
saja Psylocke, Angel, dan yang paling disayangkan, Ororo Munroe alias Storm
yang kita ketahui bersama selama ini adalah salah satu karakter penting franchise
X-Men, terkesan hanya tempelan yang
tak punya presence mengesankan bagi penonton. Memang sih, terutama Ororo Munroe
masih bisa tampil lebih banyak di installment berikutnya. Mungkin memang
sengaja disimpan untuk sesuatu yang lebih besar nantinya, tapi tetap saja terasa
impresi bahwa kehadirannya di sini bahkan mungkin tidak dikenali sebagai
soon-to-be-Storm oleh penonton awam. Penyebutan nama karakter saja tidak ada
(correct me if I’m wrong. I didn’t hear her name mentioned at all during the
movie).
PR berikutnya adalah menampilkan
sosok villain yang dipilih sebisa mungkin menjadi salah satu villain yang
memorable untuk jangka waktu yang lama. Kalau bisa malah dikenang sebagai
villain paling powerful di antara film-film superhero sejenis. Oh yes, secara
materi Apocalypse jelas punya potensi menjadi villain paling berbahaya, paling
kuat, paling susah dikalahkan. Apalagi sampai berani bawa-bawa berbagai
mitologi dan figur reliji yang sudah dikenal dunia sejak lama sebagai
alter-egonya. Sayangnya, sosok Apocalypse di sini tak terasa semengerikan atau
semengancam di atas kertas. Aspek psikologisnya yang merasa diri sebagai dewa
sejak awal peradaban juga tak terasa begitu ditonjolkan di sini. Padahal
sebenarnya ini bisa dimanfaatkan untuk membuat sosoknya terasa lebih
‘mengancam’ bagi penonton.
Jajaran cast utama rata-rata
masih memainkan karakter masing-masing dengan baik, seperti James McAvoy
sebagai Charles dan yang paling menjadi emotional highlight, Michael Fassbender
sebagai Erik Lehnsherr. Rose Byrne yang kembali lagi berperan sebagai Moira
Mactaggert pun cukup mampu menarik perhatian saya. Sayangnya, justru Jennifer
Lawrence yang tampak seperti sudah ogah-ogahan untuk melanjutkan perannya.
Oscar Isaac sebagai Apocalypse sebenarnya tak buruk, tapi somehow saya gagal
mengenali sosoknya di balik make up itu. Big factornya mungkin penggambaran
karakter yang tak terasa cukup kuat.
Evan Peters sebagai Quicksilver
masih tetap mencuri perhatian, bahkan mungkin lagi-lagi yang terdepan berkat
‘adegan spesial’ yang seolah khusus dirancang untuk menjadi eye-candy terbesar
sepanjang film bak di DoFP. Sophie Turner sebagai Jean Grey mungkin di mata
saya masih belum bisa sekedar menyamai pesona/kharisma Famke Janssen, but she’s
okay. Begitu juga Tye Sheridan sebagai Scott Summers, Kodi Smit-McPhee sebagai
Nightcrawler, Ben Hardy sebagai Angel, Alexandra Shipp sebagai Storm, dan
Olivia Munn sebagai Psylocke, masih perlu kesempatan lebih banyak lagi untuk
bisa mencuri hati penonton ke depannya. Terakhir, Hugh Jackman dengan karakter
ikonik Wolverine-nya, di sini lebih seperti cameo semata.
Soal visual effect, tiap
installment X-Men selalu berhasil
membuat saya terbelalak kagum. Tak terkecuali di X-Men Apocalypse ini yang saya nobatkan sebagai salah satu visual
terbaik dan terkeren so far. Berbagai adegan sadis berhasil pula ditampilkan
secara ‘halus’ sehingga masih tergolong ‘aman’ dengan label PG-13.
Quicksilver’s ‘special scene’ sekali lagi berusaha ditampilkan dengan skala
yang lebih epic dan iringan lagu populer 80-an, Sweet Dreams (Are Made of This) dari Eurythmics yang tak kalah
asyiknya dengan adegan serupa di DoFP. Kendati demikian, rupanya benar pepatah
the spark will only work once. Decak kagum saya tak sebesar dan semelongo di
DoFP, tapi tetap saja harus saya akui, keren. Tak perlu pula saya mengomentari
tata suara yang tergarap dengan sangat bagus dan serba seimbang. Tiap adegan
spektakulernya terasa semakin megah dan ‘megang’.
Efek 3D yang ditawarkan X-Men Apocalypse pun turut saya acungi
jempol. Bahkan opening title-nya menawarkan pengalaman paling asyik dan keren
dari sejarah sinematik X-Men.
Ditambah cukup banyak shot bak rollercoaster yang memberikan sensasi lebih
untuk gimmick 3D (dan tentu saja 4DX)-nya. Untuk pengalaman 4DX, meski tak
se-‘ultimate’ Captain America: Civil War,
tapi tetap saja menjadi salah satu pengalaman 4DX terbaik. Special note untuk
adegan cerebro dan gemuruh gempa di adegan klimaks pun terasa begitu nyata.
Dari segi konsep cerita yang
ditawarkan, secara keseluruhan X-Men
Apocalypse mungkin terasa masih di bawah DoFP. Namun jangan dilupakan pula
tujuan dan peran utama installment ini dari konsep besar trilogi kedua
franchise X-Men. Untuk tujuan itu, ia
bisa dianggap menyampaikan konklusi yang memuaskan dan menjadi bridge ke trilogi
baru yang tetap bikin penasaran bin excited siapa saja. Tentu perjalanan
franchise X-Men di tangan Fox bakal
masih panjang. Tahun 2017 nanti ada installment ketiga stand alone Wolverine
(yang konon menjadi kali terakhir Hugh Jackman memainkan Wolverine) dan satu
lagi stand alone yang besar kemungkinan Gambit, dilanjutkan dua installment di
tahun 2018 (salah satunya mungkin Deadpool
2). Tak ketinggalan X-Force yang
kemungkinan menjadi bagian dari after credit scene X-Men Apocalypse. So, embrace yourself. Awesomeness will still
continue whether you like this installment or not.