The Jose Flash Review
X-Men: Apocalypse

Tanpa terasa para penggemar sudah dibawa pada bagian ketiga atau bisa dianggap sebagai akhir dari trilogi kedua cinematic universe X-Men. Saya sendiri harus mengakui trilogi kedua yang dimulai dengan X-Men First Class (FC) ini punya konsep yang unik dan menarik. Ketika XMFC jelas-jelas menjadi prekuel which started it all dari keseluruhan seri sinematik X-Men, sekuelnya, X-Men Days of Future Past (DoFP) tak sekedar menjadi sekuel tapi juga part yang me-restart semua seri sebelumnya, termasuk trilogi pertama. Maka tak heran jika ada cukup banyak kontinuiti kehadiran karakter yang membingungkan penonton yang mengikuti sejak awal, tapi juga bisa memuaskan banyak kubu fans yang ‘membenci’ apa yang dilakukan kreator versi layar lebar terhadap karakter-karakter favorit mereka. Dengan kata lain, memperbaiki keselahan-keselahan yang dibuat kreator di seri-seri sebelumnya. Kini, cerita pun bergulir maju dengan menghadirkan villain legendaris dari komik lainnya. Terlepas apapun reaksi terhadap trilogi kedua, keberhasilan tiap installment X-Men (termasuk Deadpool yang merupakan spin-off dari X-Men) membuktikan bahwa Fox masih layak untuk tetap terus memegang haknya, tak perlu dikembalikan ke Marvel di bawah Disney, seperti MCU The Avengers.

Sepuluh tahun setelah kejadian DoFP, dunia termasuk sedang dalam fase cool-down, termasuk untuk urusan dengan para mutan. Professor X mewujudkan cita-citanya mendirikan sekolah khusus mutan bersama Hank dan Alex Summers alias Havoc. Sementara Erik Lehnsherr alias Magneto memilih identitas dan kehidupan baru sebagai seorang pekerja pabrik di Polandia, menikah, dan punya seorang putri. Kehidupan yang serba tenang kembali terusik ketika agen CIA, Moira Mactaggert menemukan kebangkitan sosok mistis asal Mesir yang dipercaya sebagai mutan pertama di dunia. Dalam berbagai literatur, sosok yang disebut sebagai En Sabah Nur alias Apocalypse ini selalu punya misi yang sama: menghancurkan tatanan dunia dan membangun tatanan baru yang dianggap lebih baik. Dalam menjalankan misinya, ia selalu disertai oleh empat orang ‘kaki tangan’ yang disebut sebagai ‘the four horsemen’. Benar saja, Apocalypse memang ‘bangkit’ dari kuburnya dan mengumpulkan ‘the four horsemen’ yang baru: dimulai dari Ororo Munroe, mutan pertama yang ia temukan, dilanjutkan Angel, Psylocke, dan terakhir, Erik Lehnsherr.

Menyadari kekuatan luar biasa yang dimilikinya, Apocalypse menculik dan terus membujuk Professor X untuk mendukung misi ‘pembersihan’-nya. Raven, Hank, Moira, didukung Peter Maximoff, siswa-siswa paling berbakat, seperti Jean Grey, Scott Summers, dan mutan yang baru saja diselamatkan Raven, Kurt Wagner alias Nightcrawler, bersatu untuk menemukan Professor X sekaligus menyelamatkan dunia dari misi ‘pembersihan’ Apocalypse.

Coba analisis lebih dalam trilogi kedua yang digagas oleh Bryan Singer dan Simon Kinberg. Tak hanya menjadi sebuah prekuel, ia punya gagasan jelas tentang hubungan friend-and-foe antara Charles Xavier dan Erik Lehnsherr. Kinberg sendiri menegaskan bahwa di FC Erik mencapai puncak kekuatannya, di DoFP Charles menunjukkan kekuatan terbesarnya untuk mengakhiri peristiwa besar, maka Apocalypse keduanya ‘dimanfaatkan’ untuk mengeluarkan kekuatan terbesarnya sekaligus menyampaikan konklusi dari hubungan friend-and-foe keduanya. For that purpose, X-Men Apocalypse menjadi ‘penutup’ yang memuaskan, sekaligus menjadi bridge ke trilogi (baca: ‘babak’) baru seri X-Men yang melibatkan generasi-generasi baru, seperti Steve Summers alias Cyclops, Jean Grey, Peter Maximoff alias Quicksilver, Ororo Munroe alias Storm, dan Kurt Wagner alias Nightcrawler. Namun tunggu dulu, ada PR-PR lain yang tak kalah pentingnya untuk dijalankan di setiap installment sebagai film yang berdiri sendiri. Pertama, porsi yang cukup bagi tiap karakter mutan yang ditampilkan. Jika spekulasi mutan mana saja yang akan tampil di setiap installment-nya selalu menjadi salah satu highlight utama, maka PR yang satu ini pantang untuk diabaikan. X-Men Apocalypse mungkin ‘mengobral’ cukup banyak karakter baru yang tentu saja membuat banyak fans kegirangan. Sayangnya ia masih kewalahan dalam membagi porsi ke semuanya sehingga terasa sama-sama memorable. Misalnya saja Psylocke, Angel, dan yang paling disayangkan, Ororo Munroe alias Storm yang kita ketahui bersama selama ini adalah salah satu karakter penting franchise X-Men, terkesan hanya tempelan yang tak punya presence mengesankan bagi penonton. Memang sih, terutama Ororo Munroe masih bisa tampil lebih banyak di installment berikutnya. Mungkin memang sengaja disimpan untuk sesuatu yang lebih besar nantinya, tapi tetap saja terasa impresi bahwa kehadirannya di sini bahkan mungkin tidak dikenali sebagai soon-to-be-Storm oleh penonton awam. Penyebutan nama karakter saja tidak ada (correct me if I’m wrong. I didn’t hear her name mentioned at all during the movie).

PR berikutnya adalah menampilkan sosok villain yang dipilih sebisa mungkin menjadi salah satu villain yang memorable untuk jangka waktu yang lama. Kalau bisa malah dikenang sebagai villain paling powerful di antara film-film superhero sejenis. Oh yes, secara materi Apocalypse jelas punya potensi menjadi villain paling berbahaya, paling kuat, paling susah dikalahkan. Apalagi sampai berani bawa-bawa berbagai mitologi dan figur reliji yang sudah dikenal dunia sejak lama sebagai alter-egonya. Sayangnya, sosok Apocalypse di sini tak terasa semengerikan atau semengancam di atas kertas. Aspek psikologisnya yang merasa diri sebagai dewa sejak awal peradaban juga tak terasa begitu ditonjolkan di sini. Padahal sebenarnya ini bisa dimanfaatkan untuk membuat sosoknya terasa lebih ‘mengancam’ bagi penonton.

Jajaran cast utama rata-rata masih memainkan karakter masing-masing dengan baik, seperti James McAvoy sebagai Charles dan yang paling menjadi emotional highlight, Michael Fassbender sebagai Erik Lehnsherr. Rose Byrne yang kembali lagi berperan sebagai Moira Mactaggert pun cukup mampu menarik perhatian saya. Sayangnya, justru Jennifer Lawrence yang tampak seperti sudah ogah-ogahan untuk melanjutkan perannya. Oscar Isaac sebagai Apocalypse sebenarnya tak buruk, tapi somehow saya gagal mengenali sosoknya di balik make up itu. Big factornya mungkin penggambaran karakter yang tak terasa cukup kuat.

Evan Peters sebagai Quicksilver masih tetap mencuri perhatian, bahkan mungkin lagi-lagi yang terdepan berkat ‘adegan spesial’ yang seolah khusus dirancang untuk menjadi eye-candy terbesar sepanjang film bak di DoFP. Sophie Turner sebagai Jean Grey mungkin di mata saya masih belum bisa sekedar menyamai pesona/kharisma Famke Janssen, but she’s okay. Begitu juga Tye Sheridan sebagai Scott Summers, Kodi Smit-McPhee sebagai Nightcrawler, Ben Hardy sebagai Angel, Alexandra Shipp sebagai Storm, dan Olivia Munn sebagai Psylocke, masih perlu kesempatan lebih banyak lagi untuk bisa mencuri hati penonton ke depannya. Terakhir, Hugh Jackman dengan karakter ikonik Wolverine-nya, di sini lebih seperti cameo semata.

Soal visual effect, tiap installment X-Men selalu berhasil membuat saya terbelalak kagum. Tak terkecuali di X-Men Apocalypse ini yang saya nobatkan sebagai salah satu visual terbaik dan terkeren so far. Berbagai adegan sadis berhasil pula ditampilkan secara ‘halus’ sehingga masih tergolong ‘aman’ dengan label PG-13. Quicksilver’s ‘special scene’ sekali lagi berusaha ditampilkan dengan skala yang lebih epic dan iringan lagu populer 80-an, Sweet Dreams (Are Made of This) dari Eurythmics yang tak kalah asyiknya dengan adegan serupa di DoFP. Kendati demikian, rupanya benar pepatah the spark will only work once. Decak kagum saya tak sebesar dan semelongo di DoFP, tapi tetap saja harus saya akui, keren. Tak perlu pula saya mengomentari tata suara yang tergarap dengan sangat bagus dan serba seimbang. Tiap adegan spektakulernya terasa semakin megah dan ‘megang’.

Efek 3D yang ditawarkan X-Men Apocalypse pun turut saya acungi jempol. Bahkan opening title-nya menawarkan pengalaman paling asyik dan keren dari sejarah sinematik X-Men. Ditambah cukup banyak shot bak rollercoaster yang memberikan sensasi lebih untuk gimmick 3D (dan tentu saja 4DX)-nya. Untuk pengalaman 4DX, meski tak se-‘ultimate’ Captain America: Civil War, tapi tetap saja menjadi salah satu pengalaman 4DX terbaik. Special note untuk adegan cerebro dan gemuruh gempa di adegan klimaks pun terasa begitu nyata.

Dari segi konsep cerita yang ditawarkan, secara keseluruhan X-Men Apocalypse mungkin terasa masih di bawah DoFP. Namun jangan dilupakan pula tujuan dan peran utama installment ini dari konsep besar trilogi kedua franchise X-Men. Untuk tujuan itu, ia bisa dianggap menyampaikan konklusi yang memuaskan dan menjadi bridge ke trilogi baru yang tetap bikin penasaran bin excited siapa saja. Tentu perjalanan franchise X-Men di tangan Fox bakal masih panjang. Tahun 2017 nanti ada installment ketiga stand alone Wolverine (yang konon menjadi kali terakhir Hugh Jackman memainkan Wolverine) dan satu lagi stand alone yang besar kemungkinan Gambit, dilanjutkan dua installment di tahun 2018 (salah satunya mungkin Deadpool 2). Tak ketinggalan X-Force yang kemungkinan menjadi bagian dari after credit scene X-Men Apocalypse. So, embrace yourself. Awesomeness will still continue whether you like this installment or not.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.