The Jose Flash Review
Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara


Meski punya slogan Bhinneka Tunggal Ika, isu toleransi, terutama toleransi antar umat beragama, sampai sekarang masih menjadi isu yang seolah-olah hanya digembar-gemborkan lewat pelajaran sekolah, tapi faktanya selalu menjadi masalah sosial. Saya pribadi di jaman Orba sebenarnya tumbuh dengan toleransi yang terasa nyata sejak kecil. Intolerant baru terasa mencuat sejak era reformasi dimana setiap kubu (akhirnya) merasa punya hak untuk bersuara atas nama kepentingan masing-masing di atas bendera demokrasi. Sebagai bangsa yang baru belajar (benar-benar) berdemokrasi, konflik sosial akibat intolerant menjadi gejala yang wajar setelah berpuluh-puluh tahun harus membungkam diri jika tak mau didor oleh petrus alias penembak misterius. Namun seiring dengan intolerant yang semakin mengkhawatirkan dan melibatkan kekerasan, perlu ada gerakan positif untuk membawa balance toleransi antar golongan (terutama, antar umat beragama). Sineas-sineas kita tak sedikit yang ‘berani’ mengangkat tema ini secara terang-terangan. Terutama sekali Hanung Bramantyo yang meski dari luar sering mengangkat tema reliji, tapi sebenarnya lebih sebuah kritik sosial dengan latar belakang agama. Tanda Tanya (?) menjadi karyanya yang paling ‘vulgar’ meneriakkan stop terhadap intolerant. Sempat menuai kontroversi lewat visualisasi simbol-simbol yang terkesan ‘kasar’ dan blak-blakan, harus diakui Tanda Tanya menjadi salah satu film Indonesia terpenting dalam mengangkat isu intolerant.

Mungkin realita ini pula yang menggerakkan sutradara Herwin Novianto, yang sebelumnya kita kenal lewat Jagad X Code dan salah satu film yang berhasil menggugah jiwa nasionalisme saya meski tanpa alasan yang rasional, Tanah Surga… Katanya, sekali lagi mencoba mengangkat tema toleransi antar umat beragama yang lebih difokuskan untuk range audience lebih luas, terutama anak-anak. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah, karena harus mampu menyuarakan tema toleransi secara nyaring dengan kemasan yang sesederhana mungkin untuk dipahami siapa saja. Naskahnya ditulis oleh salah satu penulis naskah papan atas Indonesia, Jujur Prananto (Petualangan Sherina, AADC, tapi juga pernah berpengalaman menuliskan naskah film reliji dengan kemasan yang pop macam Doa yang Mengancam dan Haji Backpacker), sayang film bertitel Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara (ABKB) ini tak dibarengi promosi yang layak. Mulai poster teaser yang menjadi bahan bully-an karena typo di mana-mana, hingga poster resmi yang terkesan ‘just another religious-themed drama’ dan cenderung cheesy. Mungkin dalam benak produser, drama reliji punya pangsa pasar sendiri yang banyak dan kuat di Indonesia. Kontan, tak ada daya tarik lainnya selain Laudya Cynthia Bella di lead role, serta komika Arie Kriting dan Ge Pamungkas di supporting role. Padahal sebenarnya ABKB punya selling point yang begitu besar dan target audience yang lebih luas ketimbang ‘hanya’ kaum muslim.

Merasa kecewa setelah sang ‘abang-abangan’ yang tiba-tiba pamit akan berangkat kerja di Aceh, Aisyah mengambil tawaran yayasan tempat ia bernaung untuk mengajar di sebuah dusun terpencil di Timor Tengah Utara. Sempat ditentang oleh sang ibu, Aisyah berhasil meyakinkan dengan petuah sang ayah tentang bekerja untuk berbagai kebaikan. Ternyata dusun terpencil ini kondisinya jauh lebih buruk dan ‘menyusahkan’ ketimbang bayangan yang ada di benaknya. Tak hanya harus melewati jalan tak beraspal yang memabukkan, sumber airpun sangat terbatas dan jauh dari dusun. Belum lagi rute berkilo-kilo dari tempat tinggal ke sekolah tempat ia mengajar yang harus dilaluinya dengan jalan kaki. Masyarakat dusun yang kesemuanya beragama Katolik ternyata tak banyak tahu tentang Islam. Tak heran jika di hari pertamanya mengajar muncul ketakutan dari para murid tentang sosoknya yang berhijab. Namun semuanya tak menghalangi semangat Aisyah untuk mengabdi.

Seiring dengan mulai bisa beradaptasi secara nyaman dengan penduduk dusun, Aisyah pun menemukan siapa dan ada apa di balik prasangka buruk tentang kaum muslim yang ada di kelasnya.

Secara storyline, mungkin banyak penonton yang teringat akan Sokola Rimba yang memang diangkat dari kisah nyata. Bedanya, jika Sokola Rimba lebih fokus pada perkembangan karakter Butet Manurung (yang mungkin sulit dipahami dan dinikmati penonton cilik), maka ABKB menawarkan lebih banyak aspek dengan kemasan yang lebih mudah dipahami serta dinikmati penonton cilik sekalipun. Mengajarkan toleransi kepada anak-anak (dan orang dewasa juga, sebenarnya) sebenarnya tak sulit. Tak perlu simbol-simbol yang ditampilkan secara eksplisit macam kepala babi di etalase restoran seperti yang dilakukan Hanung di Tanda Tanya. Menampilkan kehidupan sehari-hari sebenarnya lebih dari cukup untuk memnberikan gambaran nyata tentang toleransi. Toh sebenarnya kehidupan sehari-hari kita sebenarnya jauh lebih toleran daripada yang diberitakan media ataupun digembar-gemborkan ormas-ormas itu. Maka Jujur pun tak neko-neko dan muluk dalam menyusun plot ABKB. Nyaris nyerempet ke ranah sinetron atau FTV jika tak ditangani oleh sentuhan sinematis dari Herwin. Cliché, tapi justru dengan format seperti inilah ABKB mampu menggapai seluas-luasnya target audience, termasuk penonton yang akrab dengan sinetron dan FTV yang harus diakui, masif secara kuantitas.

Namun jangan terburu-buru meremehkan lapisan luarnya yang cliché, karena dengan teliti dan keseimbangan yang sangat baik, naskah Jujur tetap memuat nilai-nilai penting dan utama yang ingin disampaikan, secara halus, natural, tanpa terkesan dipaksakan ada, pretensius, ataupun terlalu menggurui. Singkatnya, ABKB mendidik dengan cara menunjukkan, bukan menggurui. Tak perlu ceramah muluk-muluk lewat dialog, karakter Aisyah justru diberi porsi ‘action’ lebih untuk menunjukkan ‘materi pendidikan’-nya. Begitu pula joke-joke tentang perbedaan keyakinan yang terbukti berhasil membuat penonton tertawa, tanpa terasa ofensif.

Ketika trailernya baru dirilis, ada seorang teman yang berkomentar bahwa trailer ABKB memberikan kesan yang menimbulkan prasangka yang tak benar. Di trailer itu seolah-olah umat Katolik (yang tinggal di NTT) anti-Islam, padahal teman saya ini tahu betul bahwa kenyataannya, teman-teman muslimnya yang mengajar di daerah  tersebut tak pernah diperlakukan secara didiskriminatif oleh penduduk lokal (yang beragama Katolik). Apalagi nuansa trailer yang terkesan ‘depresif’ dan menegangkan.

Terbukti trailer tersebut memang misleading. Konflik prasangka negatif terhadap umat muslim bukanlah sebuah prasangka massa, tapi hanya satu orang murid yang memang terpengaruh oleh keluarganya yang punya pengalaman pribadi dengan umat muslim. Bagusnya lagi, ABKB menyelesaikan konflik ini dengan sangat bijak dan lewat visualisasinya, justru sangat mengharukan. Nuansa depresif dan menegangkan yang ditampilkan trailernya pun tak sepenuhnya benar. Secara keseluruhan ABKB justru lebih terasa ceria, menyenangkan, membanggakan, dan (luar biasa) mengharukan. Bahkan ada adegan yang mengingatkan saya akan atmosfer keceriaan ala Sound of Music. Siapapun yang merindukan toleransi antar umat beragama di negeri ini mustahil untuk tak dibuat tersenyum-senyum (dan mungkin sedikit air mata kebahagiaan) oleh adegan-adegan pentingnya. Kelemahan terbesar ABKB terletak pada product placement yang meski tak sampai memaksakan adanya adegan tak penting, tapi kemunculannya masih terlihat mencolok.

Laudya Cynthia Bella sekali lagi membuktikan bahwa dirinya seorang aktris yang tak hanya mampu memainkan karakter dengan emosi yang pas, tapi juga mampu memegang peran lead dengan kekuatan kharismatik yang cukup. Ekspresi wajah yang innocent ditambah karakter dengan sifat yang lovable, berhasil membuat Laudya begitu bersinar dalam mengisi peran Aisyah. Arie Kriting yang selama ini dikenal sebagai komika dan peran-peran yang tak jauh-jauh dari kesan komika, kali ini turut membuktikan diri mampu memainkan peran yang lebih serius. Meski siapa saja tetap bisa melihat sisi komedik dalam karakter Pedro dan juga aksen yang lebih terdengar Ambon ketimbang Timor. Tapi bisa dibilang karakter komedik ini memang disengaja sebagai salah satu daya tarik penonton. Lydia Kandou seperti biasa, tetap bisa menarik perhatian meski perannya sebagai ibu Aisyah tak terlalu banyak dan tergolong tipikal. Apalagi Lydia yang aslinya kita tahu sebagai seorang Kristen yang mengisi peran seorang muslim, kendati ini bukan pertama kali bagi Lydia. Ge Pamungkas dipercaya peran yang masih tak jauh-jauh dari karakter aslinya.

Above all, yang paling menarik tentu saja penampilan aktor-aktor cilik lokal, terutama sekali Agung Isya Almasie Benu sebagai Lordis Defam yang dengan begitu luwes menunjukkan tiap emosi yang dibutuhkan beserta dengan transformasinya yang wajar. Sementara Dionisius Rivaldo Moruk sebagai Siku Tafares masih kaku di banyak kesempatan, baik cara menyampaikan dialog maupun tatapan wajahnya, tapi overall masih tergolong baik sebagai pendatang baru.

Edi Santoso menyumbangkan sinematografi yang berhasil mengeksplorasi keindahan panorama NTT yang terasa begitu terik dan tandus dengan begitu menyatu dengan cerita. Tak ada panorama yang terasa dieksploitasi berlebihan untuk menutupi kelemahan di narasi karena ABKB sudah punya narasi yang cukup kuat. Shot panoramic Edi memang mencuri atensi penonton tapi tak sampai mengganggu narasi utama. Kredit berikutnya wajib disematkan kepada penata musik, Tya Subiakto. Di beberapa part mungkin musiknya terasa ‘berlebihan’ (baca: terlalu grande untuk mengiringi adegan yang bersangkutan), tapi overall musiknya berhasil memberikan ‘nyawa’ lebih ke adegan-adegannya, termasuk pemilihan tembang Natal, Gloria in Excelsis Deo, Mama Yo Quiero, dan favorit saya, lagu wajib misa Gereja Katolik, Agnus Dei versi Misa Dolo-Dolo di credit title. Tata suara yang memanfaatkan fasilitas surround dengan maksimal juga patut diacungi jempol. Ada satu scoring dengan vokal bahasa lokal yang saking dahsyatnya dalam memanfaatkan fasilitas surround, saya sampai menoleh ke berbagai kanal sesuai sumber suara. Semoga versi DVD-nya nanti juga dibekali opsi 5.1 channel.

In the end, menurut saya ABKB adalah contoh film bertemakan toleransi antar umat beragama yang mampu menunjukkan secara nyata dan sederhana, sehingga mudah dipahami serta mempengaruhi secara halus kepada penonton cilik sekalipun. Bagi beberapa penonton mungkin terasa cliché dan cheesy, tapi come on… Untuk kausa sepenting dan sebesar ini, bukankah seharusnya menjangkau range penonton seluas mungkin? Bukankah jika menarget audience dengan pola pikir tinggi, nilai-nilai film ini sudah tak lagi dibutuhkan? Lantas buat apa ‘mengedukasi’ mereka yang sudah paham, bukan? Lagipula kapan lagi film Indonesia punya film yang sangat bagus untuk menyambut Lebaran, Natal, sekaligus Hari Pendidikan Nasional? ABKB mampu dan layak menjadi paket untuk tiga occasion itu.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.