3.5/5
Family
Horror
Pop-Corn Movie
Psychological
sibling
Thailand
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Take Me Home [สุขสันต์วันกลับบ้าน]
Sinema Thai memang dikenal
sebagai salah satu industri film paling maju di kawasan Asia Tenggara. Di
kancah internasional, sudah cukup banyak produk sinema mereka yang dikenal,
terutama dari genre horor, martial art, dan romantic comedy. Tahun 2016, penulis
naskah sekaligus sutradara Kongkiat Khomsiri merilis karya terbarunya, sebuah
horor dengan latar belakang drama keluarga, Take
Me Home (TMH- Sook-San-Wan-Glub-Baan).
Khomsiri sebelumnya dikenal lewat horor Art
of the Devil 2 (Long Khong), Slice, Unseeable, Coming Soon,
dan 407 Dark Flight. Di TMH, Khomsiri
menggadeng aktor muda paling populer di Thailand, Mario Maurer (Love of Siam, A Little Thing Called Love, Jan
Dara: the Beginning, Pee Mak) sebagai
lead.
Selama 10 tahun, Tan tinggal di
sebuah rumah sakit tanpa ingatan apa-apa tentang dirinya, kecuali nama dan
kecelakaan yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit selama 10 tahun. Tan
tak tinggal diam. Lewat fasilitas internet rumah sakit, ia mencari-cari
asal-usulnya. Setelah menemukan artikel koran tentang seorang arsitek yang
bunuh diri 10 tahun lalu, yang ia duga sebagai sang ayah, Tan meminta ijin
kepada dokter yang merawatnya selama ini untuk pulang. Meski diperingatkan, Tan
tetap bersikeras untuk pulang. Setelah sampai di rumah, ia mendapati seorang
wanita muda yang mengaku sebagai saudari kembarnya, Tubtim, sudah menikah
dengan seorang duda, Chewin yang sudah dikaruniai dua orang anak. Awalnya semua
tampak sempurna, sampai Tan mulai merasa bahwa ada yang aneh dengan sosok
saudari kembarnya ini. Penasaran dengan apa yang sebenarnya yang terjadi di
rumah sempurna itu, Tan menemukan kepingan-kepingan masa lalu yang sempat ia
lupakan sebelum kecelakaan.
Horor dengan latar belakang drama
keluarga selalu menjadi sesuatu yang menarik, karena tak hanya sekedar berusaha
menakut-nakuti penonton, tapi juga punya value kekeluargaan yang tentu saja
relate dengan siapa saja (come on, siapapun pasti punya atau pernah punya
keluarga, bukan?). Khomsiri memasukkan konsep
cerita yang menarik ke dalam suguhan horornya yang bikin penasaran. In the pursuit of family perfection yang
memang menjadi bagian dari budaya Timur selama ini menjadi latar belakang yang
kuat dan punya muatan kritik sosial yang cukup menggugah.
Sayangnya, Khomsiri agak
kesusahan dalam menyampaikan konsep besarnya itu. Alih-alih mengembangkan
cerita present time yang nyaris non-existent (hanya sekitar setengah jam
pertama dari durasi), ia terlalu banyak (dan lama) bermain-main dengan
flashback untuk menjelaskan misterinya. Kepingan-kepingan flashback yang ditampilkan
bergantian justru semakin mengaburkan mana yang nyata, mana yang halusinasi.
Mana yang masa kini, mana yang masa lalu. Untungnya, karakter Tan dibuat sempat
hilang ingatan, sehingga setidaknya bisa jadi explaination device yang masih
masuk akal. Sedangkan untuk urusan ‘menakut-nakuti’, ia masih bermain-main
dengan generic jump-scare, tapi most of it still worked.
Bisa dibilang Mario Maurer adalah
single-fighter-actor yang mendominasi keseluruhan film. Tidak terlalu istimewa
sebenarnya, tapi setidaknya ia bisa sedikit keluar dari image sebagai cowok
manis dan kalem. Yang menurut saya paling menarik justru Wannarot Sontichai,
pengisi peran Tubtim, yang seperti pada film-film dengan karakter serupa,
berhasil menampilkan sosok ‘sakit jiwa’ dengan begitu hidup dan membuat saya
terdiam terpesona. Cantik dan seksi secara fisik, punya aura sensualitas yang
cukup kuat, sekaligus misterius dengan roller-coaster emosi sesuai kebutuhan.
Sinematografi Pramett Chankrasse,
scoring, serta sound mixing adalah faktor terbesar keberhasilan TMH sebagai sebuah
horor yang mencekam dan menghadirkan suasana creepy. Termasuk pemanfaatan
fasilitas surround yang yang cukup efektif dan maksimal. Editing Lee
Chatametikool, dibantu Harin Paesongthai, pun cukup efektif dan tepat, terutama
ketika menghadirkan adegan yang diulang-ulang tak jatuh menjadi membosankan.
Terkadang menggelikan, tapi lama-lama, ngeri juga. Begitu pula desain produksi
dari Thana Macaroumput yang memanfaatkan tiap sudut ‘rumah sempurna’ terasa beautifully modern, tapi di sisi
lain juga mengerikan.
TMH memang tak sekedar just
another Thai horror. Ia punya konsep cerita yang menarik, kuat, dan relevan
dengan keluarga Timur. Meski penyampaiannya masih terasa berbelit-belit dan
kabur, analisis lebih dalam dengan breakdown tiap adegan sebenarnya masih bisa
terbaca dengan jelas. Jika masih tak menemukan detail ending yang jelas,
biarlah inti besarnya tetap terasa: Tan has found his home, in any terms.