The Jose Flash Review
My Stupid Boss


Entah sejak kapan buku berisi sketsa-sketsa komedi booming di Indonesia. Correct me if I’m wrong, seingat saya sejak Raditya Dika meluncurkan buku pertamanya, Kambing Jantan, satu per satu buku berisi sketsa-sketsa komedi bermunculan dengan style dan tema yang tak jauh berbeda, yaitu seputar asmara, kejombloan, dan self-mocking. Fenomena mengekor sudah biasa terjadi di Indonesia. Untungnya di tengah kolam yang semakin sesak dan basi, muncul buku sketsa komedi bertajuk My Stupid Boss tahun 2009 silam. Buku sketsa komedi yang ditulis oleh seorang penulis berkode sandi Chaos@work terasa beda tapi tetap dekat dengan segmennya yang cukup luas di Indonesia karena berfokus pada dunia kantor serta hubungan antara bos-karyawan. Kesuksesan pun membuat bukunya hingga 2016 ini sudah sampai pada jilid ke-5. Tentu saja kesuksesan sebuah buku membuat para produser film tertarik untuk mengangkatnya ke layar lebar. Apalagi ternyata film-film Raditya Dika yang juga diadaptasi dari buku-buku sketsa komedinya semakin lama semakin sukses mencetak angka box office. Tak mau main-main, Falcon Pictures mempercayakan salah satu sutradara/penulis naskah Indonesia yang dikenal punya style yang unik, Upi, dan pernah bekerja sama di produksi Belenggu, untuk menggarap naskah sekaligus mengarahkan. Sebagai daya tarik utama, Falcon juga menunjuk pasangan Habibie-Ainun, Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari, sebagai lead. Dengan berbagai elemen-elemen menarik yang sudah ada di tangan, My Stupid Boss (MSB) tak sulit untuk menuai sukses di pasaran.

Setelah sekian lama tak bekerja dan ikut sang suami, Dika, seorang konsultan perusahaan pertambangan yang lebih banyak bekerja di rumah, Diana memutuskan untuk mencari kesibukan dengan bekerja di perusahaan milik sahabat Dika ketika kuliah di Amerika Serikat yang berjuluk Bossman. Awalnya Diana dibuat bimbang setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri banyak karyawan yang memilih mundur setelah berhadapan dengan Bossman, termasuk seorang pengacara yang lebih memilih memecat dirinya sendiri. Namun berkat dukungan Dika, Diana memilih untuk mencobanya dulu. Benar saja, sejak hari pertama bekerja, satu per satu keganjilan dari perilaku dan pola pikir Bossman mulai membuat Diana jengah. Resign juga bukan solusi karena itu artinya Diana harus membayar penalti dari kontrak yang sudah ditandatangani. Akhirnya Diana memutuskan untuk melancarkan ‘perang mental’ dengan Bossman.

Premise bos vs karyawan di ranah perfilman Indonesia terhitung jarang (atau malah belum ada yang benar-benar dijadikan plot utama?) tapi punya relevansi dengan kebanyakan masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di kota besar dan bekerja di perusahaan. Sebagai sebuah adaptasi, Upi cukup piawai meracik sketsa-sketsa komedi dari sumbernya menjadi plot cerita yang lebih rapi, dibumbui dengan humor-humor khas dirinya sendiri. Itulah sebabnya sejak awal, MSB terasa begitu renyah dan fresh sebagai sebuah sajian komedi. Sebagian besar humor yang diusung mengandalkan perilaku-perilaku ganjil (baca: asshole) dari Bossman serta yang bersifat kultural, misalnya logat dan istilah Bahasa Jawa dari celetukan-celetukan Bossman ataupun budaya-budaya Melayu lainnya. Maka tak heran jika ada penonton yang tidak memahami Bahasa Jawa atau familiar dengan budaya Melayu gagal untuk dibuat tertawa. Namun tenang saja. Upi masih punya karakter-karakter pendukung yang ditulis dengan tak kalah menarik dan nyentrik untuk mengundang tawa, pun juga the whole atmosphere yang dibangun sebenarnya sudah bisa dengan mudah untuk membuat penonton sekedar tersenyum kok.

Sayangnya, kesegaran yang terasa dari joke-joke ini kian lama kian menurun dan terasa terjadi pengulangan konsep guyonan seiring dengan perkembangan plot yang pace-nya semakin menurun. Kemudian dimasukkan konsep ‘perang mental’ antara Diana dan Bossman yang membuat plotline kembali menarik untuk disimak. Sayangnya konsep bagus ini berhenti berlangsung. Alih-alih menjadikannya sebuah klimaks sekaligus pangkal dari konklusi, sebuah ‘anti-klimaks’ yang entah coming out of nowhere mencoba menjadi ‘twist’ yang terkesan menggampangkan penyelesaian dan juga ‘pesan moral’ yang dipaksakan masuk. Bisa saja sih jika Anda menganggap ‘twist’ ini sebenarnya akal-akalan Bossman saja. Upi pun masih mampu menangani ‘twist’-nya dengan emosi yang cukup tanpa meninggalkan karakteristik dari Bossman maupun Diana, tapi siapapun tetap saja bisa merasakan sebuah ‘anti-klimaks’ di sini.

Pasangan Reza Rahadian dan BCL semakin mengukuhkan diri mereka sebagai aktor-aktris papan atas Indonesia, baik dalam memerankan karakter masing-masing maupun membangun chemistry di antara keduanya. Dengan desain karakter yang ‘terinspirasi’ dari karakter Bobby Pellit di Horrible Bosses, terbukti Reza memberikan feel yang berbeda dan tetap menjadikan karakter Bossman signatural miliknya sendiri. Sangat komikal tapi tetap terasa natural. Sebuah presentasi akting komedi yang ternyata juga berhasil di antara filmografi seriusnya. Sementara BCL juga memberikan performa yang signatural pada karakter Diana yang sebenarnya kalau diteliti lagi juga ‘diinspirasi’ dari karakter populer lain, Amélie Poulain dari Le fabuleux destin d’Amélie Poulain. Namun di tangan BCL, karakter Diana menjadi begitu hidup dan unik dengan ekspresi-ekspresi wajahnya.
Di deretan pendukung pun masing-masing berhasil mencuri perhatian penonton berkat karakter-karakter yang ditulis dengan menarik. Mulai dari Bront Palarae (Adrian), Nadiya Nisaa (Sikin), Iskandar Zulkarnain (Azhari), serta tentu saja terutama, Chew Kinwah (Mr Kho). Tak ketinggalan Melissa Karim sebagai Bu Boss yang tak kalah gokilnya dibandingkan Bossman, Alex Abbad (Dika), sampai penampilan singkat (namun cukup noticeable) Richard Oh, Ronny P. Tjandra dan Nazyra C. Noer.

Bukan rahasia lagi jika karya-karya Upi selalu punya konsep visual yang unik dan tak tergarap asal-asalan, meski seringkali ‘terinspirasi’ dari berbagai elemen-elemen visual (dan terkadang juga elemen-elemen cerita). Secara keseluruhan visual MSB didominasi perpaduan warna merah dan hijau yang terasa dari desain kostum hingga set. Desain produksi yang seperti ini sebenarnya ‘sangat’ Le fabuleux d’Amélie Poulain. Tak ketinggalan scoring a la Yann Tiersen dengan dominasi alunan akordion yang digarap oleh Aghi Narottama. Tak terlalu orisinil memang, tapi upayanya menghadirkan desain produksi yang terkonsep sehingga tampak cantik secara visual (yang masih tergolong jarang dilakukan film-film Indonesia), layak mendapatkan kredit tersendiri. Apalagi kemudian sinematografi Muhammad Firdaus mampu merekam kesemuanya dengan sangat baik tanpa meninggalkan fungsi storytelling yang tetap menjadi prioritas utama. Terakhir, editing Wawan I Wibowo harus diakui punya andil yang cukup penting dalam membuat joke-joke sebagai komoditas utamanya berada pada timing-timing yang tepat, begitu juga menjaga emosi tiap kebutuhan adegan pada porsi serta timing yang pas.

Saya harus mengakui, mengadaptasi sebuah buku kumpulan sketsa-sketsa komedi menjadi satu skenario film utuh yang punya runtutan kronologis rapi dan baik tidak lah mudah. Bisa dibilang malah harus menulis plot utuh dari awal, baru kemudian memasukkan joke-joke dari materi asli. Untuk tugas itu, Upi saya anggap cukup berhasil, terutama konsep ‘perang mental’ yang menarik dan cerdas. Meski pada akhirnya konsep ini tak diteruskan hingga klimaks dan pemicu konklusi, digantikan twist coming out of nowhere (agak menggelikan memang, mengingat di bio twitter Upi tertulis “gak terima pesanan moral”, but who knows). Mungkin Upi lebih baik jika menulis dan menyutradarai materi ceritanya sendiri, tapi MSB jelas juga bukan karya yang digarap sembarangan. Angka penonton yang sampai tulisan ini dibuat sudah melewati 2 juta penonton (and still keep counting), membuktikan kiprah Upi kali ini bisa diterima selera penonton kita. Semoga ini menjadi semacam ‘pancingan’ untuk karya-karya Upi selanjutnya juga ditunggu banyak penonton. She deserves it.

Lihat data film ini di IMDb dan filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.