3.5/5
Based on Book
Comedy
Drama
Indonesia
Malaysia
Personality
Pop-Corn Movie
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
My Stupid Boss
Entah sejak kapan buku berisi
sketsa-sketsa komedi booming di Indonesia. Correct me if I’m wrong, seingat
saya sejak Raditya Dika meluncurkan buku pertamanya, Kambing Jantan, satu per satu buku berisi sketsa-sketsa komedi
bermunculan dengan style dan tema yang tak jauh berbeda, yaitu seputar asmara,
kejombloan, dan self-mocking. Fenomena mengekor sudah biasa terjadi di
Indonesia. Untungnya di tengah kolam yang semakin sesak dan basi, muncul buku
sketsa komedi bertajuk My Stupid Boss
tahun 2009 silam. Buku sketsa komedi yang ditulis oleh seorang penulis berkode
sandi Chaos@work terasa beda tapi tetap dekat dengan segmennya yang cukup luas
di Indonesia karena berfokus pada dunia kantor serta hubungan antara
bos-karyawan. Kesuksesan pun membuat bukunya hingga 2016 ini sudah sampai pada
jilid ke-5. Tentu saja kesuksesan sebuah buku membuat para produser film
tertarik untuk mengangkatnya ke layar lebar. Apalagi ternyata film-film Raditya
Dika yang juga diadaptasi dari buku-buku sketsa komedinya semakin lama semakin
sukses mencetak angka box office. Tak mau main-main, Falcon Pictures
mempercayakan salah satu sutradara/penulis naskah Indonesia yang dikenal punya
style yang unik, Upi, dan pernah bekerja sama di produksi Belenggu, untuk menggarap naskah sekaligus mengarahkan. Sebagai
daya tarik utama, Falcon juga menunjuk pasangan Habibie-Ainun, Reza Rahadian
dan Bunga Citra Lestari, sebagai lead. Dengan berbagai elemen-elemen menarik
yang sudah ada di tangan, My Stupid Boss
(MSB) tak sulit untuk menuai sukses di pasaran.
Setelah sekian lama tak bekerja
dan ikut sang suami, Dika, seorang konsultan perusahaan pertambangan yang lebih
banyak bekerja di rumah, Diana memutuskan untuk mencari kesibukan dengan
bekerja di perusahaan milik sahabat Dika ketika kuliah di Amerika Serikat yang
berjuluk Bossman. Awalnya Diana dibuat bimbang setelah menyaksikan dengan mata
kepala sendiri banyak karyawan yang memilih mundur setelah berhadapan dengan
Bossman, termasuk seorang pengacara yang lebih memilih memecat dirinya sendiri.
Namun berkat dukungan Dika, Diana memilih untuk mencobanya dulu. Benar saja,
sejak hari pertama bekerja, satu per satu keganjilan dari perilaku dan pola
pikir Bossman mulai membuat Diana jengah. Resign juga bukan solusi karena itu
artinya Diana harus membayar penalti dari kontrak yang sudah ditandatangani.
Akhirnya Diana memutuskan untuk melancarkan ‘perang mental’ dengan Bossman.
Premise bos vs karyawan di ranah
perfilman Indonesia terhitung jarang (atau malah belum ada yang benar-benar
dijadikan plot utama?) tapi punya relevansi dengan kebanyakan masyarakat
Indonesia, terutama yang tinggal di kota besar dan bekerja di perusahaan.
Sebagai sebuah adaptasi, Upi cukup piawai meracik sketsa-sketsa komedi dari
sumbernya menjadi plot cerita yang lebih rapi, dibumbui dengan humor-humor khas
dirinya sendiri. Itulah sebabnya sejak awal, MSB terasa begitu renyah dan fresh
sebagai sebuah sajian komedi. Sebagian besar humor yang diusung mengandalkan
perilaku-perilaku ganjil (baca: asshole) dari Bossman serta yang bersifat kultural,
misalnya logat dan istilah Bahasa Jawa dari celetukan-celetukan Bossman ataupun
budaya-budaya Melayu lainnya. Maka tak heran jika ada penonton yang tidak
memahami Bahasa Jawa atau familiar dengan budaya Melayu gagal untuk dibuat
tertawa. Namun tenang saja. Upi masih punya karakter-karakter pendukung yang
ditulis dengan tak kalah menarik dan nyentrik untuk mengundang tawa, pun juga
the whole atmosphere yang dibangun sebenarnya sudah bisa dengan mudah untuk
membuat penonton sekedar tersenyum kok.
Sayangnya, kesegaran yang terasa
dari joke-joke ini kian lama kian menurun dan terasa terjadi pengulangan konsep
guyonan seiring dengan perkembangan plot yang pace-nya semakin menurun.
Kemudian dimasukkan konsep ‘perang mental’ antara Diana dan Bossman yang membuat
plotline kembali menarik untuk disimak. Sayangnya konsep bagus ini berhenti
berlangsung. Alih-alih menjadikannya sebuah klimaks sekaligus pangkal dari
konklusi, sebuah ‘anti-klimaks’ yang entah coming out of nowhere mencoba
menjadi ‘twist’ yang terkesan menggampangkan penyelesaian dan juga ‘pesan
moral’ yang dipaksakan masuk. Bisa saja sih jika Anda menganggap ‘twist’ ini
sebenarnya akal-akalan Bossman saja. Upi pun masih mampu menangani ‘twist’-nya
dengan emosi yang cukup tanpa meninggalkan karakteristik dari Bossman maupun
Diana, tapi siapapun tetap saja bisa merasakan sebuah ‘anti-klimaks’ di sini.
Pasangan Reza Rahadian dan BCL
semakin mengukuhkan diri mereka sebagai aktor-aktris papan atas Indonesia, baik
dalam memerankan karakter masing-masing maupun membangun chemistry di antara
keduanya. Dengan desain karakter yang ‘terinspirasi’ dari karakter Bobby Pellit
di Horrible Bosses, terbukti Reza
memberikan feel yang berbeda dan tetap menjadikan karakter Bossman signatural
miliknya sendiri. Sangat komikal tapi tetap terasa natural. Sebuah presentasi
akting komedi yang ternyata juga berhasil di antara filmografi seriusnya.
Sementara BCL juga memberikan performa yang signatural pada karakter Diana yang
sebenarnya kalau diteliti lagi juga ‘diinspirasi’ dari karakter populer lain,
Amélie Poulain dari Le fabuleux destin
d’Amélie Poulain. Namun di tangan BCL, karakter Diana menjadi begitu hidup
dan unik dengan ekspresi-ekspresi wajahnya.
Di deretan pendukung pun
masing-masing berhasil mencuri perhatian penonton berkat karakter-karakter yang
ditulis dengan menarik. Mulai dari Bront Palarae (Adrian), Nadiya Nisaa (Sikin),
Iskandar Zulkarnain (Azhari), serta tentu saja terutama, Chew Kinwah (Mr Kho).
Tak ketinggalan Melissa Karim sebagai Bu Boss yang tak kalah gokilnya
dibandingkan Bossman, Alex Abbad (Dika), sampai penampilan singkat (namun cukup noticeable) Richard Oh, Ronny P. Tjandra
dan Nazyra C. Noer.
Bukan rahasia lagi jika
karya-karya Upi selalu punya konsep visual yang unik dan tak tergarap
asal-asalan, meski seringkali ‘terinspirasi’ dari berbagai elemen-elemen visual
(dan terkadang juga elemen-elemen cerita). Secara keseluruhan visual MSB
didominasi perpaduan warna merah dan hijau yang terasa dari desain kostum
hingga set. Desain produksi yang seperti ini sebenarnya ‘sangat’ Le fabuleux d’Amélie Poulain. Tak
ketinggalan scoring a la Yann Tiersen dengan dominasi alunan akordion yang
digarap oleh Aghi Narottama. Tak terlalu orisinil memang, tapi upayanya
menghadirkan desain produksi yang terkonsep sehingga tampak cantik secara
visual (yang masih tergolong jarang dilakukan film-film Indonesia), layak
mendapatkan kredit tersendiri. Apalagi kemudian sinematografi Muhammad Firdaus
mampu merekam kesemuanya dengan sangat baik tanpa meninggalkan fungsi
storytelling yang tetap menjadi prioritas utama. Terakhir, editing Wawan I
Wibowo harus diakui punya andil yang cukup penting dalam membuat joke-joke
sebagai komoditas utamanya berada pada timing-timing yang tepat, begitu juga
menjaga emosi tiap kebutuhan adegan pada porsi serta timing yang pas.
Saya harus mengakui, mengadaptasi
sebuah buku kumpulan sketsa-sketsa komedi menjadi satu skenario film utuh yang
punya runtutan kronologis rapi dan baik tidak lah mudah. Bisa dibilang malah
harus menulis plot utuh dari awal, baru kemudian memasukkan joke-joke dari
materi asli. Untuk tugas itu, Upi saya anggap cukup berhasil, terutama konsep
‘perang mental’ yang menarik dan cerdas. Meski pada akhirnya konsep ini tak
diteruskan hingga klimaks dan pemicu konklusi, digantikan twist coming out of
nowhere (agak menggelikan memang, mengingat di bio twitter Upi tertulis “gak
terima pesanan moral”, but who knows). Mungkin Upi lebih baik jika menulis dan
menyutradarai materi ceritanya sendiri, tapi MSB jelas juga bukan karya yang
digarap sembarangan. Angka penonton yang sampai tulisan ini dibuat sudah
melewati 2 juta penonton (and still keep counting), membuktikan kiprah Upi kali
ini bisa diterima selera penonton kita. Semoga ini menjadi semacam ‘pancingan’
untuk karya-karya Upi selanjutnya juga ditunggu banyak penonton. She deserves
it.