The Jose Flash Review
The Window

Nama Nurman Hakim di perfilman Indonesia dikenal sejak 3 Doa 3 Cinta (2008), film drama religi tentang persahabatan di pondok pesantren yang dibintangi Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo, dimana Nurman bertindak sebagai produser, penulis naskah, sekaligus sutradara. Film keduanya, Khalifah (2011), Nurman lagi-lagi mengulik Islam radikal. Sementara Nan T. Achnas sudah dikenal lebih dulu sebagai sutradara dan penulis skenario sejak film legendaris, Kuldesak (1997), dilanjutkan Pasir Berbisik (2000), Bendera (2002), dan The Photograph (2007). Setelah bekerja sama untuk 3 Doa 3 Cinta dan Khalifah, keduanya kembali bekerja sama lewat project terbaru, The Window, di bawah bendera Triximages. Nurman kembali menggandeng mantan aktor cilik yang kita kenal sebagai pendukung di film-film Warkop, Yoga Pratama, aktris Titi Rajobintang, dan aktor Landung Simatupang, sastrawan yang juga pernah mendukung beberapa judul film nasional.

Bersetting Mei 1998, Dewi adalah wanita muda yang bekerja sebagai seorang tenaga surveryor di sebuah lembaga survey konsumen. Kehidupannya (yang sebenarnya juga masih serba susah) terusik ketika tiba sebuah surat dari kampung halamannya, di Jogja. Maka segeralah Dewi memutuskan untuk pulang kampung. Kita pun diperkenalkan oleh orang-orang di desanya. Sang ayah karyawan perusahaan tembakau yang suka berlaku kasar kepada keluarganya. Sang ibu lebih sering memilih pasrah, termasuk ketika putri sulungnya, Dee, yang keterbelakangan mental, hamil, ia lebih percaya bahwa itu adalah sebuah mukjizat bak Bunda Maria ketika mengandung bayi Yesus. Padahal keluarga mereka bukanlah Katolik ataupun punya latar belakang kekristenan sama sekali. Karena tak ada yang peduli, Dewi tergerak untuk melakukan penyelidikan atas siapa pelaku pemerkosa Dee hingga hamil. Beberapa yang ia curigai, seperti Joko, teman kecilnya yang kini doyan berlagak bak koboi, dan Priyanto, seniman lukis yang dicurigai sebagai narapidana pelarian karena cenderung tertutup sejak kepindahannya di desa itu.

Di permukaan terluar, cara bertutur The Window memang terkesan seperti arthouse yang punya banyak simbol-simbol yang menantang penonton untuk menganalisanya. Seperti bebek-bebek karet atau lukisan-lukisan Priyanto yang dipasang di jendela. Kendati demikian, ia sama sekali tidak menawarkan elemen-elemen cerita yang ‘terselubung’ untuk memahaminya. Secara narasi, ia dapat dengan mudah dipahami oleh penonton awam sekalipun, meski punya pace a la arthouse yang lambat dengan shot-shot panjang. Elemen-elemen cerita yang tampak pada permukaan pun bisa dibaca dengan jelas dan menarik, sebenarnya. Seperti misalnya konsep whodunit (cerita yang menitik beratkan pada misteri siapa pelaku suatu kejahatan sebenarnya) sebagai selubung terluar. Begitu juga latar belakang kondisi keluarga Dewi yang mencoba merepresentasi budaya patriarki masyarakat kita (yang menurut saya, sebenarnya sudah terlalu sering diangkat hingga pada titik jenuh yang cliché).

Sayangnya, sebagai selubung terluar, konsep whodunit tak benar-benar dijalankan sebagai motor penggerak cerita utama. Investigasi yang dilakukan oleh karakter Dewi terkesan sambil lalu, tak ada motivasi yang kuat, dan tak berpengaruh banyak terhadap perkembangan plot sesuai konsep utama. Yang ada justru melibatkan karakter Dewi pada kompleksitas hubungannya dengan para pria, seperti Priyanto dan Joko. Alih-alih memperkaya cerita, ini justru membuat the whole package terasa tak punya fokus dan arah bercerita yang jelas. Setting Mei 1998 pun terkesan tak punya fungsi relevansi apa-apa pada plot utama, kecuali jika Anda menganggap maraknya fenomena perkosaan sebagai benang merah. Belum lagi revealing yang seolah mengamini dugaan terkuat penonton (lantas untuk apa ada adegan-adegan investigasi yang ke mana-mana?) dengan motivasi yang tergolong out-of-nowhere. Ditambah, mid-credit scene (iya, ada!), yang mencoba men-twist cerita, tapi lagi-lagi, terasa out of nowhere, tanpa setup maupun motivasi yang jelas dan kuat.

Tak perlu diragukan lagi, Titi Rajobintang yang punya jam terbang cukup sebagai aktris dan punya kharima tersendiri sebagai lead, karakter Dewi yang porsinya memang dominan, berhasil menjadi daya tarik utama bagi penonton. Seperti kebanyakan karakter yang kerap ia mainkan, Titi menjadi sosok wanita muda yang berani menentang kondisi sosial yang dirasa tidak benar. She’s so strong as her character. Haydar Salish (yang sebelumnya kita kenal sebagai Mas Gatot dari Siti), mengisi porsi berikutnya dengan kekuatan akting yang cukup mengimbangi Titi.

Landung Simatupang sebagai Sang Ayah, Pak Dharsono, memainkan karakter yang cukup kompleks (meski sebenarnya juga tergolong tipikal); ingin dihormati siapa saja, kasar, menyimpang, namun sebenarnya rapuh. Tanpa dijelaskan motivasi transformasi maupun latar belakangnya, setidaknya Landung menghidupkan karakternya dengan natural. Eka Nusa Pertiwi dan Karlina Inawati memberikan dukungan yang sebenarnya cukup maksimal di balik karakter-karakter tipikal yang tak diberi banyak porsi penting. Terakhir, Yoga Pratama yang memerankan Joko, karakter tak kalah ‘ajaib’-nya, memang terasa begitu lepas dan santai. Jika memang konsep seperti itu yang dimaksudkan oleh sutradara dan penulis naskah, maka ia bisa dianggap berhasil, meski tetap saja membuat penonton (setidaknya saya) mengernyitkan dahi.

Sinematografi Billy Tristiandy yang a la-a la arthouse dengan shot-shot panjang, minim pergerakan maupun pergantian angle sebenarnya cukup berhasil membangun mood cerita. Begitu pula editing Ary Prama yang setidaknya tidak sampai membuat shot-shot panjangnya terasa terlalu tenggelam dalam kebosanan. Artistik Eddy Wibowo terutama dalam menghadirkan tiap sudut rumah Bapak Dharsono, pabrik tembakau, hingga rumah Priyanto yang artistik. Sayangnya, satu elemen yang miss berkaitan dengan setting cerita: jembatan halte Transjakarta di awal film. Musik Djaduk Ferianto yang minimalis dan bersifat etnik cukup mewarnai adegan-adegan sesuai porsinya dan sedikit memberikan tambahan emosi di beberapa adegan.

The Window bagi penonton umum mungkin terkesan berat dan berbobot dengan style visual yang arthouse banget. ‘Festival’ banget. Namun menurut saya, ‘rasa arthouse’ hanya terletak pada kemasannya saja, karena ia tetap saja punya penceritaan yang lugas dan to the point, tidak melulu terselubung simbol-simbol. Kalaupun ada simbol-simbol, itu hanya sebagai elemen-elemen pendukung cerita, bukan yang utama. Jadi sejatinya The Window masih bisa dipahami dengan mudah oleh penonton umum sekalipun. Tak ada yang istimewa karena sudah sangat sering diangkat, terutama di ranah perfilman (arthouse) Indonesia yang terkesan hanya mengeksplorasi subjek-subjek itu saja. Begitu juga alur cerita yang entah mau dibawa dengan fokus dan pendekatan yang mana. Semuanya serba tanggung hingga akhirnya tak memberikan kesan apa-apa secara kuat. Andaikan saja ia memperkuat di salah satu elemen sebagai fokus utama, misalnya konsep whodunit yang sebenarnya bisa jadi motor penggerak cerita yang paling menarik, mungkin The Window bisa jadi karya yang jauh lebih berkesan.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.