The Jose Flash Review
Midnight Special

Mungkin belum banyak penonton Indonesia yang familiar dengan nama sineas Jeff Nichols. Maklum, Midnight Special (MS) ini adalah film pertamanya yang tayang di bioskop Indonesia. Karya sebelumnya, Mud, sebenarnya sudah terdaftar di LSF sejak 2013 lalu, tapi sampai sekarang masih belum mendapatkan jadwal tayang, Malahan bisa jadi malah batal tayang sama sekali. Di Amerika Serikat dan kalangan pecinta film dunia, Nichols sudah cukup dikenal berkat dua karyanya, Take Shelter (2011) dan Mud (2012) yang menuai banyak penghargaan serta nominasi di berbagai ajang critic awards bergengsi. Yang tertinggi, memenangkan Critics Week Grand Prize, FIPRESCI Prize, dan SACD Award untuk Take Shelter serta nominasi Palme d’Or untuk Mud di Cannes Film Festival. Sebagai auteur baru yang menjanjikan, tak heran jika major studio mulai meliriknya. Kesempatan pertama itu datang dari Warner Bros yang memberikan lampu hijau untuk project drama bernuansa sci-fi yang ditulis dan disutradarai Nichols sendiri ini. Salah satu faktornya mungkin budget yang diajukan ‘hanya’ US$ 18 juta saja. Mungkin bagi WB, tak ada salahnya memberikan kesempatan tes kepada Nichols sebelum mempercayakan project yang lebih besar. Nichols lagi-lagi menggandeng aktor Michael Shannon yang menandai kali ke-empat keduanya bekerja sama.

Dari berita TV, pertama-tama penonton diinformasikan tentang hilangnya seorang anak berusia 8 tahun bernama Alton Meyer. Diduga sang penculik adalah ayah tirinya, Roy. Alton dianggap istimewa dan menjadi incaran banyak pihak karena memiliki kekuatan tak biasa. Bahkan kemudian muncul sekelompok sekte yang menjadikan kejadian-kejadian seputar Alton sebagai mukjizat serta kitab suci. FBI mengendus ‘kitab suci’ sekte ini sebagai informasi rahasia tingkat tinggi pemerintah Amerika Serikat yang terenkripsi. Penyelidikan pun mengarah kepada sosok Alton sendiri. Seorang penyelidik dari National Security Agency (NSA), Paul Sevier, diutus untuk menyelidiki keberadaan serta jati diri Alton.

Dari kemasan yang sangat mengingatkan kita akan film-film sci-fi era ’70-‘80-an, terutama Close Encounters of the Third Kind, Nichols mengajak penonton untuk penasaran akan sosok Alton. Ya, penonton mungkin bisa menebak dengan mudah bahwa Alton bukanlah manusia biasa yang mungkin berasal dari luar bumi (baca: alien). Tapi lebih dari itu, saya penasaran akan pertanyaan-pertanyaan turunan selanjutnya, seperti apa tujuan dan misinya di bumi, atau lebih dalam lagi, jika menilik dari karya-karya Nichols sebelumnya, filosofi special apa yang ingin disampaikan lewat filmnya kali ini. Maka saya pun membiarkan diri terhanyut dalam jalinan plot yang ditawarkan. Kejar-kejaran seru dengan sedikit bumbu ‘percikan’ spektakuler di tengah-tengah nuansa dominan ‘hening’ membuat saya sesekali terbelalak di tengah sergapan kantuk yang menghadang. Tak ketinggalan yang lantas menjadi kekuatan utama sekaligus terbesarnya; relasi emosional antara Alton-Roy dan juga Alton-Sarah. Lebih dari itu, ternyata MS tak menawarkan sesuatu yang lebih, tidak penjelasan yang saya harapkan, tidak ada pula petunjuk-petunjuk yang mungkin bisa dianalisis secara pasti untuk mendapatkan jawabannya. Di ending seperti terkesan, “ya udah, gitu aja”.

Pasca film berakhir, saya mencoba untuk menganalisis lebih dalam cerita yang ditawarkan oleh Nichols. Kemiripan dengan kisah Biblical kehidupan Yesus Kristus menjadi sesuatu yang paling menarik perhatian saya. Semua elemen cerita yang ditampilkan memperkuat dugaan saya atas alegori cerita Yesus dengan bingkai sci-fi. Mulai dari figur ‘Yusuf-Maria’ yang melindungi ‘Yesus’ dengan berbagai cara dan resiko, ‘Yesus’ yang menimbulkan sekte tertentu, ‘kaum Farisi’ yang mengejar-ngejar ‘Yesus’, ‘Simon Petrus’ yang melindungi ‘Yesus’ hanya karena keimanan, sampai ‘Pontius Pilatus’ yang mencoba membantu ‘Yesus’ tapi tetap mencuci tangan. Bahkan jadwal rilis yang mendekati hari raya Kenaikan Isa Al Masih, menurut saya tentu bukan sekedar kebetulan. Menarik bukan?

Sayangnya, sisi menarik cerita MS hanya sampai sejauh itu saja. Saya tidak menemukan peran signifikan ‘Yesus’ bagi dunia dan setidaknya, para ‘pengikut’-nya, sehingga begitu dielu-elukan dan diburu banyak pihak. Tak jelas juga lantas apa dampak klimaksnya bagi dunia (atau setidaknya, bagi karakter-karakter yang diperkenalkan sepanjang film). Impresi terbesar hanya sekedar kasih sayang tanpa syarat antara orang tua dan anak yang ditunjukkan dengan begitu menyentuh oleh para aktornya.

Michael Shannon yang sudah menjadi langganan (atau malah semacam muse?) Nichols kali ini menjadi perhatian utama berkat dominasi perannya sebagai Roy, Sang Ayah. Bisa dibilang seluruh film berisikan perjuangan Roy menyelamatkan Alton. Shannon tak hanya menunjukkan kegigihan, kenekadan, dan above all, ketulusan luar biasa yang mungkin bisa menyentuh sisi paling emosional dari penonton. Ada cukup banyak momen-momen mengesankan antara Roy-Alton yang begitu kuat dan impresif. Si cilik, Jaeden Lieberher, mungkin lebih sering menunjukkan kepolosan ketimbang kekuatan akting tertentu. Namun bukan berarti tidak menjalin chemistry yang kuat, terutama bersama Shannon. Ia pun punya momen-momen yang membuat kita ngeri ketakutan (tapi tetap penasaran) dengan sosok Alton. Kirsten Dunst, dengan screen time yang tak terlalu banyak, terasa lebih dari cukup untuk meyakinkan penonton bahwa ia sebenar-benarnya ibu dari Alton. Setidaknya, ibu sebagai sosok nyata, bukan sekedar status hubungan darah. Adam Driver yang sebelumnya kita kenal sebagai Kylo Ren dari Star Wars: The Force Awakens, menjadi salah satu yang paling menarik perhatian saya lewat karakter unik, Sevier, Sang ‘Pontius Pilatus’. Terakhir, aktor Joel Edgerton sebagai Lucas, yang meski dari luar tampak lebih seperti pria berbadan besar tapi bodoh, justru punya layer yang memperlihatkan ketulusan melakukan hal yang diyakininya.

MS memang lebih dominan dengan suasana hening, tapi begitu ada shocking moment, Nichols memanfaatkannya dengan maksimal untuk memompa adrenalin penonton. Sedikit visual effect cukup impresif meski tak terlalu istimewa ataupun baru pula, terutama adegan klimaks yang mengingatkan saya akan Tomorrowland, tapi tetap saja mencengangkan saya. Tiap adegan terasa begitu efektif dalam bercerita berkat sinematografi Adam Stone (yang juga langganan Nichols sejak Shotgun Stories, hingga yang berikutnya, Loving) dan editing Julie Monroe. Desain produksi Chad Keith dan art dari Austin Gorg beserta tim yang sedikit banyak bereferensi pada film-film sci-fi klasik 70-80’an menjadi signatural tersendiri bagi untuk MS. Begitu juga scoring dari David Wingo yang cukup berhasil menghadirkan nuansa ‘klasik’ itu sekaligus menghantarkan emosi tiap adegan menjadi lebih terasa. Terakhir, tentu saja tata suara yang di-mix dengan keseimbangan antara keheningan dan kedahsyatan adegan-adegan aksi. Termasuk, efek surround yang dimanfaatkan dengan maksimal.

Sebelum memutuskan untuk menyaksikan MS, ada baiknya Anda punya bekal bayangan seperti apa filmnya. Ia bukan tipe film sci-fi yang mengungkapkan misteri atau filosofi tersembunyi yang muluk-muluk. Sebaliknya, dari luarnya MS justru ‘hanya’ sajian sci-fi dari sudut pandang manusia biasa yang pada akhirnya  membiarkan semuanya tetap menjadi misteri, ketimbang terjawab. Filosofinya mungkin bisa Anda temukan lewat narasi sederhana tentang Roy-Sarah yang mati-matian menolong Alton, baik sebagai sosok orang tua maupun manusia dengan keyakinannya sendiri. Bagi Anda yang merindukan drama sci-fi a la Close Encounters of The Third Kind, MS mungkin bisa jadi pelepas rindu.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.