2.5/5
3D
4DX
Action
Adventure
Based on a Game
Blockbuster
Fairy Tale
Fantasy
Franchise
Hollywood
Kingdom
Magic
medieval
Monster
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Warcraft
Dimulai dengan sebuah video game
real time strategy (RTS) yang dirilis pertama kali tahun 1994, Warcraft berkembang menjadi salah satu
franchise video game raksasa sepanjang masa. Sampai 2016 ini sudah beredar enam
judul game core (tak termasuk expansion pack-nya) dengan genre yang berkembang
pula. Dari RTS hingga massively multiplayer online role-playing game (MMORPG)
dan digital card game, diikuti novel, komik, manga, dan bahkan punya majalah
sendiri. Tinggal satu format yang belum: film layar lebar. Ada alasan kenapa
Blizzard Entertainment terkesan sangat berhati-hati memberikan hak adaptasi
layar lebarnya, mengingat reputasi film adaptasi dari game yang nasibnya bak
kutukan. Meski rencana adaptasi layar lebar sudah diumumkan sejak 2006,
pergantian naskah dan sutradara mewarnai perkembangannya. Dari sisi naskah, Blizzard
tak mau adaptasi Warcraft ini menjadi
terlalu mirip dengan The Lord of the
Rings yang begitu populer. Sementara dari sisi sutradara, tercatat ada
director yang (notoriously) dikenal sebagai ‘spesialis’ adaptasi game, Uwe
Boll, Sam Raimi, hingga akhirnya jatuh ke tangan Duncan Jones, putra David
Bowie yang daftar filmografinya baru Moon
dan Source Code tapi punya reputasi
yang baik. Di tangan Jones pun, Warcraft
tak sepenuhnya mulus, mengingat Jones sempat menghadapi beberapa masalah
pribadi dalam prosesnya. Mulai sang istri yang didiagnosis kanker payudara
hingga kematian sang ayah. Dengan mengaku naskah yang ditulis berdasarkan plot
novel Warcraft: The Last Guardian,
installment pertama Warcraft di layar
lebar akhirnya siap tayang di musim panas 2016 ini. Meski terkesan ‘segmented’,
pemain dan penggemar game-nya yang terbukti mencatat angka bersejarah, tentu
kiprah pertamanya ini tak boleh diremehkan begitu saja. Tak hanya Jones,
Charles Leavitt (Blood Diamond, Seventh Son, dan In the Heart of the Sea) yang berkolaborasi denganya dalam menyusun
naskah, juga menjadi alasan tambahan.
Hikayat Warcraft dimulai dari dunia para orc bernama Draenor yang sedang
sekarat. Menurut Gul’dan, sang pemimpin, satu-satunya harapan mereka adalah
dunia baru bernama Azeroth lewat sebuah portal yang hanya bisa dibuka dengan
kekuatan magis bernama Fel. Meski meragukan Gul’dan, seorang kepala suku
Frostwolf bernama Durotan, bersama istrinya yang sedang hamil, Draka, dan
Orgrim memutuskan untuk bergabung.
Sementara itu di kerajaan
Azeroth, seorang komandan militer, Sir Anduin Lothar, mendapatkan laporan
serangan desa-desa manusia yang menurut Khadgar, seorang penyihir muda, akibat
dari kekuatan Fel. Khadgar merekomendasikan untuk berkonsultasi kepada gurunya,
Medivh. Mengikuti jejak Fel, Lothar, Khadgar, dan Medivh diserang oleh kaum
orc. Dari bentrokan ini, mereka berhasil menangkap seorang tawanan wanita
separuh-orc bernama Garona. Awalnya mereka berniat memanfaatkan Garona untuk
menyerang kaum orc, tapi setelah mengetahui rencana jahat Gul’dan,
diupayakanlah sebuah perundingan diplomatis antara orc dan manusia. Namun
rupanya pengaruh Gul’dan terlalu kuat hingga perang antara kaum manusia dan orc
pun tak terelakkan.
Jujur, saya bukan pemain (apalagi
fans) games-nya. Jangankan main, tertarik untuk main saja tidak. But hey,
adaptasi film layar lebar (apalagi installment pertama) seharusnya mampu
memperkenalkan ‘universe’-nya dengan efektif. Syukur-syukur bisa membuat penonton
‘awam’ tertarik mengikuti ceritanya atau mulai main game-nya. Harapan yang sama
pun sempat terbersit dalam pikiran saya. Sejak awal, atmosfer bak The Lord of the Rings memang tak bisa
dielakkan. Keduanya sama-sama punya creature orc, ada perang yang melibatkan
manusia dan orc, dan yang paling penting, sama-sama bersetting dunia fantasi
yang serupa. Namun Warcraft sudah
membuat saya tak peduli dengan jalinan plot yang ada sejak pertama kali
bergulir. Menurut analisis dugaan saya, penyebabnya adalah adaptasi yang masih
terlalu mentah dari game (apalagi strategi dan RPG) ke dalam format cerita
layar lebar. Saya bisa merasakan cukup banyak adegan terkesan berbelit-belit
ala RTS dan RPG. ‘Langkah-langkah’ ini mungkin cukup seru dan bikin penasaran
ketika berada di konsol game dimana pemain dibuat penasaran dan berpikir untuk
menentukan nasib berikutnya. Sedangkan di layar lebar dimana penonton tinggal
duduk manis dan menikmati cerita, tentu ini memberikan kesan bertele-tele.
Apalagi sebenarnya plot dasar Warcraft
(setidaknya, di installment ini saja) tergolong sangat-sangat generik di genre
petualangan fantasi.
Jangankan muatan
filosofis-filosofis mendalam, layer cerita yang membuat penonton tertarik,
misalnya untuk menganalisis karakter sehingga ikut peduli dan menebak what will
happen next saja tidak ada. Maka tak salah jika banyak (terutama yang berasal
dari non-pemain game-nya) yang merasakan capek dan kemalasan untuk mengikuti
plotnya. Even worse, saya bisa melihat para cast yang seolah-olah berusaha menahan
tawa untuk mengolok-olok lakon yang mereka perankan sendiri. Adegan-adegan
perang memang ada di sana-sini tapi dengan konsep yang ‘biasa saja’ dan
peletakan di antara adegan-adegan yang bertele-tele, excitement untuk menikmati
atau sekedar mengikuti keseruan perangnya menjadi berkurang drastis.
Warcraft punya cukup banyak karakter dengan porsi yang nyaris sama
besarnya sehingga konsentrasi penonton (setidaknya bagi saya) untuk benar-benar
tercuri perhatiannya menjadi terbagi-bagi. Alhasil karakter-karakter, apalagi
para aktor pemerannya, tak membekas terlalu banyak pasca film berakhir. Coba
saya breakdown satu-satu. Paula Patton sebagai Garona menjadi aktor yang paling
saya ingat sepanjang film. Selain menjadi ‘kaum minoritas’ di antara para
pejantan, penulisan karakternya memang menjadi yang paling menarik. Kemudian
Ben Schnetzer sebagai penyihir muda, Khadgar yang juga menarik dan punya porsi
peran yang cukup penting. Sementara Travis Fimmel sebagai Lothar, Ben Foster
sebagai Medivh, dan Dominic Cooper sebagai Llane Wrynn punya porsi peran yang
kurang lebih sama.
Di peran-peran motion capture,
Toby Kebbell (Durotan), Anna Galvin (Draka), Daniel Wu (Gul’dan) tak buruk,
tapi karena bukan ‘barang baru’ lagi di perfilman dunia dan juga harus berbagi
porsi daya tarik, penampilan ketiganya tak bisa dianggap istimewa pula.
Terakhir, aktris Ethiopia yang sedang naik daun, Ruth Negga (serial Agents of S.H.I.E.L.D., Preacher, dan next di karya Jeff Nichols
kedua di tahun 2016 ini, Loving)
sebenarnya mengisi karakter yang tak terlalu punya peran penting, tapi
penampilannya cukup berhasil mencuri perhatian saya.
Meski punya plot yang tak membuat
saya tertarik mengikuti, Warcraft
masih menawarkan kemegahan visual effect yang setidaknya masih bisa membuat
saya bertahan mengikutinya. Bisa dibilang, Warcraft
sangat ambisius dalam menampilkan visual effect. Lihat saja ada berapa firma
effect yang dilibatkan, termasuk yang punya reputasi paling atas di Hollywood;
Industrial Light & Magic dan Weta. Apalagi format 3D yang harus saya akui,
terbaik di tahun 2016 ini, so far. Depth of field-nya luar biasa. Bahkan untuk
shot close-up orc pun terasa sekali kesan gigantic dan grandeur-nya. Beberapa
gimmick pop-out ditampilkan tapi karena untuk adegan yang ‘biasa-biasa’ saja,
sehingga tak memberikan efek kejut dan fun yang cukup berarti.
Sinematogafi Simon Duggan lebih
dari cukup untuk menyampaikan cerita, termasuk beberapa shot ala RPG yang
memberikan efek keseruan lebih. Meski secara keseluruhan belum ada adegan yang
bisa memberikan kesan ‘luar biasa’. Editing Paul Hirsch pun cukup tepat sesuai
pace yang diinginkan Duncan. Kesan plot yang bertele-tele terasa sudah coba
diminimalisir. Jika masih terasa, itu lebih karena faktor naskah ketimbang
editing. Terakhir, scoring dari Ramin Djawadi juga cukup menghidupkan kesan
megah dan seru, meski (lagi-lagi) tak memorable, apalagi hummable.
Untuk format 4DX, Warcraft sebenarnya menawarkan gimmick
efek yang cukup komplit. Mulai motion seat, vibrating seat, water spray, kilauan
blitz, wind, dan ankle shock. Beberapa shot first person pun menawarkan efek
experience yang lebih. Notable moment untuk adegan-adegan sorcery yang
melibatkan motion seat bak gempa, kilauan blitz, dan hembusan angin kencang.
Dengan presentasi yang coba
ditawarkan, installment pertama Warcraft
ini sebenarnya tak tergolong buruk. Sayangnya, bahkan Jones-Leavitt (Leavitt
sendiri sebenarnya juga tak berhasil membuat Seventh Son yang setipe jadi lebih menarik) pun belum bisa membuat
hikayatnya menarik perhatian penonton non-gamer. Sekali lagi terbukti bahwa
adaptasi game ke layar lebar sama sekali bukan pekerjaan yang mudah. Malah
mungkin lebih sulit ketimbang adaptasi novel atau komik. Faktor utamanya jelas
medium yang sangat jauh berbeda. Jika novel dan komik sama seperti film yang
tinggal dinikmati oleh penikmat, game masih harus melibatkan peran pemain.
Namun jika Anda tergolong pemain, apalagi jika sampai menjadi salah satu
fan-nya, adaptasi ini jelas pantang untuk dilewatkan. Selebihnya, nikmati saja
sajian visualnya yang memang memanjakan mata.