3.5/5
disease
Drama
Family
health issue
Indonesia
Inspirational
motherhood
Motivational
Psychological
Socio-cultural
tearjerker
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Nada untuk Asa
Salah satu komoditas terbesar di
ranah perfilman Indonesia adalah tearjerker, selain tentu saja horor dan drama
percintaan remaja. Sudah puluhan bahkan ratusan film Indonesia yang kebanyakan
sukses secara komersial dengan formula yang kurang lebih sama. Apalagi yang
mengangkat penderita penyakit parah, seperti kanker atau HIV/AIDS. Plot yang
cliché maupun kedangkalan cerita yang sudah sangat formulaic nyatanya masih
mampu menyedot penonton yang berbondong-bondong untuk “membuktikan diri masih
manusia” dengan menangis. Asal berderai tangis, penonton dengan mudah
memberikan cap “inspiratif”. Padahal seringkali tema penyakit atau yang kami,
para moviegoers, sebut sebagai disease-and-suffering-porn, yang hampir selalu
berakhir dengan kematian si karakter utama, lupa bagaimana efeknya terutama
bagi si penderita yang sebenarnya. Dengan eksploitasi penderitaan yang luar
biasa, bukannya memberikan semangat sembuh, atau lebih besar lagi, semangat
hidup, malah justru menjadikan momok yang depresif. Lantas inspirasi seperti
apa yang sebenarnya didapat penonton? Yep, maafkan, tapi kenyataannya penonton
kita seringkali suka diberikan inspirasi palsu yang tidak jelas. Jarang atau
malah hampir tidak pernah saya menemukan film tentang penyakit yang dengan
positif memberikan bisikan “everything will be just alright in the end”, baik
bagi penonton umum maupun penderitanya sendiri.
Maka Nada untuk Asa (NuA) mencoba membuat film bertemakan HIV/AIDS
dengan pendekatan yang berbeda. Berangkat dari inisiatif Charles Gozal dari
MagMa yang terinspirasi dari kisah nyata seorang ibu bernama Yurike
Ferdinandus, kemudian didukung Komsos KAJ (Keuskupan Agung Jakarta) yang
kebetulan sedang mengkampanyekan Sahabat
Positif sebagai program mereka, NuA memulai misin positifnya. Meski
didukung oleh Keuskupan Agung, nyatanya NuA berhasil menyatukan cast yang
berasal dari agama berbeda-beda ke dalam suatu karya yang menyuarakan message
yang juga sangat universal.
NuA mengangkat dua storyline
melalui kacamata dua karakter dengan setting berbeda: Nada, seorang ibu rumah
tangga yang suaminya baru meninggal dunia, mendapati bahwa dirinya dan putri
bungsunya sudah terinfeksi HIV dari sang suami. Sementara yang kedua adalah
Asa, seorang wanita muda yang sebenarnya punya karir cemerlang. Namun harus
terhambat karena ia mengidap HIV, entah dari mana. Jika storyline pertama lebih
banyak menguras air mata, meski ditampilkan dengan serba natural dan masuk
akal, maka storyline kedua justru memberikan keceriaan. Kedua storyline yang
kontras ini berjalan secara paralel dan bertemu di satu titik menjelang akhir,
yang sekaligus menjadi konklusi dari keseluruhan cerita. I have to say, konsep
cerita yang dibuat seperti ini tidak hanya mampu dengan efektif menyampaikan
message positifnya, tapi juga memberikan gambaran yang positif pula terhadap
virus HIV maupun penderitanya. Tak ada adegan-adegan tearjerker berlebihan yang
mengeksploitasi penderitaan. Bukannya menangis hancur setelah film berakhir,
penonton justru diajak tersenyum lega dan salut. Penderita HIV yang menonton
pun ditantang untuk berani tetap hidup ketimbang berani mati. Efek yang jarang
ditemukan di ranah film Indonesia.
Namun konsep cerita yang ditulis
dengan positif dan serba natural ini bukannya tanpa efek negatif. Jika Anda
merasakan FTV-feel sepanjang film, Anda tidak salah. Harus diakui, karena
saking natural dan “kurang dramatisasi” maupun “kurang klimaks”, di beberapa
adegan NuA terasa seperti sebuah FTV. Apalagi sinematografi di beberapa adegan
yang semakin memperkuat feel itu. Tak salah pula jika ada yang menganggap NuA
punya gaya penceritaan dan sinematografi film drama keluarga Indonesia di era
80-an, yang kemudian menginspirasi gaya FTV saat ini. Toh, menurut saya ini
bukanlah suatu hal yang buruk. FTV juga bisa punya naskah yang bagus, bukan?
Dukungan performance para
aktornya yang begitu powerful, punya andil yang cukup besar dalam menghidupkan
adegan-adegan NuA menjadi begitu natural. Terutama sekali Marsha Timothy yang
dengan mudah menjadi perhatian utama sepanjang film. Meski di beberapa bagian
tangisannya terasa sedikit berlebihan, namun secara keseluruhan mampu
menghidupkan karakternya dengan sangat-sangat baik. Acha Septriasa, seperti
biasa, masih mampu memikat dengan kharismanya. Di deretan pemeran pendukung,
Inong Ayu Nidya dan Wulan Guritno terasa paling menonjol. Meski aktor-aktor
pendukung populer lainnya, seperti Darius Sinathrya, Mathias Muchus, Nadila
Ernesta, Donny Damara, Irgi Fahrezi, Butet Kertaradjasa, sampai Sakurta Ginting dan Bisma “SMASH”,
juga memberikan performa yang baik sesuai dengan porsi masing-masing. Tak
ketinggalan penampilan aktor cilik, Muhammad Zidane dan Mallaki Gruno, yang
dengan mudah menjadi sweetheart bagi penonton.
Dengan berbagai dukungan yang
serba sederhana tapi tidak main-main, message positif yang tepat, performa yang
begitu powerful, NuA adalah sebuah film drama keluarga Indonesia yang patut
mendapatkan apresiasi lebih. Apalagi seluruh penjualan tiket di bioskop kabarnya akan
didonasikan untuk pembangunan Rumah Sakit St. Carolus.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id
Lihat situs resmi film ini.