3/5
Action
Adventure
Alien
cinema experience
Drama
Fantasy
Hollywood
Kingdom
Pop-Corn Movie
Rivalry
SciFi
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Jupiter Ascending
Wachowski Brothers pernah
mengukir sejarah dengan trilogi The
Matrix. Duo bersaudara Andy dan Larry (sekarang berubah menjadi Lana) ini
kemudian mencoba melanjutkan sukses dengan menghadirkan signatural visual
spectacle (yang pasti juga dengan budget gila-gilaan), seperti lewat Speed Racer dan Cloud Atlas. Namun sayangnya secara komersial, keduanya tidak
begitu menggembirakan. Meski demikian, saya sangat menyukai kedua film tersebut
dengan konsepnya masing-masing. Tahun 2015, mereka berdua lagi-lagi mempertaruhkan
budget ratusan juta dolar untuk film dengan visualisasi yang semakin
spektakuler, Jupiter Ascending (JA).
Dilihat dari trailer maupun
materi-materi promosinya, JA tampak seperti sebuah sci-fi spektakuler dengan
skala cerita yang besar. Tak salah, bangunan konsep universe, mulai planet,
makhluk, bangunan, hingga kostum, kesemuanya ditata dengan begitu luar biasa.
Namun sayang, kenyataannya semua konsep universe yang serba megah ini ternyata
hanyalah latar yang terlalu besar untuk konsep ceritanya yang tak lebih dari sebuah space opera. JA tak lebih dari
space opera yang terlalu bertele-tele. Berawal dari karakter Jupiter yang
menjalani kehidupan membosankan di bumi, tiba-tiba dikejar-kejar oleh
gerombolan alien. Untung saja ia diselamatkan olah pria yang juga tak kalah
asing dan anehnya, Caine Wise. Barulah penonton diperkenalkan dengan
keseluruhan konsep cerita dan universe yang lebih luas lagi.
Seperti Clout Atlas, sekali lagi The Wachowskis mencoba untuk berfantasi
tentang sejarah eksistensi planet bumi di JA. Memang sangat jauh dari segi
ilmiah, namun konsep ceritanya cukup menarik. Sayangnya modal ini dikembangkan
dengan sangat minim, dan lebih parahnya lagi bertele-tele. Kehadiran 3 kubu
antagonis yang punya tujuan sendiri-sendiri menjadi salah satu penyebabnya. In
short, terjadi beberapa adegan yang seolah mengulang dengan karakter antagonis
yang berbeda. Toh sebenarnya cerita juga tidak begitu jauh berkembang juga.
Belum lagi humor-humornya yang terasa seperti parodi Star Wars versi tipsy. Tak heran jika ada penonton yang merasa
bosan atau bahkan tertidur.
Cerita yang bertele-tele
diperparah dengan aspek lainnya yang semakin membuat JA terpuruk. Terutama
sekali jalinan asmara antara Caine-Jupiter yang tidak hanya terasa terlalu
dibuat-buat, tapi juga didukung chemistry yang nihil dari keduanya. Alhasil,
secara keseluruhan JA terasa begitu dangkal.
Untung saja JA masih punya
beberapa adegan aksi yang cukup membuat mata terbelalak. Terutama adegan
kejar-kejaran antara Caine-Jupe (iya, Jupiter panggilannya Jupe di film!) dan
pasukan Balem. Sayangnya, beberapa adegan aksi lainnya justru terasa begitu
cepat dan chaotic sehingga tidak bisa dinikmati ketegangannya.
Sebagai karakter-karakter utama,
baik Channing Tatum maupun Mila Kunis tidak memberikan kontribusi positif
apa-apa. Keduanya replaceable, tapi sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan
mereka. Naskah memang tidak memberikan banyak kesempatan bagi keduanya untuk
memperdalam karakter. Yang terjadi justru karakter-karakter yang diisi aktor
pendukung yang mencuri perhatian. Eddie Redmayne yang semakin matang di
film-film kelas award, tampil cukup menarik sebagai karakter antagonis, meski
karakternya sendiri tidak ditampilkan dengan cukup mendalam. Douglas Booth,
Tuppence Middleton, dan Sean Bean pun tampil memikat dengan peran
masing-masing, di luar porsi yang cukup terbatas.
Nilai positif patut diberikan
kepada sinematografi John Toll yang mampu merekam berbagai keindahan desain
produksi dengan sangat maksimal, baik yang berupa visual effect alias CGI,
maupun yang practical.
Dari segi desain produksi seperti
desain kostum, bangunan tata kota, maupun berbagai kendaraan, harus diakui
menjadi perhatian sekaligus komoditas utama dari JA. Meski tidak mengelak jika
ada aspek desain produksi yang bersifat hate it or love it, terutama desain
androgyny yang bisa dipahami berasal dari faktor Lana Wachowski yang seorang
transsexual.
Tata suara yang menggelegar
mendukung adegan-adegan megahnya, termasuk scoring Michael Giacchino yang super
grande. Ditambah efek surround (bahkan Dolby Atmos) yang semakin menghidupkan
adegan-adegan aksinya.
Dengan cukup banyaknya kelemahan
di sana-sini, JA masih merupakan sajian yang masih menghibur, terutama dari
segi visual dan audio yang sayang jika tidak dinikmati di layar lebar dengan
dukungan audio maksimal, seperti Dolby Atmos misalnya. Just the enjoy the ride,
even sometimes it’s tiring.
Lihat data film ini di IMDb.