3.5/5
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Drama
Family
Feel-good
health issue
Philosophical
pop
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
Spiritual
Teen
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Fault in Our Stars
Overview
Semua juga tahu bahwa jaman sekarang film
dengan naskah asli tidak bisa menjual sebesar film dengan naskah adaptasi. Tak
hanya di Indonesia, tapi juga di Hollywood. Coba hitung ada berapa banyak film dengan naskah asli yang sukses. Lantas bandingkan dengan film-film
yang merupakan franchise atau diadaptasi dari sumber lain, seperti novel. Kalau
dianalisis lagi, membuat film adaptasi punya jaminan sukses yang lebih besar
daripada naskah asli yang terhitung masih gambling. Setidaknya fans materi
aslinya sudah hampir pasti bakal menjadi penonton versi filmnya. Apalagi jika
target utamanya remaja yang menjadi konsumen film tertinggi selama ini. Tak
heran jika satu per satu novel remaja diangkat ke layar lebar. Yang terbaru, The Fault in Our Stars (TFIOS) karya
John Green yang versi novelnya pernah menjadi bestseller di Amerika Serikat dan
juga sudah menular ke seluruh dunia.
Saya belum pernah membaca versi novelnya, tapi it’s okay. Dengan demikian saya bisa memberikan insight yang lebih
objektif tentang versi filmnya. Toh film adaptasi yang bagus seharusnya bisa
berdiri sendiri dan tetap nyaman ditonton tanpa perlu mengetahui versi aslinya.
TFIOS adalah film drama romance remaja dengan latar belakang penyakit
mematikan. Era film drama yang memanfaatkan penderita penyakit mematikan
sebagai bahan eksploitasi air mata sudah jauh lewat. Hollywood sudah beberapa
kali mengangkat tema penyakit mematikan dengan sisi yang lebih realistis dan
bahkan kemasan yang jauh dari tearjerker. Ambil contoh 50/50 yang justru lebih kental komedi nakalnya, atau My Sister’s Keeper dan Dallas Buyers Club yang lebih menyoroti
sisi-sisi realistis lainnya untuk digali lebih dalam. Maka perpaduan genre
drama penyakit mematikan dan romantisme remaja sebenarnya masih tergolong satu golongan, sehingga tidak terlalu
istimewa, meski jatuhnya bisa manis jika paduannya pas.
Tak seperti Restless yang lebih dark meski tetap romantic dan sweet, TFIOS versi film termasuk yang berhasil tampil dominan manis tanpa harus menjadi terasa gombal. Menyentuh, tanpa harus
menjadi tearjerker yang berlebihan. Bumbu yang paling menarik tentu saja dialog-dialognya
yang konon sudah menjadi kekuatan versi novelnya. Manis, cerdas, terkadang
dalam, dan yang pasti banyak sekali yang quotable. Tak heran jika saya
berkali-kali dibuat tersenyum olehnya. Jika Anda mengharapkan TFIOS menjadi
tearjerker, mungkin siap-siap sedikit kecewa. Karena TFIOS tidak serta-merta
menggelar kepahitan-kepahitan secara vulgar yang memaksa penontonnya menangis.
Biarkan diri Anda tenggelam dalam alur yang membelai lembut hingga tanpa terasa
mata Anda berkaca-kaca.
Namun secara naskah, TFIOS terasa sekali
terlalu sederhana, tanpa ada kelokan-kelokan berarti. Tak ada pula titik yang
membuat saya merasakan begitu wow. Tak ketinggalan karakter-karakter pendukung
yang seharusnya punya potensi dikembangkan dan dikaitkan lebih banyak dengan
kisah ataupun karakter sentral, dibiarkan begitu saja bak tempelan. Skenario
seolah membiarkan karakter dua sejoli kita, August Waters dan Hazel Grace hanya
tinggal berdua di atas bumi ini. Padahal menurut saya karakter Van Houten
sangat menarik dan saya sempat berharap ia bisa menjadi kunci dari inti cerita.
Sayang karakternya disia-siakan oleh skenario. Alhasil romance adalah aspek
cerita yang paling mendominasi ketimbang esensi-esensi mendalam lain yang
terpaksa jadi porsi nomer sekian.
Saya curiga skenario berusaha sesetia
mungkin dengan versi novel sehingga enggan untuk membuat terlalu banyak inovasi
agar versi filmnya menjadi lebih spicy dan terasa lebih bermakna secara
sinematik. Jelas sekali media novel dan film sanagat berbeda, sehingga
treatment-nya juga seharusnya berbeda agar bisa “menyentuh” audience-nya. Tak
harus menjadi tearjerker nomer satu, yang penting mampu membuat penontonnya
merasa klimaks dengan epiphany-nya, sudah lebih dari cukup. Tapi jika Anda
adalah fan setia versi novelnya, maka Anda akan berkali-kali bersorak sorai,
ikut mengucapkan dialog-dialog favorit Anda, dan bahkan larut dalam tangis
haru, karena berbaur dengan pengalaman Anda ketika membaca novelnya.
Well, di balik segala kelebihan dan
kekurangannya, TFIOS yang hadir sebagai film remaja dengan kemasan lebih
“dewasa” dan “dalam” ketimbang tipikal film remaja umumnya dewasa ini, tetap
harus disambut sebagai warna tersendiri yang berbobot namun tetap manis.
The Casts
Salah satu kekuatan terbesar TFIOS adalah
chemistry yang klop antara Shailene Woodley dan Ansel Elgort. Meski sebelumnya
pernah tampil bersama di Divergent,
namun sebagai saudara kandung di Divergent
dan sepasang kekasih di TFIOS jelas butuh chemistry yang berbeda. Dan mereka
berhasil menghidupkan chemistry yang pas di sini. Pun sebagai masing-masing
karakter, keduanya juga tampil bagus.
Di jajaran pemeran pendukung, Laura Dern
dan Willem Dafoe cukup menjadi scene stealer. Sayang keduanya tidak diberikan
porsi yang layak sehingga mampu tampil sama kuatnya dengan Shailene dan Ansel.
Sementara Nat Wolff (Isaac) juga tampil memikat sebagi penyegar suasana.
Technical
Soundtrack memegang peranan penting dalam
mendukung suasana sepanjang film sehingga nuansa bittersweetnya sanagt terasa
tanpa harus jatuh menjadi terlalu menye-menye. Mulai Ed Sheeran, Birdy, Charli
XCX, hingga M83. Salah satu paket soundtrack yang wajib dimiliki albumnya.
Aspek lain yang patut diapresiasi adalah
desain produksi, terutama divisi desain kostum dan setting yang membuat gambar
menjadi berwarna dengan konsep yang matang. Sinematografinya berhasil merekam
sudut-sudut kota Amsterdam dan interior-eksterior lain dengan indah. Tak
ketinggalan editing yang juga memanfaatkan visualisasi text message dan e-mail
untuk menambah nuansa youth-nya.
The Essence
Semua manusia dibatasi oleh usia. Meski
punya usia hidup yang berbeda-beda, tetap saja semuanya punya batasan. Yang
terpenting bukanlah seberapa banyak waktu yang diberikan hidup, namun
memanfaatkan hidup dengan maksimal selama waktu yang diberikan. Salah satunya
adalah memiliki seseorang yang paling penting untuk selalu berbagi dalam hidup.
They who will enjoy this the most
- The novel’s fans
- Teenagers, especially age 16-25 years old
- Penggemar film romance yang manis