The Jose Movie Review
Cahaya dari Timur: Beta Maluku

 

Overview

Melihat trend film Indonesia yang didominasi oleh genre horor-seks, banyak masyarakat yang nyatanya hanya tahu perkembangan film Indonesia dari infotainment, mengharapkan film-film lokal yang “mendidik”. Pejabat-pejabat kita punya istilah yang terdengar lebih intelektual: “mengandung kearifan lokal”. Padahal kita tidak pernah tahu seperti apa “kearifan lokal” yang sebenarnya. Alhasil jangan salahkan jika kesuksesan satu film Indonesia yang bersifat “motivasional” (seperti biasa) membuat latah PH-PH lain untuk menggarap film bertema serupa. Tetapi tanpa konsep yang kuat dan skrip yang matang, tak heran jika banyak yang jatuh menjadi klise, hanya sekedar menggurui, dan seringkali hasilnya tak jauh dari kemasan sinetron. Tentu saja, “mendidik” dan “mengandung kearifan lokal” saja belum cukup untuk memajukan perfilman Indonesia, karena tujuan utama dari film sebenarnya masih sering belum tercapai: menghibur.
Tema persatuan, pluralisme, berlatar belakang konflik sosial yang memang kerap terjadi di negara ini sudah sering diangkat. Bahkan Hanung Bramantyo belakangan ini menjadi salah satu sineas yang paling vokal untuk isu ini. Tema sepak bola juga cukup sering diangkat ke kazanah perfilman nasional, mengingat sepak bola adalah olah raga paling populer di Indonesia. Memadukan kedua tema ini juga sudah pernah dilakukan lewat Hattrick, namun dengan kadar intrik di balik tim sepak bola yang jauh lebih dominan, ketimbang isu sosialnya. Maka sekali lagi sineas lokal mencoba untuk memadukan kedua tema ini ke layar lebar. Hasilnya adalah Cahaya dari Timur: Beta Maluku (CDT) yang konon akan dibuatkan seri-seri lainnya jika sukses di pasaran, dengan produser musisi asli Ambon, Glenn Fredly, dan sutradara Angga Dwimas Sasongko yang sebelumnya dikenal lewat Hari untuk Amanda.
Ternyata apa yang diracik di CDT sungguh merupakan perpaduan yang luar biasa. Dimulai dari skrip yang disusun dengan sangat rapi dan matang. Saya tidak tahu sejauh mana fakta yang ada di layar, namun CDT berhasil menyuguhkan pertautan antar sub plot menjadi realistis dan cantik. Well, oke lah ada beberapa klise, tetapi kesemuanya dirangkai menjadi tak terkesan “gampangan” maupun menggurui. Lalu, Angga selaku sutradara tahu betul bagaimana memvisualisasikan adegan-adegan yang sebenarnya simple menjadi penguras emosi yang maksimal. Agak tertatih menyampaikan cerita di awal, terutama saat memvisualisasikan kerusuhan di Ambon, namun alur berangsur-angsur menjadi jauh lebih lancar ketika penonton mulai diajak mengenal karakter utama, Sani Tawainela,  lebih dalam. Tidak terlihat menye-menye dari luar namun mampu menyentuh perasaan siapa saja. Patah semangat, bangga, ketegangan saat babak penalti, semuanya terasa bagai rollercoaster emosi yang jitu. Itu kelebihan yang dimiliki oleh Angga selaku sutradara. Durasi yang dua setengah jam seolah tak terasa sama sekali. Porsi karakter utama, Sani, juga tak menggerus kharisma karakter-karakter lain yang ditampilkan. Semuanya diberi porsi yang pas untuk menempel di benak penonton, tanpa terkesan penuh sesak dan membingungkan.
Kelebihan lain dari CDT adalah berhasil memvisualisasikan isu konflik SARA dengan halus namun masih jelas. Bandingkan dengan beberapa film yang juga mengangkat isu SARA sebagai latar belakang, seperti ? (Tanda Tanya) yang terkesan vulgar dan blak-blakan dalam menampilkannya. CDT tidak berfokus pada konfliknya, tetapi pada harapan yang diberikan pasca konflik, dan it works very well.
CDT juga berhasil mengangkat content lokal, baik dari segi panorama alam maupun kebudayaannya, tak hanya sekedar ornamen yang menghiasi. Namun menyatu dengan wajar dalam cerita. Contoh yang paling mudah, bahasa dan logat Ambon yang selama ini seringkali hanya dijadikan bahan bercandaan (masih ingat tagline produk minyak angin “seng ada lawan”?), melalui CDT berhasil membuat saya tertarik untuk sedikit demi sedikit mempelajarinya. Semoga saja pengaruhnya tak hanya terjadi pada diri saya.
In short, CDT di mata saya sangat berhasil menjadi tontonan yang “mendidik” serta “mengandung kearifan lokal”, namun digarap dengan hati dan intelektual yang besar. Menghibur serta memberikan harapan yang besar bagi penontonnya, terutama yang mengaku berkebangsaan Indonesia. Saya berani mengklaimnya sebagai salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. Jadi sayang jika Anda yang mengaku peduli film Indonesia dan merindukan film Indonesia yang bermutu, melewatkan yang satu ini di layar bioskop.

The Casts

Chico Jerrico memang bukan aktor Indonesia pendatang baru, tetapi ini adalah pengalaman pertamanya bermain di film layar lebar, setelah sebelumnya lebih sering tampil di layar kaca. Well, he’s good though. Tak hanya dalam hal pengucapan aksen Ambon yang sangat lancar dan wajar, penampilannya sebagai Sani yang perkembangan karakternya paling mendominasi membuktikan ia punya potensi yang besar sebagai aktor layar lebar. Belum sampai tahap luar biasa, namun it’s a very good start.
Begitu pula dengan Safira Umm yang sebelumnya sudah kita kenal sebagai presenter infotainment. Fisiknya yang menunjukkan kecantikan serta eksotisme, diimbangi dengan kemampuan akting yang pas dengan karakter.
Tentu saja pemain-pemain asli dari Ambon yang ternyata juga berhasil mencuri perhatian penonton, terutama Bebeto Leutually (pemeran Salembe) dan Aufa Assegaf (pemeran Hari Zamhari Lestaluhu alias Jago). Terakhir, seperti biasa Jajang C. Noer selalu punya kharisma sendiri di layar, sekecil apapun perannya.

Technical

Sinematografi Robie Taswin menjadi kekuatan utama dari teknis CDT. Lanskap alam Tulehu, tata kampung Tulehu, tata kota Ambon secara keseluruhan, sampai pertandingan sepak bola di Jakarta, mampu direkam dengan sangat maksimal. Indah dan megah, sesuai kebutuhan adegan. Kekuatan kedua adalah tata suara yang memberikan detail yang luar biasa serta clarity yang di atas rata-rata. Keseimbangan antara dialog, sound effect, dan score bersinergi dengan sangat baik dalam memanjakan telinga, meski tidak terlalu memanfaatkan fasilitas efek surround. Catatan khusus untuk departemen musik yang berhasil memadukan nuansa etnik dengan pop menjadi komposisi yang keren, termasuk theme song Tinggikan yang dibawakan oleh Glenn Fredly, dan juga lagu-lagu yang dibawakan oleh artis-artis lokal Ambon.

The Essence

Tragedi kerusuhan di Ambon seharusnya bisa jadi pelajaran untuk bangsa Indonesia seluruhnya akan pentingnya persatuan. CDT menjadi penggugah yang kuat akan semangat tersebut dengan hati yang besar. Dan tentu saja karakter Sani mungkin bisa lebih meng-courage penontonnya untuk berani terus menekuni sesuatu yang dicintainya meski belum menghasilkan materi. Jalankan seimbang dengan hal-hal lain yang penting dalam hidup, and your life will be felt complete.

They who will enjoy this the most

  • Penonton yang menyukai emotional-ride
  • General audiences, especially Indonesian
Lihat data film ini di IMDb dan filmindonesia.or.id.
Lihat situs resmi film ini.
Diberdayakan oleh Blogger.