4.5/5
Based on a True Event
Biography
Drama
Indonesia
Inspirational
Motivational
Panoramic
Pluralism
Psychological
Rivalry
Socio-cultural
Sport
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Cahaya dari Timur: Beta Maluku

Overview
Melihat
trend film Indonesia yang didominasi oleh genre horor-seks, banyak masyarakat
yang nyatanya hanya tahu perkembangan film Indonesia dari infotainment,
mengharapkan film-film lokal yang “mendidik”. Pejabat-pejabat kita punya
istilah yang terdengar lebih intelektual: “mengandung kearifan lokal”. Padahal kita
tidak pernah tahu seperti apa “kearifan lokal” yang sebenarnya. Alhasil jangan
salahkan jika kesuksesan satu film Indonesia yang bersifat “motivasional” (seperti
biasa) membuat latah PH-PH lain untuk menggarap film bertema serupa. Tetapi
tanpa konsep yang kuat dan skrip yang matang, tak heran jika banyak yang jatuh
menjadi klise, hanya sekedar menggurui, dan seringkali hasilnya tak jauh dari
kemasan sinetron. Tentu saja, “mendidik” dan “mengandung kearifan lokal” saja
belum cukup untuk memajukan perfilman Indonesia, karena tujuan utama dari film
sebenarnya masih sering belum tercapai: menghibur.
Tema
persatuan, pluralisme, berlatar belakang konflik sosial yang memang kerap
terjadi di negara ini sudah sering diangkat. Bahkan Hanung Bramantyo belakangan
ini menjadi salah satu sineas yang paling vokal untuk isu ini. Tema sepak bola
juga cukup sering diangkat ke kazanah perfilman nasional, mengingat sepak bola
adalah olah raga paling populer di Indonesia. Memadukan kedua tema ini juga
sudah pernah dilakukan lewat Hattrick,
namun dengan kadar intrik di balik tim sepak bola yang jauh lebih dominan,
ketimbang isu sosialnya. Maka sekali lagi sineas lokal mencoba untuk memadukan
kedua tema ini ke layar lebar. Hasilnya adalah Cahaya dari Timur: Beta Maluku (CDT) yang konon akan dibuatkan
seri-seri lainnya jika sukses di pasaran, dengan produser musisi asli Ambon,
Glenn Fredly, dan sutradara Angga Dwimas Sasongko yang sebelumnya dikenal lewat
Hari untuk Amanda.
Ternyata apa
yang diracik di CDT sungguh merupakan perpaduan yang luar biasa. Dimulai dari
skrip yang disusun dengan sangat rapi dan matang. Saya tidak tahu sejauh mana
fakta yang ada di layar, namun CDT berhasil menyuguhkan pertautan antar sub
plot menjadi realistis dan cantik. Well, oke lah ada beberapa klise, tetapi
kesemuanya dirangkai menjadi tak terkesan “gampangan” maupun menggurui. Lalu,
Angga selaku sutradara tahu betul bagaimana memvisualisasikan adegan-adegan
yang sebenarnya simple menjadi penguras emosi yang maksimal. Agak tertatih menyampaikan
cerita di awal, terutama saat memvisualisasikan kerusuhan di Ambon, namun alur berangsur-angsur
menjadi jauh lebih lancar ketika penonton mulai diajak mengenal karakter utama,
Sani Tawainela, lebih dalam. Tidak
terlihat menye-menye dari luar namun mampu menyentuh perasaan siapa saja. Patah
semangat, bangga, ketegangan saat babak penalti, semuanya terasa bagai
rollercoaster emosi yang jitu. Itu kelebihan yang dimiliki oleh Angga selaku
sutradara. Durasi yang dua setengah jam seolah tak terasa sama sekali. Porsi
karakter utama, Sani, juga tak menggerus kharisma karakter-karakter lain yang
ditampilkan. Semuanya diberi porsi yang pas untuk menempel di benak penonton,
tanpa terkesan penuh sesak dan membingungkan.
Kelebihan
lain dari CDT adalah berhasil memvisualisasikan isu konflik SARA dengan halus
namun masih jelas. Bandingkan dengan beberapa film yang juga mengangkat isu
SARA sebagai latar belakang, seperti ?
(Tanda Tanya) yang terkesan vulgar dan blak-blakan dalam menampilkannya.
CDT tidak berfokus pada konfliknya, tetapi pada harapan yang diberikan pasca
konflik, dan it works very well.
CDT juga
berhasil mengangkat content lokal, baik dari segi panorama alam maupun
kebudayaannya, tak hanya sekedar ornamen yang menghiasi. Namun menyatu dengan
wajar dalam cerita. Contoh yang paling mudah, bahasa dan logat Ambon yang
selama ini seringkali hanya dijadikan bahan bercandaan (masih ingat tagline
produk minyak angin “seng ada lawan”?), melalui CDT berhasil membuat saya tertarik
untuk sedikit demi sedikit mempelajarinya. Semoga saja pengaruhnya tak hanya
terjadi pada diri saya.
In short,
CDT di mata saya sangat berhasil menjadi tontonan yang “mendidik” serta “mengandung
kearifan lokal”, namun digarap dengan hati dan intelektual yang besar.
Menghibur serta memberikan harapan yang besar bagi penontonnya, terutama yang
mengaku berkebangsaan Indonesia. Saya berani mengklaimnya sebagai salah satu
film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. Jadi sayang jika Anda yang mengaku
peduli film Indonesia dan merindukan film Indonesia yang bermutu, melewatkan
yang satu ini di layar bioskop.
The Casts
Chico
Jerrico memang bukan aktor Indonesia pendatang baru, tetapi ini adalah
pengalaman pertamanya bermain di film layar lebar, setelah sebelumnya lebih
sering tampil di layar kaca. Well, he’s good though. Tak hanya dalam hal
pengucapan aksen Ambon yang sangat lancar dan wajar, penampilannya sebagai Sani
yang perkembangan karakternya paling mendominasi membuktikan ia punya potensi
yang besar sebagai aktor layar lebar. Belum sampai tahap luar biasa, namun it’s
a very good start.
Begitu pula
dengan Safira Umm yang sebelumnya sudah kita kenal sebagai presenter
infotainment. Fisiknya yang menunjukkan kecantikan serta eksotisme, diimbangi
dengan kemampuan akting yang pas dengan karakter.
Tentu saja
pemain-pemain asli dari Ambon yang ternyata juga berhasil mencuri perhatian
penonton, terutama Bebeto Leutually (pemeran Salembe) dan Aufa Assegaf (pemeran
Hari Zamhari Lestaluhu alias Jago). Terakhir, seperti biasa Jajang C. Noer selalu
punya kharisma sendiri di layar, sekecil apapun perannya.
Technical
Sinematografi
Robie Taswin menjadi kekuatan utama dari teknis CDT. Lanskap alam Tulehu, tata
kampung Tulehu, tata kota Ambon secara keseluruhan, sampai pertandingan sepak
bola di Jakarta, mampu direkam dengan sangat maksimal. Indah dan megah, sesuai
kebutuhan adegan. Kekuatan kedua adalah tata suara yang memberikan detail yang
luar biasa serta clarity yang di atas rata-rata. Keseimbangan antara dialog,
sound effect, dan score bersinergi dengan sangat baik dalam memanjakan telinga,
meski tidak terlalu memanfaatkan fasilitas efek surround. Catatan khusus untuk
departemen musik yang berhasil memadukan nuansa etnik dengan pop menjadi
komposisi yang keren, termasuk theme song Tinggikan
yang dibawakan oleh Glenn Fredly, dan juga lagu-lagu yang dibawakan oleh
artis-artis lokal Ambon.
The Essence
Tragedi
kerusuhan di Ambon seharusnya bisa jadi pelajaran untuk bangsa Indonesia
seluruhnya akan pentingnya persatuan. CDT menjadi penggugah yang kuat akan semangat
tersebut dengan hati yang besar. Dan tentu saja karakter Sani mungkin bisa
lebih meng-courage penontonnya untuk berani terus menekuni sesuatu yang
dicintainya meski belum menghasilkan materi. Jalankan seimbang dengan hal-hal
lain yang penting dalam hidup, and your life will be felt complete.
They who will enjoy this the most
- Penonton yang menyukai emotional-ride
- General audiences, especially Indonesian
Lihat situs resmi film ini.