3.5/5
Comedy
Drama
Indie
Indonesia
Psychological
Socio-cultural
The Jose Movie Review
Urban
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Selamat Pagi, Malam
(In the Absence of the Sun)
Overview
Jakarta tak pernah ada habisnya menjadi
sumber inspirasi sineas kita. Bukan hanya karena menjadi ibukota negara, tetapi
lebih karena permasalahan-permasalahan klasik yang semakin lama bukannya
semakin membaik, tetapi semakin parah. Mulai dari masalah sosial, kemiskinan,
kemacetan... banyak lah. Tapi yang menarik untuk dibahas adalah benturan budaya
yang terjadi di dalamnya sebagai pot besar, tempat percampuran berbagai
keragaman yang luar biasa. Benturan budaya yang menghasilkan lifestyle unik dari
masyarakatnya. Sinema kita tak pernah berhenti mengangkatnya ke layar, toh
meski problematikanya sama, trend lifestyle selalu bergeser dan berubah-ubah.
Salah satu yang concern (atau gemar?)
dengan lifestyle warga ibukota adalah Nia Dinata dan kawan-kawan yang beberapa
kali mengangkatnya menjadi komedi satir yang menggelitik. Mulai Arisan! yang menjadi pelopor,
dilanjutkan sekuelnya yang lebih menonjolkan sisi komedi satir dengan cerewet
ketimbang esensi cerita utamanya, Arisan!
2. Maka kali ini Lucky Kuswandi yang juga masih ’satu genk’ dengan Teh Nia
(Lucky pernah menyutradarai Madame X
yang merupakan produksi Kalyana Shira milik Teh Nia, serta menjadi editor Arisan! 2), menulis dan menyutradarai
film sejenis dengan tajuk Selamat Pagi,
Malam (SPM), meski kini berada di bawah bendera Kepompong Gendut yang pernah memproduksi Cin(T)a dan Demi Ucok.
Tak jauh berbeda dengan formula Arisan! dan Arisan! 2, SPM juga kental dengan komedi-komedi satir yang
mengolok-olok gaya hidup warga Jakarta. Kacamata yang dipilih untuk mewakili
pun sangat menarik. Pertama, Gia, seorang wanita 30 tahunan yang baru pulang
dari New York setelah 9 tahun meninggalkan Jakarta. Ia mendapati Jakarta
menjadi sekumpulan orang-orang yang harus hidup dengan topeng-topeng urban.
Bahkan sahabatnya, Naomi yang dulu menemaninya di New York, sudah menjadi
bagian dari kaum hedonis ibukota. Kedua, Indri, wanita 20 tahunan dari kalangan
menengah yang berusaha naik status sosial melalui kencan buta dengan pria kaya.
Terakhir, Cik Surya, tante-tante etnis Tionghoa yang suaminya baru saja
meninggal dunia dan mendapati bahwa selama ini suaminya doyan main perempuan di
kawasan remang-remang.
Ketiganya berhasil menyajikan perilaku,
dialog, serta situasi yang menggelikan, meski sebenarnya sudah lazim
sehari-hari terjadi di ibukota. Hasilnya, penonton seperti diajak mentertawai
kehidupan yang dijalaninya sehari-hari, tanpa harus merasa tersinggung. Formula
yang sebenarnya sudah kerap diusung ke layar lebar, namun tetap saja menjadi
hiburan tersendiri bagi khazanah sinema kita. Memang, SPM hanya bercerita
tentang kehidupan di Jakarta, tetapi saya yakin juga terjadi di kota-kota besar
Indonesia lainnya. Saya yang tinggal di Surabaya saja sudah bisa merasakannya.
Meski kental dengan komedi satirnya, bukan berarti Lucky membuat SPM
tanpa konsep dasar yang kuat. Jika dianalisis lebih dalam, Gia, Indri, dan Cik
Surya tengah mencari-cari ’tempat’ yang pas buat mereka di ibukota. Ketiganya
digambarkan hidup di salah satu dunia Jakarta dan sedang mencoba hidup di dunia Jakarta yang satunya lagi: kawasan elit dan kawasan remang-remang
pinggiran. Semuanya ditampilkan dengan simbol-simbol sosial yang pas namun tetap mudah dipahami dan dinikmati. SPM memang tidak bermaksud untuk menawarkan solusi apa-apa. Toh
memang sebenarnya permasalahan yang ada tidak butuh solusi apa-apa. Semua soal
pilihan. Ending SPM pun juga tidak memberikan petunjuk pilihan apa saja yang
diambil oleh karakter-karakter utama kita. Alur cerita dari masing-masing
karakter dibiarkan mengalir seperti apa adanya hidup. Setelah dibuat tertawa
sepanjang film, penonton akan dibuat merasakan mellow-nya Jakarta di ending,
dan membuat saya merefleksikan semua yang baru saja saya tonton. Terapi yang
sederhana, bukan hal yang baru, namun cukup adiktif untuk terus mengalaminya. Sama masokis-nya dengan tinggal di Jakarta: sudah tahu serba susah dan tidak enak, tapi tetap saja bikin kangen.
The Casts
Adinia Wirasti sekali lagi memerankan
karakter yang sudah sangat melekat dengan dirinya selama ini. Still charming as
usual, meski tipikal. Marissa Anita yang selama ini kita kenal sebagai
presenter news, ternyata memiliki bakat akting yang cukup menjanjikan dan ditunjukkannya
di sini. Konon, katanya karakter Naomi memang tidak jauh-jauh dari kepribadian
Marissa yang asli, tetapi penampilannya di layar harus diakui memikat.
Ina Panggabean cukup baik memerankan Indri
meski tak begitu istimewa juga. Sementara scene stealer yang mampu menarik
perhatian sepanjang film adalah Dayu Wijanto sebagai Cik Surya dan Trisa
Triandesa sebagai Faisal. Waiting forward to see them both in our
screen.
Technical
Semangat
indie sangat terasa dalam SPM, baik dari segi gambar dan suara. Namun bukan berarti buruk, karena kualitas gambar
dan pencahayaannya termasuk sangat baik. Angle-angle cantik pun berhasil
membingkai banyak sudut malam Jakarta, termasuk insert-insert adegan yang
banyak menyorot kehidupan kalangan bawah ibukota. Editing yang dilakukan oleh
Lucky Kuswandi pun tertata dengan rapi dan tidak membingungkan, meski harus
bercerita dari tiga kacamata yang berbeda.
Sayang minus kecilnya adalah sound effect
yang sering terasa kasar dan kurang menyatu dengan detail-detail suara lainnya.
Meski demikian setidaknya dialog dan efek-efek suara lainnya masih nyaman untuk
didengarkan.
Bonus lagu Pergi untuk Kembali yang dibawakan oleh Dira Sugandi sebagai
penghantar keluar yang lirih dan pahit, tetapi sukses menjadikan SPM sepaket
bittersweet yang indah untuk Jakarta di hari jadinya yang ke-487.
The Essence
Kita boleh saja berangan-angan ingin
menjadi bagian dari kalangan tertentu karena terlihat serba enak. Padahal belum
tentu hidup di kalangan tersebut bisa membuat kita benar-benar nyaman dan
bahagia. Semuanya tergantung pilihan akhir. Toh semua pilihan membawa
konsekuensi masing-masing yang mau tak mau harus dijalani juga.
They who will enjoy this the most
- Penonton yang paham dan hidup sehari-hari di lingkungan dengan gaya hidup urban
- Penggemar humor satir