The Jose Movie Review
Maleficent

Overview

Trend mengadaptasi dongeng klasik menjadi versi yang lebih gelap dengan sentuhan action-adventure masih belum habis. Apapun kemasannya, mulai yang melakukan perombakan cerita besar-besaran seperti Red Riding Hood dan Snow White and the Huntsman, retelling dengan gaya yang berbeda seperti Alice in Wonderland, sampai yang menceritakan extended version dari dongeng yang sudah ada seperti Oz: The Great and Powerful. Untuk target audience masih anak-anak, remaja, maupun dewasa seperti Hansel & Gretel. Apapun dilakukan demi mengeruk uang lebih banyak, tanpa mempedulikan apakah perlu tetap setia atau lebih baik “memperkosa” materi aslinya.
Disney sendiri bisa dikatakan cukup berhasil me-remake dongeng-dongeng klasik yang dulu dikenal dalam versi film-film animasi menjadi versi live action. Alice in Wonderland dan Oz: The Great and Powerful meski mendapatkan mix-review dari kritikus, tetapi keberhasilannya mengumpulkan dolar berlipat-lipat dari budget-nya menjadi tolak ukur bagi Disney untuk terus me-remake koleksi dongeng-dongeng klasiknya. Setelah Maleficent, konon Beauty and the Beast yang akan diangkat ke format live action, selain tentu saja sekuel dari Alice in Wonderland yang kini tengah digarap.
So bagaimana dengan Maleficent sendiri, mengingat dongeng Sleeping Beauty tidak sepopuler Snow White atau Cinderella? Bahkan ceritanya sendiri harus diakui punya banyak sekali kemiripan dengan Snow White. Maka apa yang dilakukan Disney untuk Maleficent harus saya akui adalah langkah yang brilian. Tak sekedar mengubah sudut pandang cerita dari Putri Aurora menjadi penyihir jahat Maleficent, tetapi menjadikannya versi extended yang meski secara esensi berbeda sama sekali, tetapi tidak ada bagian dari versi animasinya yang digantikan. Lebih dari itu, seolah kisah Putri Tidur yang selama ini diketahui oleh penonton hanyalah sedikit potongan dari keseluruhan. Penulis naskah Linda Woolverton memanfaatkan celah-celah yang tidak ada di versi animasinya dengan penambahan adegan-adegan untuk mengubah berbagai konsep ceritanya. Maka lewat Maleficent, penonton diajak untuk melihat dan mengetahui berbagai aspek yang tak ditunjukkan di materi aslinya. Terutama sekali, tentu saja, sosok Maleficent sendiri yang tak hanya diberi legitimasi atas perbuatan jahatnya, tetapi juga dibuat merasakan penyesalan. Efeknya terhadap penonton bisa berbeda-beda. Ada yang menyukai perubahan ini, tapi bukan tidak mungkin ada fan karakter Maleficent yang merasa terlecehkan dengan perubahan watak karakter ini. Padahal kalau mau objektif, menampilkan karakter di ranah abu-abu justru terasa lebih realistis. Secara keseluruhan pun, Maleficent tak melulu bernuansa kelam. Masih mempertahankan khas Disney yang terkadang juga manis, seru, menyentuh, dan menggelitik. Cocok dan aman untuk penonton anak-anak sekalipun.
Beberapa film belakangan, Disney seolah menyampaikan pesan bahwa cinta tak harus selalu melulu antar sepasang kekasih, seperti yang terakhir lewat Frozen. Tak terkecuali di sini, Disney sekali lagi menyampaikan pesan serupa. Dengan dukungan berbagai aspek, membuat manis-pahit cerita maupun para karakternya sangat terasa emosional.
Tak hanya drama antar karakter, Maleficent juga menawarkan fantasi khas dongeng Disney yang serba ajaib, terutama makhluk-makhluk magis seperti pixies dan pohon hidup. Lengkap dengan adegan-adegan peperangan yang memanjakan mata dan telinga. So yes, akhirnya Maleficent menjelma menjadi dongeng abadi yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi lebih dalam, meaningful, dan relevan dengan kondisi sosial serta pola pikir masyarakat saat ini yang pastinya jauh lebih kompleks daripada ketika pertama kali dongengnya diceritakan.

The Casts

Angelina Jolie jelas menjadi spotlight utama sepanjang film. Aktingnya berhasil dengan sempurna menghidupkan karakter sentral yang memang juga ditulis dengan sangat baik. Manis-pahit yang dialami Maleficent menjadi begitu terasa berkat permainannya yang begitu prima.
Pun demikian, tak lantas menenggelamkan penampilan karakter-karakter pendukung begitu saja. Itulah kekuatan script Maleficent yang entah bagaimana memberikan porsi yang membuat tiap karakter memorable. Mulai dari Elle Fanning yang mempesona sebagai Putri Aurora, Sam Riley sebagai si burung gagak Diaval, Sharlto Copley sebagai King Stefan, bahkan Brenton Thwaites, peemeran Prince Phillip yang porsinya tergolong sangat sedikit. Khusus untuk Brenton, siap-siap melihat dirinya lebih sering di layar lebar. Setelah di saat yang bersamaan juga bisa menyaksikan penampilannya di Oculus dan selanjutnya di The Giver yang diantisipasi banyak pihak.
Tak ketinggalan pula penampilan trio pixy: Flittle (Lesley Manville), Knotgrass (Imelda Staunton), dan Thistletwit (Juno Temple) yang berhasil memberikan kesegaran tersendiri dengan tingkah komikalnya yang menggelitik.

Technical

Meski banyak bagian yang terasa nuansa gothic-nya, namun Maleficent tak mau tenggelam terlalu dalam dengan desain produksi ala Tim Burton seperti yang ditunjukkan di Alice in Wonderland. Masih bercirikan khas dongeng fantasi ala Disney seperti yang terlihat pada desain karakter, desain setting, serta kostum. Catatan khusus untuk tone warna yang terasa natural atau malah saturasi sedikit rendah untuk memberi kesan nyata. Berbeda dengan trend film fantasi era digital yang mana berlomba-lomba menampilkan warna-warna kontras setajam mungkin.
Apresiasi juga perlu diberikan kepada divisi sound effect yang dengan begitu detail memberikan efek-efek suara, termasuk efek surround bahkan pada adegan-adegan detail seperti sayap Maleficent atau pixies yang melesat, juga pada dialog.
Terakhir, James Newton Howard yang memang sudah berpengalaman puluhan tahun, sekali lagi menggubah score yang sangat khas Disney, pun juga sangat mendukung emosi setiap manis-pahit adegan. Love it a lot. Tak ketinggalan theme song Once Upon a Dream yang dibawakan Lana Del Rey dengan sentuhan eerie.

The Essence

When you don’t believe in true love, it might be yourself who can prove that it does exist.

They who will enjoy this the most

  • Penggemar fairy tale dan film fantasi
  • Penggemar dongeng princess
  • Penonton yang berpikiran modern tentang konsep kasih sayang
  • General audiences who seek for light yet exciting entertainment
Lihat data film ini di IMDb.

The 87th Annual Academy Awrads nominee(s) for

  • Best Achievement in Costume Design
Diberdayakan oleh Blogger.