3D
4/5
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Drama
Fairy Tale
Family
Fantasy
Hollywood
Kingdom
Oscar 2015
Pop-Corn Movie
Princess
Remake
Romance
Summer Movie
The Jose Movie Review
War
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Maleficent
Overview
Trend mengadaptasi
dongeng klasik menjadi versi yang lebih gelap dengan sentuhan action-adventure
masih belum habis. Apapun kemasannya, mulai yang melakukan perombakan cerita
besar-besaran seperti Red Riding Hood
dan Snow White and the Huntsman,
retelling dengan gaya yang berbeda seperti Alice
in Wonderland, sampai yang menceritakan extended version dari dongeng yang
sudah ada seperti Oz: The Great and
Powerful. Untuk target audience masih anak-anak, remaja, maupun dewasa
seperti Hansel & Gretel. Apapun
dilakukan demi mengeruk uang lebih banyak, tanpa mempedulikan apakah perlu
tetap setia atau lebih baik “memperkosa” materi aslinya.
Disney
sendiri bisa dikatakan cukup berhasil me-remake dongeng-dongeng klasik yang
dulu dikenal dalam versi film-film animasi menjadi versi live action. Alice in Wonderland dan Oz: The Great and Powerful meski
mendapatkan mix-review dari kritikus, tetapi keberhasilannya mengumpulkan dolar
berlipat-lipat dari budget-nya menjadi tolak ukur bagi Disney untuk terus
me-remake koleksi dongeng-dongeng klasiknya. Setelah Maleficent, konon Beauty and
the Beast yang akan diangkat ke format live action, selain tentu saja
sekuel dari Alice in Wonderland yang
kini tengah digarap.
So bagaimana
dengan Maleficent sendiri, mengingat
dongeng Sleeping Beauty tidak
sepopuler Snow White atau Cinderella? Bahkan ceritanya sendiri
harus diakui punya banyak sekali kemiripan dengan Snow White. Maka apa yang dilakukan Disney untuk Maleficent harus saya akui adalah langkah
yang brilian. Tak sekedar mengubah sudut pandang cerita dari Putri Aurora
menjadi penyihir jahat Maleficent, tetapi menjadikannya versi extended yang meski secara esensi berbeda sama sekali, tetapi tidak ada bagian dari versi animasinya yang digantikan. Lebih dari itu, seolah
kisah Putri Tidur yang selama ini diketahui oleh penonton hanyalah sedikit
potongan dari keseluruhan. Penulis naskah Linda Woolverton memanfaatkan celah-celah yang tidak ada di versi animasinya dengan penambahan adegan-adegan untuk mengubah berbagai konsep ceritanya. Maka lewat Maleficent,
penonton diajak untuk melihat dan mengetahui berbagai aspek yang tak
ditunjukkan di materi aslinya. Terutama sekali, tentu saja, sosok Maleficent sendiri
yang tak hanya diberi legitimasi atas perbuatan jahatnya, tetapi juga dibuat
merasakan penyesalan. Efeknya terhadap penonton bisa berbeda-beda. Ada yang menyukai perubahan ini, tapi bukan tidak mungkin ada fan karakter Maleficent yang merasa terlecehkan dengan perubahan watak karakter ini. Padahal kalau mau objektif, menampilkan karakter di ranah abu-abu justru terasa lebih realistis. Secara keseluruhan pun, Maleficent tak melulu bernuansa kelam. Masih mempertahankan khas Disney yang terkadang juga manis, seru,
menyentuh, dan menggelitik. Cocok dan aman untuk penonton anak-anak sekalipun.
Beberapa
film belakangan, Disney seolah menyampaikan pesan bahwa cinta tak harus selalu
melulu antar sepasang kekasih, seperti yang terakhir lewat Frozen. Tak terkecuali di
sini, Disney sekali lagi menyampaikan pesan serupa. Dengan dukungan berbagai
aspek, membuat manis-pahit cerita maupun para karakternya sangat terasa
emosional.
Tak hanya
drama antar karakter, Maleficent juga
menawarkan fantasi khas dongeng Disney yang serba ajaib, terutama makhluk-makhluk
magis seperti pixies dan pohon hidup. Lengkap dengan adegan-adegan peperangan
yang memanjakan mata dan telinga. So yes, akhirnya Maleficent menjelma menjadi dongeng abadi yang dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga menjadi lebih dalam, meaningful, dan relevan dengan kondisi
sosial serta pola pikir masyarakat saat ini yang pastinya jauh lebih kompleks
daripada ketika pertama kali dongengnya diceritakan.
The Casts
Angelina
Jolie jelas menjadi spotlight utama sepanjang film. Aktingnya berhasil dengan
sempurna menghidupkan karakter sentral yang memang juga ditulis dengan sangat
baik. Manis-pahit yang dialami Maleficent menjadi begitu terasa berkat
permainannya yang begitu prima.
Pun
demikian, tak lantas menenggelamkan penampilan karakter-karakter pendukung
begitu saja. Itulah kekuatan script Maleficent
yang entah bagaimana memberikan porsi yang membuat tiap karakter memorable.
Mulai dari Elle Fanning yang mempesona sebagai Putri Aurora, Sam Riley sebagai
si burung gagak Diaval, Sharlto Copley sebagai King Stefan, bahkan Brenton
Thwaites, peemeran Prince Phillip yang porsinya tergolong sangat sedikit. Khusus
untuk Brenton, siap-siap melihat dirinya lebih sering di layar lebar. Setelah
di saat yang bersamaan juga bisa menyaksikan penampilannya di Oculus dan selanjutnya di The Giver yang diantisipasi banyak
pihak.
Tak
ketinggalan pula penampilan trio pixy: Flittle (Lesley Manville), Knotgrass
(Imelda Staunton), dan Thistletwit (Juno Temple) yang berhasil memberikan
kesegaran tersendiri dengan tingkah komikalnya yang menggelitik.
Technical
Meski banyak
bagian yang terasa nuansa gothic-nya, namun Maleficent
tak mau tenggelam terlalu dalam dengan desain produksi ala Tim Burton seperti
yang ditunjukkan di Alice in Wonderland.
Masih bercirikan khas dongeng fantasi ala Disney seperti yang terlihat pada
desain karakter, desain setting, serta kostum. Catatan khusus untuk tone warna
yang terasa natural atau malah saturasi sedikit rendah untuk memberi kesan
nyata. Berbeda dengan trend film fantasi era digital yang mana berlomba-lomba
menampilkan warna-warna kontras setajam mungkin.
Apresiasi
juga perlu diberikan kepada divisi sound effect yang dengan begitu detail
memberikan efek-efek suara, termasuk efek surround bahkan pada adegan-adegan
detail seperti sayap Maleficent atau pixies yang melesat, juga pada dialog.
Terakhir,
James Newton Howard yang memang sudah berpengalaman puluhan tahun, sekali lagi
menggubah score yang sangat khas Disney, pun juga sangat mendukung emosi setiap
manis-pahit adegan. Love it a lot. Tak ketinggalan theme song Once Upon a Dream yang dibawakan Lana Del
Rey dengan sentuhan eerie.
The Essence
When you don’t
believe in true love, it might be yourself who can prove that it does exist.
They who
will enjoy this the most
- Penggemar fairy tale dan film fantasi
- Penggemar dongeng princess
- Penonton yang berpikiran modern tentang konsep kasih sayang
- General audiences who seek for light yet exciting entertainment
The 87th Annual Academy Awrads nominee(s) for
- Best Achievement in Costume Design