3.5/5
Drama
Family
Hollywood
Horror
Investigation
Mystery
Psychological
The Jose Movie Review
Thriller
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Oculus
Overview
Beberapa
tahun belakangan genre horor semakin jarang muncul, terutama dari Hollywood.
Paling-paling hanya ketika Halloween saja baru bermunculan. Tahun lalu saja
bisa dihitung dengan jari yang benar-benar memorable. Dua di antaranya berasal
dari James Wan yang sukses besar dengan The
Conjuring dan Insidious: Chapter 2.
Namun keduanya bagi saya masih tergolong “biasa” meski harus diakui bagus dalam
berbagai aspeknya. Yang sangat “mengganggu” saya hingga kini sebenarnya adalah Sinister yang rilis 2012 lalu. Formula horornya
yang lebih memainkan aspek psikologis melalui fantasi, bukan hanya sekedar
penampakan atau eerie score, berhasil mengusik pikiran saya untuk jangka waktu
yangcukup lama. Tentu saja tidak semua penonton menyukai film horor seperti
ini, tapi pendekatan serupa sebenarnya tergolong jarang digunakan. Salah
satunya yang saya temukan lagi adalah Oculus.
Meski
mungkin efek traumatis dari Oculus
tidak sekuat ketika saya menyaksikan Sinister,
tapi ia punya pesonanya sendiri. Di awal-awal ketika memperkenalkan karakter
dan sosok misterius dari cermin terkutu yang menjadi objek horor di sini, Oculus memang berjalan agak membosankan.
Lebih terasa seperti kisah misteri ketimbang aroma horornya. Namun
perlahan-lahan cerita bergerak menjadi semakin menegangkan dan mengerikan
ketika penonton (dan tentu saja karakter-karakter utamanya, Kaylie dan Tim) tak
lagi bisa menebak mana yang nyata dan mana yang merupakan manipulasi dari
cermin terkutuk tersebut.
Cerita
semakin menarik karena mencampur-adukkan adegan flashback ketika Kaylie dan Tim
masih kecil, dengan masa kini yang berjalan back and forth. Penonton bisa jadi
sedikit kebingungan, namun pada akhirnya tak sampai membiaskan cerita. Selain
mampu menjelaskan kejadian di masa lalu dengan efektif, pencampuran adegan ini
dirangkai sedemikian rupa sehingga terasa berhubungan secara langsung antara
masa lalu dan masa kini, atau bisa jadi membuat penonton menduga bahwa yang
ditampilkan di layar adalah imajinasi yang diciptakan oleh si cermin. Terserah
bagaimana persepsi Anda sebagai penonton, yang pasti kesemuanya semakin
menambah ketegangan serta kengerian selama durasi berjalan. Selain tentu saja
rasa penasaran dengan apa yang sebenarnya dan akan terjadi kemudian.
At the end, Oculus adalah tipikal horor yang membuat
penontonnya terdiam karena feel bad dan disturbed for what’s happened to the
characters saat credit title mulai berjalan. Bukan karena adegan penampakan
(yang meski tetap ada, tetapi bukanlah sumber kengerian yang utama), bukan
karena adegan slasher atau gore, tetapi akibat dari permainan fantasi yang
diciptakan sepanjang film dan rasa simpati penonton kepada karakter-karakter
utamanya.
So Oculus memang bisa jadi menegangkan dan
mengerikan bagi penonton yang menyukai tipe horor seperti ini. Secara objektif,
ia juga menawarkan pendekatan yang cukup fresh dalam bercerita maupun mengembangkan
nuansa horornya. Pretty impressive.
The Casts
Dua bintang
utamanya, Karen Gillan dan Brenton Thwaites memang belum begitu dikenal
sebelumnya. Namun permainan serta chemistry keduanya terasa pas. Karen Gillan
sebelumnya kita kenal lewat serial Doctor
Who, tampil memukau. Dengan wajah yang khas dan kharisma aktingnya, bukan
tidak mungkin karirnya akan terus menanjak. Sementara Brenton jelas sudah punya
karir ke depan yang bagus. Selain di sini, ia juga baru saja kita lihat sebagai
Prince Phillip di Maleficent, dan
siap-siap di The Giver bersama Meryl
Streep dan Alexander Skarsgård, yang diantisipasi sejak lama.
Meski
demikian, yang paling mencuri perhatian sepanjang durasi adalah aktor-aktris
cilik, Annalise Basso dan Garrett Ryan sebagai Kaylie dan Tim kecil. Kalau mau
ditilik dari segi cerita, mereka berdualah yang mendapatkan traumatik paling
dalam secara langsung, dan hebatnya, keduanya berhasil mengekspresikannya
secara maksimal. Sekedar catatan, Garrett Ryan sebelumnya pernah tampil juga di
Insidious: Chapter 2 sebagai Josh
cilik.
Technical
Editing yang
dipegang oleh sang penulis naskah sekaligus sutradara sendiri, Mike Flanagan, memegang
peranan yang paling penting dalam menjaga ketegangan dan kontinuitas cerita
dengan baik. Adegan back and forth pada akhirnya tidak menjadi sesuatu yang
membingungkan, justru menjadi senjata yang ampuh untuk membangun ketegangan.
Ditambah sinematografi yang indah sekaligus efektif oleh Michael Fimognari dan
production design dari Russell Barnes yang menambah suasana ngeri.
Tata suara
terdengar pas untuk menyampaikan suasana menegangkan dan mengerikannya. Tentu
saja score dari The Newton Brothers yang cukup mendukung nuansa seram, meski
tak se-disturbing score Insidious:
Chapter 2.
The Essence
The best way
to handle something we don’t know how to handle at all, is to stay away with
it. Tidak ada gunanya berusaha membalasnya, meski dengan tujuan menjaga
kehormatan.
They who will enjoy this the most
- Penonton penyuka horor yang dibangun melalui teror psikologis
- Pecinta kisah-kisah misteri