3.5/5
Asia
battle of sexes
Comedy
Indonesia
mature relationship
Pop-Corn Movie
Romance
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Mars Met Venus
[Part Cowo]
Setelah beberapa minggu sebelumnya Mars Met Venus: Part Cewe (PCe) dirilis
dan ternyata mendapat sambutan penonton yang sangat baik (sudah melewati angka
200 ribu penonton di minggu ketiga penayangannya!), giliran Part Cowo (PCo) mencoba menyajikan
perspektif berbeda dari materi cerita yang sama.
Setelah menjalani hubungan yang cukup lama (sejak tahun pertama
perkuliahan), Kelvin yang calon arsitek berniat untuk melamar kekasihnya, Mila.
Maka ia berniat membuat sebuah rangkaian vlog berisi interview yang meruntut
perjalanan hubungan mereka selama ini dengan bantuan Lukman sebagai sang
interviewer. Proses pembuatan vlog ini justru membuka banyak miskonsepsi yang
terjadi di antara mereka berdua hingga menyadari bahwa selama ini mereka punya
banyak perbedaan dan terjadi kesalah-pahaman. Dengan dukungan dan ‘nasehat-nasehat’ dari para sahabatnya;
Reza, Bobby, Martin, dan Steve, Kelvin tak pernah patah arang untuk terus
meyakinkan bahwa mereka masih layak untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi setelah perjalanan yang telah mereka lalui bersama.
Meski melakukan cukup banyak pengulangan adegan dari PCe, tampaknya
PCo cukup cermat memilih part-part terpenting sekedar untuk mengingatkan
penonton sebelum menjelaskan apa yang melatari, sebelum maupun sesudah,
kejadian-kejadian tersebut. PCo menyematkan begitu banyak pembahasan yang
berbobot, cerdas, sekaligus menggelitik khas kaum pria tentang menghadapi (baca:
memahami) wanita, termasuk analogi mie ayam yang menjadi highlight. Bahkan jauh
dari kesan seksis yang sebenarnya merendahkan kaum wanita seperti yang justru
digambarkan secara langsung oleh karakter-karakter wanita di PCe. Komedi-komedi
yang terbentuk dari chemistry antara Ge Pamungkas dan geng cowoknya pun terasa
lebih natural dan sesuai konteks.
Ada beberapa adegan pengulangan yang lebih pendek, tak sedetail di
PCe, misalnya adegan ketika Kelvin menembak Mila dengan gangguan tukang sate
Padang. Sekilas ini seperti sebuah inkonsistensi. Namun jika melihat konteksnya
sebagai flashback atau visualisasi dari sudut pandang penceritaan, ini justru
memperkuat konsep perbedaan sudut pandang antara cowok dan cewek. Yang mana
kaum cowok cenderung mengingat inti-inti terpenting dari sebuah kejadian,
sementara kaum cewek mengingat tiap detail dari sebuah kejadian.
Dengan penyusunan adegan dari Yoga Krispratama yang runtut antara
tiap kejadian dengan latar belakangnya, struktur PCo menjadi jauh lebih koheren
untuk dinikmati sekaligus dipahami sebagai satu kemasan yang utuh. Apalagi
momentum-momentum emosional yang dihadirkan di PCo terasa lebih pas untuk
berhasil menggerakkan maupun membuat penonton bersimpati terhadap
karakter-karakternya. Masih ditambah pula theme song Dulu, Kini, dan Nanti (di versi ini dibawakan oleh Adis Putra),
yang cukup memperkuat adegan-adegan terpentingnya.
Tak hanya karakter komedik yang menjadi satu-satunya ‘penyelamat’ dari PCe, Ge Pamungkas
di sini punya momen emosional yang ternyata mampu dibawakannya dengan sangat
natural dan serius. Jauh dari kesan komedik seperti yang sudah menjadi
image-nya selama ini. Penampilan geng cowok pun masing-masing punya
karakteristik yang lebih jelas dan memorable ketimbang di PCe. Reza Nangin,
Ibob Tarigan, Martin Anugrah, dan Steve Pattinama cukup membuktikan bahwa
karakter masing-masing (yang mereka ciptakan) memang harus diperankan oleh
mereka sendiri. Dari geng cewek, Pamela Bowie yang porsinya masih cukup banyak
masih terlihat konsisten dari PCe. Sementara Ria Ricis (Icha) dan Rani
Ramadhany (Malia), untungnya, hanya tampil di beberapa momen yang sekedar untuk menjaga konsistensi
adegan seperlunya. Terakhir yang tak kalah penting, Lukman Sardi akhirnya
membuka identitas dirinya setelah selama ini hanya berupa voice over
pewawancara dengan nama Wisnu Adji Hidayat di credit PCe.
Jika mau dianalisis lebih jauh, PCo sebenarnya lebih dari cukup
dalam menyampaikan poin-poin konsep battle of sexes yang ingin disodorkan MMV.
Pun punya keseimbangan dan korelasi kuat antara pembahasan topik secara
berbobot dengan jokes-nya. Konsep MMV sebenarnya sudah cukup kuat lewat PCo
saja. Sayang, PCo masih terasa punya missing link yang terjelaskan di PCe.
Idealnya sama seperti yang terjadi pada The
Disappearance of Eleanor Rigby (yang juga membagi film menjadi dua bagian; Him dan Her, tapi akhirnya dirilis juga menjadi satu film utuh, Them), MMV bisa saja menjadi sajian
terbaik lewat satu film saja yang menggabungkan beberapa missing link dari PCe
ke dalam PCo. But well, dengan pendapatan PCe yang tergolong sukses,
dilanjutkan PCo yang ternyata secara kualitas lebih baik (sehingga seharusnya
bisa mengumpulkan penonton yang lebih banyak, atau setidaknya setara PCe),
berarti trik pembagian menjadi dua film ini adalah sebuah kesuksesan,
setidaknya secara finansial. Wait, siapa tahu nanti memang ada rencana untuk
merilis MMV versi gabungan dalam satu film seperti yang pernah dilakukan 99 Cahaya di Langit Eropa?
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.