The Jose Flash Review
The Dark Tower

Nama Stephen King sebagai penulis novel misteri, horor, dan supranatural sudah menjadi legenda sejak lama. Ratusan karya tulisnya sudah diangkat ke layar lebar, termasuk Carrie, The Shining, Pet Sematary, Misery, The Shawshank Redemption, dan The Green Mile yang sudah menjadi penghuni banya daftar film terbaik sepanjang masa. Karya terbarunya yang diangkat ke layar lebar, The Dark Tower (TDT), merupakan novel berseri yang sudah mencapai 8 jilid sejak 1982 hingga 2012. Rencana adaptasi ke layar lebar sudah digagas sejak 2007 dengan melibatkan nama-nama populer seperti J. J. Abrams, Ron Howard, hingga akhirnya jatuh ke tangan sutradara Denmark, Nikolaj Arcel (penulis naskah adaptasiThe Girl with the Dragon Tattoo versi Swedia yang pernah menjadi sutradara A Royal Affair). Tak hanya franchise di layar lebar, tapi sudah dipersiapkan pula serial TV di bawah produser Glen Mazzara yang akan menjadi backstory sementara versi layar lebar merupakan sekuel dari kedelapan seri novelnya dan dijadwalkan tayang mulai tahun 2018, masih dengan mengusung aktor Idris Elba dan Tom Taylor di lini terdepan. Mendapatkan sebagian besar kritik negatif, TDT ternyata masih mampu menghasilkan US$ 71.8 juta di seluruh dunia hingga 20 Agustus 2017 (menurut data Box Office Mojo) dari budget US$ 60 juta. Setidaknya memperkenalkan universe baru dengan memadukan koboi western dan fantasi sci-fi, TDT masih punya daya tarik untuk dialami di layar lebar.

Jake Chambers, remaja yang berusia 11 tahun kerap mengalami mimpi buruk yang melibatkan pria misterius berpakaian serba hitam berjuluk Man in Black, pria ahli tembak berjuluk Gunslinger, dan Menara yang bisa menghancurkan dunia jika sampai runtuh. Mimpi buruk selalu disertai gempa bumi di kehidupan nyata ketika Jake terbangun. Sang ibu, Laurie, dan ayah tirinya, Lon, khawatir dengan kondisi Jake hingga menghubungi psikiater. Ketika hendak dijemput, Jake melarikan diri karena mencurigai petugas psikiater sebagai anak buah Man in Black yang berkulit palsu. Jake kemudian mencari sebuah rumah yang ada dalam mimpinya dan mendapati portal menuju Mid-World dimana ia akhirnya bertemu Sang Gunslinger, Roland Deschain. Menurut Gunslinger, Jake adalah anak dengan kemampuan pikiran yang bisa menghancurkan Menara dengan mudah. Akibatnya, bumi pun bisa hancur. Tak heran jika kemudian Jake menjadi incaran Walter Padick, Sang Man in Black yang memang berniat menghancurkan dunia. Tak hanya di Mid-World, kejar-kejaran pun terjadi di dunia nyata dan Walter mengancam nyawa orang tua Jake. Roland yang sempat patah arang sebagai Gunslinger karena kematian sang ayah akhirnya menemukan kesempatan untuk membalas dendam kepada Walter sekaligus menyelamatkan dunia dari kehancuran.
Meski tergolong bangunan universe baru di layar lebar bagi penonton umum, premise yang ditawarkan TDT sebenarnya bukanlah sesuatu yang benar-benar baru dan termasuk mudah dipahami. Bahkan bagi beberapa penonton, terlalu generik dan formulaic hingga tak lagi punya daya tarik. Namun jika Anda masih tertarik dan mengharapkan menemukan sesuatu yang menarik, TDT sebenarnya tak buruk-buruk amat. Meski sangat generik dan formulaic, plotnya bergulir dengan runtutan yang tertata jelas. Bahkan masih ada cukup banyak adegan aksi yang cukup inventif dan asyik untuk dinikmati. Sayangnya secara keseluruhan TDT punya nuansa yang sedikit kelewat gelap dan kurang energetik sebagai sajian aksi-petualangan. Bahkan guliran dialog yang adapun terkesan kurang punya tek-tok yang dinamis. Tak sampai tenggelam dalam atmosfer yang terlalu depresif, tapi tetap saja energi aksi-petualangannya masih terasa amat sangat lemah. Apalagi desain kedua karakter utama, Jake dan Roland, yang mungkin masih dibawakan dengan cukup baik oleh Idris Elba dan Tom Taylor, tapi sengaja dibuat sama-sama ‘muram’ dengan nasib malang masing-masing, semakin membuat mood secara keseluruhan film menjadi kian muram durjana. Upaya memasukkan referensi-referensi universe karya Stephen King lainnya, seperti The Shining, Christine, Misery, The Shawshank Redemption, Carrie, dan It yang sebenarnya menarik tapi hanya disadari oleh penggemar setia King yang harus diakui, sangat segmented apalagi bagi penonton Indonesia.
Selain Elba dan Taylor yang mendapatkan porsi terbesar, Matthew McConaughey sesungguhnya tampil tak mengecewakan berkat kharismanya yang masih terpancar kuat, dalam mengisi peran villain sekalipun. Claudia Kim sebagai Arra dan Katheryn Winnick menjadi pencuri perhatian berkat tampilan fisik dan kharisma yang terpancar di balik porsi peran yang tak begitu banyak dan di antara jajaran cast yang sorry to say, kurang menarik.
Teknis TDT pun sekedar cukup suportif dalam membangun nuansa keseluruhan film. Seperti sinematografi Rasmus Videbæk yang sekedar layak dalam membuat bangunan universe-nya cukup sinematis dan menyampaikan gelaran plotnya secara efektif. Editing Alan Edward Bell dan Dan Zimmerman pun tak mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam menaikkan laju keseluruhan plot yang kurang bertenaga, selain adegan-adegan aksi yang punya momentum cukup tajam dalam menciptakan sedikit excitement. Musik Tom Holkenborg juga tak ada yang cukup catchy untuk diingat selain sekedar mendukung pembangunan atmosfer film secara sinematis. Sound design dan sound mixing menjadi satu-satunya yang impresif bagi saya. Terdengar powerful dan dengan pembagian kanal surround yang tertata baik serta serba seimbang. 
Sebagai pembuka sebuah franchise baru, TDT memang bukanlah sajian yang buruk. Hanya saja masih terasa sangat lemah untuk mampu membuat penonton tertarik mengikutinya lebih lanjut. Ada cukup banyak PR yang harus ditingkatkan di installment-installment berikutnya (jika kemudian tak dibatalkan karena hasil box office-nya yang hanya untung sedikit dan resepsi negatif dari para kritikus). Mungkin serialnya bisa memberikan percikan lebih. Lagi-lagi, dengan catatan jika tak dibatalkan di kemudian hari. 
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.