The Jose Flash Review
The Battleship Island
[군함도]

Perang Dunia II adalah peristiwa sejarah dunia yang bisa dikatakan terbesar hingga saat ini. Tentu ada banyak kisah yang bisa diangkat, baik dari sudut pandang tokoh-tokoh populer yang punya pengaruh besar terhadap arah sejarah maupun manusia-manusia biasa dengan kesederhanaannya. Tak hanya dari sudut pandang Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan negara-negara anggota lainnya), Jerman, ataupun Jepang yang memang menjadi negara-negara pion utama dari PD II, tapi juga negara-negara lain yang menjadi ‘korban’. Terutama di Asia; Cina dan Korea. Sinema Korea Selatan yang sudah semakin mumpuni, bahkan semakin lama semaki ambisius, akhirnya ikut meramaikan ‘bursa’ PD II lewat salah satu era kelam dalam sejarah Korea; 400 orang Korea yang dijanjikan kehidupan yang lebih baik ternyata dikirim ke Pulau Hashima dan dipaksa bekerja sebagai buruh pertambangan batu bara milik Jepang. 

Ditulis dan disutradarai oleh Ryoo Seung-wan (The City of Violence, The Berlin File, dan Veteran), film survival epik ini menggamit nama aktor-aktris populer untuk menambah daya tariknya. Mulai aktor watak, Hwang Jung-min (Ode to My Father, Veteran, The Himalayas, dan The Wailing), aktor muda yang populer berkat A Werewolf Boy dan serial Descendants of the Sun, Song Joong-ki, So Ji-sub, Lee Jung-hyun, hingga gadis cilik yang pernah sukses membuat kita meleleh di Train to Busan, Kim Su-an. Namun tentu saja daya tarik utamanya terletak pada ambisi keepikan film bertajuk The Battleship Island (TBI) ini yang sampai membangun set sebesar 2/3 ukuran asli Pulau Hashima dengan budget total US$ 21 juta atau sekitar lima kali dari budget rata-rata produksi film Korea Selatan pada umumnya. Hasilnya pun tak mengecewakan. TBI sukses dinobatkan Korean Film Council sebagai pemecah rekor baru penonton terbanyak di hari pertama tayang, yaitu sebanyak 970.516 penonton. Penonton di Indonesia sudah bisa ikut menyaksikan kemegahannya di bioskop mulai 16 Agustus 2017. Tak hanya di format 2D biasa, tapi juga 4DX dan format termutakhir, Screen X.
Di masa PD II, Jepang menguasai sebagian besar wilayah Asia, termasuk Korea. Kondisi yang depresif dan tampak tanpa harapan membuat beberapa warga Korea tergoda untuk pindah ke wilayah yang lebih aman demi hidup yang diharapkan lebih baik. Salah satunya adalah seorang ayah tunggal, Gang-ok yang berprofesi sebagai pemimpin group band music jazz, dan putrinya yang masih berusia 8 tahun, So-hee. Alih-alih dipindahkan ke tempat yang lebih baik, sekitar 400 orang Korea malah dibawa ke Pulau Hashima dan dipaksa bekerja sebagai buruh pertambangan batu bara dengan upah yang dipotong banyak keperluan selama mereka tinggal di pulau tersebut. Beruntung bakat Gang-ok menarik hati salah satu petinggi Jepang sehingga nasibnya bisa sedikit lebih baik. Namun ia harus terpisah dari So-hee yang dikirim ke fasilitas pemuas hasrat bersama wanita-wanita lainnya.
Kisah Gang-ok bersinggungan dengan mantan bos mafia di Kyungsung, Choi Chil-sung yang bersikap bossy di antara orang-orang Korea di Pulau Hashima. Ada pula Park Moo-young dari kelompok kemerdekaan Korea yang ternyata punya misi membebaskan salah satu anggota tetua kelompok yang berada di dalam pemukiman mereka, Yoon Hak-chul. Moo-young meminta bantuan Gang-ok yang punya akses ke petinggi Jepang untuk melarikan diri. Gang-ok setuju dengan syarat dirinya dan sang putri ikut bersama mereka. Pengkhianatan demi pengkhianatan terjadi sampai dipertemukan di satu titik untuk kabur bersama-sama. Tentu mereka harus pula bersama-sama menghadapi para petinggi Jepang dan pasukannya yang terkenal kejam untuk bisa merengkuh kebebasan.
Tak ada treatment yang lebih efektif dalam menyampaikan kisah berlatar perang selain sisi humanity dan thriller yang intens serta mencekam. TBI pun masih mengandalkan dua formula teresensial di genre war ini, meski ia sebenarnya lebih cocok digolongkan sebagai survival ketimbang pure war. Dari desain karakter-karakter yang ada, Seung-wan tampak tahu betul cara ‘menyentuh’ penonton meski lewat karakter maupun kisah-kisah fiktif. Formula yang sudah dipakai berulang-ulang di genrenya tapi kerap berhasil. Begitu juga penokohan ayah tunggal, Gang-ok dan putrinya, So-hee, yang menjadi highlight utama sekaligus porsi terbesar. Sosok Gang-ok sedikit mengingatkan saya akan sosok Guido di La vie est Belle atau Life is Beautiful meski porsi sisi comedic (ironically)-nya tak sebanyak dan sekental Guido. Namun bukan berarti sosok Gang-ok tak cukup mengundang simpati sekaligus punya sisi menghibur. Ia tetap berhasil menjadi highlight utama sepanjang film sebagaimana fungsinya. Apalagi chemistry yang dibangunnya bersama So-hee terasa begitu hangat. 
Karakter Moo-young dan Hak-chul agaknya sengaja untuk tak diberi porsi emosional lebih untuk menjaga fokus ke Gang-ok dan So-hee. Namun bukan berarti keduanya tak punya andil penting dalam cerita. Part mereka justru memegang peranan penting dalam membangun klimaksnya sekaligus menyampaikan poin dilematis tentang nasionalisme. Hak-chul sempat punya argumen masuk akal dari tuduhan Moo-young, yang membuat penonton tak serta-merta menjatuhkan judgement begitu saja. Sementara karakter Chil-sung dan Mal-Nyeon terasa sekali punya porsi yang paling sedikit, tapi ditebus dengan peran sumbangsih sisi manis pun romantis di menjelang penghujung film.
Ketiga ‘pasang’ karakter tersebut dibuat bersinggungan dengan korelasi yang terjalin dengan baik secara plot-wise. Ada sisi manusiawi pula yang membuat kesemua karakter sentralnya tak sepenuhnya putih atau hitam. Atas nama penyelamatan diri yang menjadi tujuan utama setiap karakter utama, ini jelas sangat manusiawi dan membuat penonton berpikir untuk mepertimbangkan aspek moralitas masing-masing karakter. Tak ketinggalan pula elemen thriller yang begitu intens dan gripping. Mulai yang bersifat klaustrofobik, heist, hingga disaster, dengan porsi yang tergolong seimbang. In the end, investasi karakter maupun koneksi antar-karakternya mencapai titik emosional yang memuncak dan tentu saja, victorious. 
Hwang Jung-min jelas pilihan paling tepat dalam menghidupkan karakter Gang-ok. Dengan mudah ia memikat simpati penonton, baik lewat kehangatan chemistry yang dibangun bersama Kim Su-an maupun gesture yang masih mampu mengundang tawa sekaligus terharu. Kepiawaian Kim Su-an dalam memainkan peran pengais simpati penonton sudah tak perlu diragukan lagi. Sekali lagi ia membuat karakter So-hee dengan mudahnya memancing iba sekaligus tawa dengan tingkahnya. Part terfavorit dan paling menyentuh sepanjang film adalah berkat penampilannya. Song Joong-ki sebagai Moo-young di luar dugaan ternyata punya porsi yang cukup penting dan dibawakan dengan kharisma yang cukup kuat pula. Begitu juga Lee Kyoung-young yang juga menampilkan kharisma kuat dengan dilematis sisi hitam-putih yang sempat berhasil memanipulasi di balik porsi peran Hak-chul yang sejatinya tak begitu banyak. So Ji-sub dan cukup convincing sebagai sosok keras dan beringas, Chil-sung. Pun juga menampilkan sisi hearty yang seimbang. Chemistry yang dibangunnya bersama Lee Jung-hyun sebagai Mal-nyeon tergolong singkat tapi punya kesan yang kuat dan cukup mendalam.
Dengan ambisi yang besar, TBI tak mau kompromi di lini-lini teknis utamanya. Sinematografi Lee Mo-gae mengeksplorasi bangunan setting dengan maksimal tanpa mengesampingkan tiap momen emosional dan patriotik secara sinematis. Camera work berhasil membangun ketegangan (apalagi dalam menangani koreografi-koreografi perkelahian yang membuatnya terlihat lebih berbahaya) sekaligus memberi kesan kemegahan set dengan beberapa komposisi perfect shot. Format Screen X menawarkan feel lebih di begitu banyak adegan, terutama aerial shot, exterior set, dan ruang sempit terowongan pertambangan batu bara. Adegan favorit saya dengan format Screen X adalah ketika semua orang Korea di pemukiman berkumpul. Sulit untuk tak ikut larut dalam suasana haru sekaligus bangga ketika dikelilingi orang yang membawa cahaya terang lilin. 
Editing Kim Sang-bum dan Kim Jae-bum menjaga keseimbangan tiap momen dan tiap elemen menjadi satu rangkaian yang solid dengan momentum-momentum emosional yang pas pula. Membuat durasi 132 menit tak terasa terlewatkan karena keasyikan mengikuti tiap jalinan plotnya yang berjalan lancar. Musical score Bang Jun-suk mendukung nuansa epik, intensitas thriller, sekaligus emosional. Termasuk penggunaan nomor klasik The Ecstasy of Gold dari Ennio Morricone di klimaks yang memperkuat feel victorious. Sound secara keseluruhan terdengar sangat powerful dengan pembagian kanal surround yang termanfaatkan maksimal dalam memberi kesan kedalaman ruang.
TBI tak terbantahkan lagi menjadi salah satu film epik Korea Selatan terbaik, bahkan tak salah jika ada yang menyebutnya film Korea Selatan terbaik sepanjang masa hingga saat ini. Pendekatan treatment-nya memang sudah sering digunakan di genre war maupun survival, tapi tetap berhasil menggapai tujuannya secara maksimal dengan keseimbangan yang terjaga baik. Dengan experience Screen X yang benar-benar menempatkan penonton di tengah-tengah adegan film secara harafiah, jelas menjadi pengalaman sinematik yang tak terlupakan. 
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.