3.5/5
Based on a True Event
Based on an Urban Legend
Family
Hollywood
Horror
Indie
Pop-Corn Movie
sibling
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Amityville: The Awakening
Salah satu kasus pembunuhan paling populer yang diwarnai unsur supranatural adalah Ronald DeFeo, Jr yang menghabisi enam anggota keluarganya di kawasan Amityville, pantai Selatan Long Island, New York, pada 1974 lalu. Keluarga yang kemudian tinggal di rumah bekas TKP mengaku mendapat gangguan paranormal dan memutuskan pindah. Kisah ini menginspirasi Jay Anson untuk mengangkatnya ke sebuah buku berjudul The Amityville Horror pada tahun 1977 dan kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul sama pada 1979 yang sampai menjadi nominee Oscar untuk kategori Best Original Score. Diikuti sekuel berjudul Amityville II: The Possession pada 1982, satu film berformat 3D pada 1983, enam film video dan TV, serta remake pada tahun 2005 dengan bintang Ryan Reynolds dan Chloë Grace Moretz. Meski menggunakan template yang kurang lebih sama dan belum sebesar franchise horor raksasa lainnya, Amityville sudah menjelma menjadi nama yang sudah punya brand kengeriannya sendiri. Upaya mempertahankan franchise ini sudah dipersiapkan Dimension Films dan Miramax dengan konsep found footage berjudul Amityville: The Lost Tapes sejak 2011. Namun banyak faktor yang membuat proyek ini terus mengalami penundaan hingga diputuskan menyusun ulang konsep yang benar-benar baru sejak 2014. Lagi-lagi proyek bertajuk Amityville: The Awakening (ATA) ini mengalami jalan terjal hingga melakukan pengambilan gambar ulang pada 2016 dan jadwal rilisnya terus mengalami penundaan. Beruntung kita di Indonesia mendapatkan kesempatan menyaksikannya di layar lebar sebelum di Amerika Serikat yang bahkan sampai tulisan ini dibuat belum menentukan jadwal pasti. Padahal ATA punya punya daya tarik dari jajaran cast yang meliputi Bella Thorne (Blended, The DUFF, serta serial Scream), Cameron Monaghan (Vampire Academy, The Giver, serta serial Gotham), dan Jennifer Jason Leigh (The Hateful Eight). Penulis naskah dan sutradaranya pun punya track record yang cukup baik di genrenya, terutama P2 (2007).
Belle, adiknya yang masih kecil, Juliet, sang ibu tunggal, Joan, dan saudara kembar laki-lakinya yang sedang terbaring koma, James, baru pindah ke rumah yang terkenal karena kasus pembunuhan Amityville. Informasi ini baru didapat dari satu-satunya orang yang mau berkomunikasi dengannya di sekolah barunya, Terrence. Tak lama semenjak pindah, James mulai mengalami perkembangan kesadaran. Joan menyambut baik perkembangan ini sementara Belle punya perasaan bahwa yang ada pada raga James bukanlah saudara kembarnya selama ini. Benar saja, perlahan James menunjukkan gejala keganjilan. Belle berada pada dilema untuk bertindak apa yang ia tahu dan mengancam nyawa keluarganya atau membahagiakan Joan yang percaya seratus persen bahwa James memang sudah sadar.
Meski selalu berhasil menghadirkan atmosfer horor yang bikin merinding, apa yang ditawarkan installment-installment sebelumnya sebenarnya tak mengalami pengembangan ataupun perubahan banyak selain apa yang sudah menjadi basic formula. ATA hadir menawarkan variasi konsep cerita yang menarik, dilematis, dan punya relevansi terhadap basic formulanya dengan sangat baik. Siapa saja tentu merasakan dilematis yang luar biasa ketika ada anggota keluarga kesayangan yang antara dikuasai kuasa kegelapan dan harapan hidup. Apalagi Bella Thorne sebagai Belle dan Jennifer Jason Leigh sebagai Joan menampilkannya dengan emosi yang mengundang simpati. Sementara untuk tujuan horornya, sutradara Franck Khalfoun menghadirkan pembangungan atmosfer kengerian dan jumpscare yang efektif memicu adrenaline penonton. Pun juga penampilan Cameron Monaghan yang sering menghadirkan kengerian tersendiri.
Keberhasilan bangunan atmosfer horor dan gelaran jumpscare tak lepas dari dukungan sinematografi Steven Poster yang tau betul bagaimana memanfaatkan tata kamera yang sederhana tapi cukup impactful. Editing Patrick McMahon turut mendukung dengan timing-timing yang pas, termasuk menjaga pace sepanjang film dengan pengembangan yang sebenarnya tak terlalu banyak. Terakhir, tentu musik dari Robin Coudert yang makin mendukung pembangunan atmosfer horror-nya lewat permainan suara-suara stirring dan sesekali terdengar hardcore.
ATA memang tergolong proyek berbudget kecil dan memanfaatkan brand yang sudah punya reputasi baik. Namun ternyata Khalfoun mampu memaksimalkan apa yang sudah ada menjadi sajian horror yang berhasil mencekam dan memicu adrenaline penonton. Saya merekomendasikannya bagi Anda penggemar horror.