2.5/5
Arthouse
Comedy
Drama
Indonesia
Personality
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Melancholy is a Movement
Sebagai salah satu sineas
Indonesia yang (talk-)active di sosial media, siapa saja bisa dengan mudah
mengenali kepribadian seorang Joko Anwar. Termasuk juga mengenal siapa saja
yang berada di circle pertemanannya. Mulai Upi (sutradara Realita, Cinta, Rock n Roll, Serigala
Terakhir, dan Belenggu), Bubu
alias Nazyra C. Noer (putri aktris senior Jajang C. Noer yang juga sering jadi
pemeran pendukung di banyak film Indonesia), Ario Bayu, Amink, Fachri Albar, Renata
Kusmanto, Karina Salim, Hannah Al Rashid, Lance (sutradara Jakarta Undercover dan Cinta
Silver), sampai HB Naveen (produser Falcon Pictures). Just follow his twitter account, and voila!
Everything’s there. Anda pun bisa dengan mudah memahami carut marut dunia
perfilman Indonesia hanya dari kicauannya. Richard Oh, sineas yang tahun 2006
lalu menelurkan karya layar lebar pertamanya, Koper, merangkum ‘kehidupan’ seorang Joko Anwar ke dalam sebuah
film ‘unik’ bertajuk Melancholy is a
Movement (MiaM).
Tentu saja tidak mentah-mentah
kisah nyata. Berlawanan dengan sosok Joko yang kita kenal selama ini;
talkactive, ceria, dan humoris, Joko di MiaM justru digambarkan sebaliknya; pendiam,
murung, melankoli, dan kaku. Richard membumbui filmnya dengan berbagai kejadian
fiktif dan terkadang juga terkesan metaforik. MiaM sebenarnya lebih merupakan
sketsa yang menyindir berbagai hal (atau sebenarnya hampir semua permasalahan?)
yang terjadi di dunia perfilman Indonesia, dengan jokes-nya yang satire. Mulai
dari isu idealisme vs selera pasar, proses kreatif seorang sineas, trend tema ‘inspiratif’
di sinema kita, proyek yang bisa saja berhenti di tengah-tengah karena masalah
budget maupun ‘rahasia’, sampai film arthouse dengan adegan-adegan statis yang
membuat penonton berpikir ada ‘sesuatu’ yang disebut Joko sebagai ‘deep, deep,
gimana gitu’. Nah, isu yang terakhir inilah yang menarik, karena Richard justru
menggunakan gaya penceritaan dan visualisasi seperti itu untuk MiaM. Tak heran
jika Anda akan menemukan long take sebuah ruangan, padahal karakter Joko sedang
bikin kopi di ruangan lain, atau hanya sekedar melihat Joko kesana kemari
membersihkan ruangan dengan vacuum cleaner. Most of the audience, terutama yang
tidak paham, mungkin akan berpikir MiaM adalah film yang absurd. Sebagian
penonton lain mungkin juga akan berpikir lebih keras untuk ‘menerjemahkan’
adegan itu. As for me, adegan-adegan panjang itu hanyalah untuk menggambarkan
nuansa melankoli dari karakter Joko. That’s why its title was Melancholy is a Movement. Tak perlu
terlalu long take juga sih, tapi ya begitulah ‘gaya’ yang dipilih oleh Richard.
Atau long take ini juga bagian dari sindiran MiaM sehingga terkesan ‘ultimate
mock’? Bisa jadi juga sih.
Richard rupa-rupanya ingin curhat
tentang pengalamannya sebagai seorang sineas di negeri ini. Mungkin juga
Richard ingin menunjukkan bahwa suatu sikap melankoli yang terkesan ‘tidak
ngapa-ngapain’ juga merupakan sebuah gerakan. Setidaknya suatu gerakan kreatif
dari seseorang hingga menghasilkan karya yang diminati banyak penonton, meski
tidak sesuai idealisme sendiri. Setidaknya, begitulah interpretasi saya pribadi
atas film dan juga judul Melancholy is a
Movement.
Tentu saja semua yang ditampilkan
di sini sah-sah saja, namun tidak bisa ditampik bahwa efeknya bakal
sangat-sangat segmented. Berbagai sketsa isu dan jokes menggelitik-nya hanya
bisa dipahami mereka-mereka yang aktif mengikuti perkembangan film Indonesia,
atau setidaknya aktif mengikuti twitter Joko Anwar. MiaM pun tak terlalu peduli
dengan detail cerita, hingga penonton dibiarkan melongo penasaran ada rahasia
apa antara Joko dan Ario Bayu di akhir film. Well, setelah memikirkannya lebih
jauh, saya berkonklusi sia-sia saja mencoba memikirkannya, karena Richard
memang tak berniat untuk menjelaskan ada rahasia apa. Ia mungkin hanya ingin
menunjukkan bahwa suatu proyek bisa saja dihentikan hanya karena hal demikian.
That’s it.
Meski punya beberapa joke menghibur, secara keseluruhan MiaM harus diakui sulit untuk dinikmati, tapi bukan berarti mustahil bisa cukup lama berkesan dalam ingatan. Untung saja sinematografi dari Yunus Pasolang berhasil membingkai tiap adegan (termasuk adegan-adegan statis sekalipun) menjadi gambar-gambar bergerak yang begitu cantik dan indah.
Meski punya beberapa joke menghibur, secara keseluruhan MiaM harus diakui sulit untuk dinikmati, tapi bukan berarti mustahil bisa cukup lama berkesan dalam ingatan. Untung saja sinematografi dari Yunus Pasolang berhasil membingkai tiap adegan (termasuk adegan-adegan statis sekalipun) menjadi gambar-gambar bergerak yang begitu cantik dan indah.
My advice, tak perlu buang-buang
tenaga untuk berusaha menginterpretasi tiap adegannya yang tak jarang ‘ajaib’.
Sebenarnya tak ada yang benar-benar merupakan metafora. Semuanya ditampilkan
apa adanya, dengan bingkai nuansa “melankolis” sebagai kuncinya. Nikmati saja
beberapa joke yang cukup jadi hiburan segar di tengah sunyinya film.
Syukur-syukur kalau Anda tidak sampai ketiduran atau tak tahan ingin walk out lebih
dulu. It’s ok, it is not for everyone anyway. I’m sure Richard understand this
and won’t expect a lot of audience will bother to see and appreciate this.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.