The Jose Flash Review
Melancholy is a Movement

Sebagai salah satu sineas Indonesia yang (talk-)active di sosial media, siapa saja bisa dengan mudah mengenali kepribadian seorang Joko Anwar. Termasuk juga mengenal siapa saja yang berada di circle pertemanannya. Mulai Upi (sutradara Realita, Cinta, Rock n Roll, Serigala Terakhir, dan Belenggu), Bubu alias Nazyra C. Noer (putri aktris senior Jajang C. Noer yang juga sering jadi pemeran pendukung di banyak film Indonesia), Ario Bayu, Amink, Fachri Albar, Renata Kusmanto, Karina Salim, Hannah Al Rashid, Lance (sutradara Jakarta Undercover dan Cinta Silver), sampai HB Naveen (produser Falcon Pictures).  Just follow his twitter account, and voila! Everything’s there. Anda pun bisa dengan mudah memahami carut marut dunia perfilman Indonesia hanya dari kicauannya. Richard Oh, sineas yang tahun 2006 lalu menelurkan karya layar lebar pertamanya, Koper, merangkum ‘kehidupan’ seorang Joko Anwar ke dalam sebuah film ‘unik’ bertajuk Melancholy is a Movement (MiaM).

Tentu saja tidak mentah-mentah kisah nyata. Berlawanan dengan sosok Joko yang kita kenal selama ini; talkactive, ceria, dan humoris, Joko di MiaM justru digambarkan sebaliknya; pendiam, murung, melankoli, dan kaku. Richard membumbui filmnya dengan berbagai kejadian fiktif dan terkadang juga terkesan metaforik. MiaM sebenarnya lebih merupakan sketsa yang menyindir berbagai hal (atau sebenarnya hampir semua permasalahan?) yang terjadi di dunia perfilman Indonesia, dengan jokes-nya yang satire. Mulai dari isu idealisme vs selera pasar, proses kreatif seorang sineas, trend tema ‘inspiratif’ di sinema kita, proyek yang bisa saja berhenti di tengah-tengah karena masalah budget maupun ‘rahasia’, sampai film arthouse dengan adegan-adegan statis yang membuat penonton berpikir ada ‘sesuatu’ yang disebut Joko sebagai ‘deep, deep, gimana gitu’. Nah, isu yang terakhir inilah yang menarik, karena Richard justru menggunakan gaya penceritaan dan visualisasi seperti itu untuk MiaM. Tak heran jika Anda akan menemukan long take sebuah ruangan, padahal karakter Joko sedang bikin kopi di ruangan lain, atau hanya sekedar melihat Joko kesana kemari membersihkan ruangan dengan vacuum cleaner. Most of the audience, terutama yang tidak paham, mungkin akan berpikir MiaM adalah film yang absurd. Sebagian penonton lain mungkin juga akan berpikir lebih keras untuk ‘menerjemahkan’ adegan itu. As for me, adegan-adegan panjang itu hanyalah untuk menggambarkan nuansa melankoli dari karakter Joko. That’s why its title was Melancholy is a Movement. Tak perlu terlalu long take juga sih, tapi ya begitulah ‘gaya’ yang dipilih oleh Richard. Atau long take ini juga bagian dari sindiran MiaM sehingga terkesan ‘ultimate mock’? Bisa jadi juga sih.

Richard rupa-rupanya ingin curhat tentang pengalamannya sebagai seorang sineas di negeri ini. Mungkin juga Richard ingin menunjukkan bahwa suatu sikap melankoli yang terkesan ‘tidak ngapa-ngapain’ juga merupakan sebuah gerakan. Setidaknya suatu gerakan kreatif dari seseorang hingga menghasilkan karya yang diminati banyak penonton, meski tidak sesuai idealisme sendiri. Setidaknya, begitulah interpretasi saya pribadi atas film dan juga judul Melancholy is a Movement.

Tentu saja semua yang ditampilkan di sini sah-sah saja, namun tidak bisa ditampik bahwa efeknya bakal sangat-sangat segmented. Berbagai sketsa isu dan jokes menggelitik-nya hanya bisa dipahami mereka-mereka yang aktif mengikuti perkembangan film Indonesia, atau setidaknya aktif mengikuti twitter Joko Anwar. MiaM pun tak terlalu peduli dengan detail cerita, hingga penonton dibiarkan melongo penasaran ada rahasia apa antara Joko dan Ario Bayu di akhir film. Well, setelah memikirkannya lebih jauh, saya berkonklusi sia-sia saja mencoba memikirkannya, karena Richard memang tak berniat untuk menjelaskan ada rahasia apa. Ia mungkin hanya ingin menunjukkan bahwa suatu proyek bisa saja dihentikan hanya karena hal demikian. That’s it.

Meski punya beberapa joke menghibur, secara keseluruhan MiaM harus diakui sulit untuk dinikmati, tapi bukan berarti mustahil bisa cukup lama berkesan dalam ingatan. Untung saja sinematografi dari Yunus Pasolang berhasil membingkai tiap adegan (termasuk adegan-adegan statis sekalipun) menjadi gambar-gambar bergerak yang begitu cantik dan indah.

My advice, tak perlu buang-buang tenaga untuk berusaha menginterpretasi tiap adegannya yang tak jarang ‘ajaib’. Sebenarnya tak ada yang benar-benar merupakan metafora. Semuanya ditampilkan apa adanya, dengan bingkai nuansa “melankolis” sebagai kuncinya. Nikmati saja beberapa joke yang cukup jadi hiburan segar di tengah sunyinya film. Syukur-syukur kalau Anda tidak sampai ketiduran atau tak tahan ingin walk out lebih dulu. It’s ok, it is not for everyone anyway. I’m sure Richard understand this and won’t expect a lot of audience will bother to see and appreciate this.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.