The Jose Flash Review
Guru Bangsa Tjokroaminoto

Nama Garin Nugroho memang sudah berada di salah satu posisi puncak sutradara Indonesia. Apalagi namanya begitu dikenal di perfilman internasional, sampai-sampai ada penghargaan khusus yang menggunakan namanya. Namun seringkali karyanya tidak begitu bisa dinikmati oleh penonton kita, terutama dengan pendekatan khasnya yang ‘beda’. Saya masih ingat betul bagaimana begitu banyak penonton yang bingung dengan interpretasinya atas biopic Soegija tahun 2012 lalu. Meski didukung teknis yang luar biasa, penceritaan yang lebih banyak pada tokoh-tokoh fiktif di sekitar karakter sentral, membuat penonton mengernyitkan dahi. Apa-apaan ini? Wajar jika ‘trauma’ itu kembali muncul ketika Garin kembali dipercaya menggarap biopic lagi. Kali ini adalah proyek biopic dari H.O.S. Tjokroaminoto, salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang mempelopori pergerakan nasional.

Ternyata, kali ini Garin tidak terlalu ‘bereksperimen’ dalam menuangkan kisah Tjokroaminoto. Seperti layaknya biopic tokoh sejarah Indonesia, seperti Soekarno, dan Sang Pencerah, si tokoh utama tetap diletakkan sebagai sentral cerita. Meski dengan narasi yang lompat-lompat ke sana kemari, Guru Bangsa Tjokroaminoto (GBT) masih bisa dengan mudah dicerna dan dipahami. Garing memang tak memfokuskan GBT pada perjalanan hidup seorang Tjokroaminoto, tapi pada pemikiran-pemikiran dan reaksinya terhadap berbagai kejadian yang terjadi di sekitarnya. Mulai ketika Tjokroaminoto mendapatkan ilham tentang hijrah, proses pencarian makna hijrah itu sendiri, hingga pada perpecahan organisasi Sarekat Islam yang didirikannya. Maka tak heran jika Anda tak akan begitu merasakan chemistry suami-istri yang begitu kuat antara Tjokroaminoto dan istrinya, Suharsikin, meski sang istri digambarkan begitu setia mendukung perjuangan suaminya. Tak begitu terasa pula bagaimana anak-anak Tjokroaminoto. Sebaliknya, kita akan bertemu orang-orang penting di balik perjuangannya, seperti Agus Salim, Semaoen, Musso, dan Koesno alias Soekarno muda.

Pemikiran-pemikiran H.O.S Tjokroaminoto tidak selalu secara mentah-mentah disampaikan di sini. Ada kalanya juga Garin memasukkan interpretasi bebas-nya agar relevan dengan kondisi saat ini. Seperti misalnya tentang perbedaan ideologi politik (termasuk politik sosialis), sehingga seolah-olah Tjokroaminoto punya pemikiran yang liberal, atau pemikiran Tjokroaminoto tentang etnis Tionghoa dan pribumi yang diadu domba Belanda. Tidak ada yang salah, karena memang cukup beralasan dan berdasar.

Seperti halnya Soegija, Garin juga memunculkan karakter-karakter fiktif untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto, seperti Stella yang mempertanyakan banyak hal, Bagong, si tukang penjual kursi, dan penyanyi opera yang juga menjadi penggerak cerita  yang menjadi semacam narator background cerita. Tak lupa pula Garin membubuhkan signatural-nya untuk ‘mempercantik’ sekaligus menjadi penghubung antar adegan yang menghibur; adegan-adegan teatrikal yang melibatkan musik dan koreografi yang sangat indah.

Kendati demikian, durasi yang 161 menit tentu saja terasa begitu panjang, meski harus diakui sebenarnya belum cukup untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang sosok H.O.S. Tjokroaminoto. Dengan tata adegan yang masih terasa seperti kumpulan fragmen yang berdiri sendiri-sendiri, ditambah alurnya yang maju-mundur, GBT tidak selalu terasa nyaman untuk diikuti. Wajar jika sesekali Anda merasakan kelelahan atau bosan. Tapi secara keseluruhan GBT menawarkan sebuah biopic dengan konsep cerita yang terarah.

Keberhasilan GBT yang utama adalah dukungan cast yang cukup banyak, all-star, dan secara keseluruhan tampil memikat. Tak hanya cast utama dan pendukung, bahkan sampai figuran-figurannya pun tampil begitu hidup di layar. Sekali lagi Reza Rahadian membuktikan diri bahwa dirinya bisa memerankan karakter apa saja. Beban porsi terbesar dalam film sudah bukan hal yang sulit lagi baginya. Sulit membayangkan tokoh H.O.S. Tjokroaminoto diperankan oleh aktor lain. Selain berhasil menunjukkan kharisma yang luar biasa, Reza juga cukup baik dalam melafalkan bahasa dan dialek Jawanya. Tak selalu tedengar kental, namun setidaknya sama sekali tidak terdengar dipaksakan. Pendatang baru Putri Ayudya yang memerankan Soeharsikin, istri Tjokroaminoto, berhasil pula mengimbangi akting kuat Reza. Ibnu Jamil terasa semakin matang dalam memerankan karakter serius. Tanta Ginting sebagai Semaoen, seperti perannya di Soekarno, tetap menunjukkan kharisma yang kuat.

Di jajaran cast pendukung, ada Chelsea Islan yang meski di awal-awal film karakternya cukup mengganggu karena terlalu banyak bertanya, mampu menunjukkan akting emosional dengan natural dan tidak meledak-ledak seperti peran-peran  yang ia mainkan sebelumnya. Sementara Christine Hakim, Sujiwo Tedjo, Maia Estianty, Didi Petet, dan Alex Abbad, mampu menarik perhatian secara pas meski porsinya sangat sedikit. Namun scene stealer yang paling ‘menghibur’ sepanjang film adalah Unit dengan karakter Mbok Tun-nya celetukan-celetukannya menggelitik.

Kekuatan lainnya yang jelas terasa adalah teknis yang digarap dengan maksimal. Mulai sinematografi  Ipung Rachmat Syaiful, tata artistik yang begitu detail dan cantik, mulai setting lokasi, kostum, dan properti, apalagi untuk adegan-adegan teatrikalnya. Pemilihan musik-musik pendukung yang relevan dengan cerita, seperti Surabaya Johnny dan lagu-lagu legendaris yang pernah dibawakan oleh Wieteke van Dort, macam Terang Boelan dan Burung Kakatua.

Jika biopic sejarah Indonesia lainnya berpotensi jatuh menjadi semacam buku sejarah yang divisualisasikan, GBT memang tak sampai jatuh sedatar dan semembosankan itu. Memang, sekali lagi harus punya banyak adegan pidato untuk menyampaikan pemikirannya, namun secara keseluruhan, Garin masih mampu mengemasnya menjadi lebih menarik dan divisualisasikan dengan epic. Pun juga tetap informatif, bahkan sampai pada tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Lihat situs resmi film ini.
Diberdayakan oleh Blogger.