4.5/5
Adventure
Based on a Short Story
Bromance
Culinary
Drama
Father-and-Son
Feel-good
Indonesia
Personality
pop
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Filosofi Kopi The Movie
Dee atau Dewi Lestari sudah
menjadi semacam brand tersendiri di dunia sastra modern Indonesia.
Karya-karyanya baik berupa novel maupun cerpen memang punya materi yang
menarik, dengan referensi-referensi cerdas nan luas, dan kemasan pop yang mudah
dicerna. Tak heran jika sinema kita rajin untuk mengadaptasi karya-karya
tulisnya ke layar lebar, meski hasilnya seringkali di bawah ekspektasi.
Filosofi Kopi (FK) adalah salah satu cerpen yang termuat dalam buku
kumpulan cerpen Dee berjudul sama. Seperti halnya Madre yang sudah lebih dulu diadaptasi ke layar lebar oleh Benni
Setiawan. Tak mudah mengadaptasi cerpen, karena memang butuh banyak
pengembangan untuk memenuhi standard durasi film panjang. Belum lagi berurusan
dengan penggemar fanatik yang menuntut sama persis dengan versi aslinya.
Padahal menurut saya, versi tulis dan film harus berbeda, supaya bagi pembaca
aslinya pun tetap dibikin penasaran dengan experience yang ditawarkan filmnya.
Kalau sama saja, buat apa sekedar transfer medium?
Berbeda dengan Madre yang diadaptasi menjadi ‘just
another light romance’, FK membawa karya tulis Dee ke level yang jauh di
atasnya, oleh tim, yang menurut saya, sangat tepat. Digarap oleh Visinema,
dengan sutradara Angga Dwimas Sasongko yang setahun sebelumnya sudah sukses membawa
pulang banyak sekali penghargaan untuk Cahaya
dari Timur: Beta Maluku, ada banyak hal dari cerpennya yang dikembangkan
menjadi jauh lebih menarik, kaya, bahkan jauh lebih mendalam. Tak hanya itu, versi filmnya saya rasa juga berhasil mengembangkan FK menjadi franchise yang kuat, seperti kedai kopi dan berbagai merchandise-nya.
Jika FK versi cerpen berbicara
tentang makna kesempurnaan dan perubahan psikologis dari seorang yang merasa
paling hebat setelah dikalahkan oleh sesuatu yang sederhana, maka FK versi film
meng-improve dengan banyak materi. Mulai bromance yang saling melengkapi;
antara kepala dan hati, perbedaan obsesi dan cinta, belajar move on dari
kehilangan, berdamai dengan diri sendiri, hingga sindiran fenomena generasi
digital saat ini, seperti fakir wi-fi dan foodblogger yang lebih doyan memotret
makanan dan minumannya ketimbang menikmatinya secara langsung. Dan tak
ketinggalan jargon-jargon dan filosofi-filosofi di balik dunia perkopian yang
diselipkan dengan menarik dan sangat informatif. Karakteristik yang tak begitu dijelaskan di cerpennya, turut mendapatkan treatment yang sangat detail di sini dan pas dengan kebutuhan cerita, seperti misalnya Jody dibuat beretnis Tionghoa yang pas dengan karakternya yang seringkali hanya memikirkan cuan (untung). Dari sini, jelas FK
menyuguhkan sebuah paket bergaya pop yang ringan namun padat.
Namun bukan berarti flow
cerita-nya bisa berjalan dengan mulus. Di babak pertama, ketika baru
memunculkan konflik utamanya, flow FK memang terasa begitu enak dinikmati.
Pertentangan antara Jody-Ben ditampilkan dengan asyik, kocak, namun tetap
terasa kuat. Ketika babak berikutnya dimulai, yaitu ketika para karakter utamanya
mulai membuka luka batinnya, flow-nya terasa sedikit mengendur. Menarik sih,
tapi jujur, part ini terasa agak menjemukan. Terutama ketika masing-masing
karakter yang menceritakan masa lalu masing-masing secara verbal. Belum selesai
sampai di situ, part berikutnya yang mengubah karakter Ben sekali lagi harus
terasa begitu lambat. Untung saja part-part ini tidak berlangsung begitu lama
dan tidak sampai jatuh menjadi bertele-tele, hingga akhirnya diakhiri dengan
konklusi yang sangat memuaskan. Uniknya, in second view, part-part yang bagi
saya terasa lambat ini, justru jadi terasa jauh lebih enak dinikmati, apalagi
dengan meresapi emosi-emosi dari tiap karakter yang disajikan di layar.
Kemudian kepadatan naskah mampu
diterjemahkan dengan begitu maksimal oleh Angga. Tak hanya berhasil
menghidupkan tiap emosi, mulai ceria hingga haru, tapi juga yang terpenting
membuat penonton membayangkan betapa harum dan enaknya kopi-kopi yang disajikan
di layar. Tugas penting untuk film kuliner macam ini, namun Angga berhasil
menampilkannya dengan maksimal. Bahkan penonton yang bukan pecinta kopi pun
pasti bisa membayangkan nikmatnya kopi-kopi di layar sesuai dengan imajinasi
masing-masing.
Kekuatan yang sangat mendukung
naskah FK yang sudah begitu kuat adalah penampilan dari para aktornya. Chicco
Jericho sekali lagi membuktikan bahwa dirinya layak disejajarkan dengan aktor
layar lebar papan atas Indonesia lainnya. Kemumpunian aktingnya terasa begitu
jelas, terutama ketika karakter Ben yang awalnya sangat laid back, easy going,
nggak mikir apa-apa, berubah 180 derajat di babak selanjutnya. Tak hanya mampu
menerjemahkan kedua karakteristik ini dengan believable, namun juga menampilkan
transisi yang sangat mulus dan realistis. Tak kalah juga karakter Jody yang
diperankan oleh Rio Dewanto. Jika biasanya sering kebagian peran serius dan
keras, kali ini Rio membuktikan bisa juga memerankan karakter yang tetap serius
namun sedikit komikal. Sirna sudah image keras yang selama ini menempel
pada dirinya. Julie Estelle yang memerankan karakter yang tidak ada di versi
cerpennya, juga mampu mengimbangi keduanya dengan porsi yang pas. Lebih dari
sekedar pemanis (yang memang berhasil membuat film terasa lebih manis),
Julie membuat karakter El berhasil
menjadi pendorong cerita di babak kedua.
Di deretan pemeran pendukung,
Ronny P. Tjandra, Jajang C. Noer, Slamet Rahardjo, dan Otig Pakis, seperti
biasa mampu menarik perhatian sesuai porsinya masing-masing. Sementara scene
stealer tentu saja Tara Basro dengan lirikannya yang tempting, Tata Ginting
dengan gesture ngondek-nya, dan Joko Anwar yang menggelitik lewat
celetukan-celetukannya.
Tak ketinggalan aspek teknis yang
juga digarap dengan serius. Terutama sekali sinematografi Robie Taswin yang
sukses membingkai tata artistik yang serba cantik. Mulai interior kafe Filosofi
Kopi, rumah pelelangan kopi, rumah Jody,
hingga perkebunan Pak Seno. Sayang efek shaky kamera di beberapa shot
terasa sangat mengganggu. Terasa dibuat-buat, tidak natural, dan akibatnya agak
bikin pusing. Untungnya tidak begitu sering terjadi.
Dukungan musik pun turut mewarnai
FK secara maksimal. Mengiringi berbagai adegan emosional menjadi lebih terasa
kuat, sementara di bagian lain memberi nuansa nyantai, sejuk, sekaligus hangat
di keseluruhan bagian film. Mulai dari Maliq & D’Essentials, Glenn Fredly,
Monita, Is Payung Teduh, Gilbert Pohan, hingga Dee sendiri.
Dengan berbagai dukungan berbagai aspek
yang serba mumpuni, FK jelas sebuah sajian pop yang sangat enak dinikmati, dengan
berbagai esensi dan emosi yang begitu kuat disematkan. Terasa sekali dibuat
dengan passion akan kopi dan hati manusia. Sebuah experience yang bahkan tetap
enak dinikmati berkali-kali.