The Jose Flash Review
Tuyul Part 1

Genre horor buat saya adalah genre yang menarik di ranah film Indonesia. Beberapa waktu lalu ketika mengantri di loket bioskop, saya mendengar sepasang suami istri yang bertanya kepada petugas loket, “mana yang film horor, Mbak?”. Kebetulan saat itu tidak ada satu pun film horor yang diputar, sehingga saya tidak tahu film apa yang menjadi keputusan mereka untuk ditonton. Intinya, masyarakat kita begitu menggemari horor. Bahkan ketika datang ke bioskop tanpa rencana apa-apa, yang paling dicari pertama kali adalah film horor. Namun bagi sebagian penonton lainnya, film horor Indonesia punya image yang sudah sedemikian buruknya. Sampai-sampai untuk jualan film horor sekarang, filmmakernya harus meyakinkan kalau filmnya tidak pakai bumbu esek-esek. Ya, sebegitu alerginya penonton kita dengan film horor Indonesia, pun juga sekaligus selalu dicari-cari. Terbukti, film horor sesampah apapun tetap punya penonton yang tidak sedikit. Namun tentu saja bukan berarti keadaan ini bisa terus terjadi, jika tidak ingin film horor Indonesia benar-benar tidak punya reputasi sama sekali. Maka film horor yang digarap dengan serius dan benar, tetap perlu ada, sehingga suatu saat berangsur-angsur image-nya terpulihkan. Salah satu upaya itulah yang coba dihadirkan oleh produser Gandhi Fernando lewat Renée Pictures yang sebelumnya pernah menelurkan drama romantis The Right One. Kali ini ia menggandeng sutradara muda, Billy Christian, yang sebelumnya pernah menggarap segmen Kotak Musik di omnibus Hi5teria, 7 Misi Rahasia Sophie, dan yang baru-baru ini menjadi kontroversi, Kampung Zombie.

Di antara ‘koleksi’ tokoh makhluk halus Indonesia, tuyul termasuk yang masih jarang diangkat ke layar lebar, dibandingkan kuntilanak dan pocong. Kalaupun ada, yang paling populer adalah di era 70-an seperti Tuyul, Tuyul Perempuan, dan Tuyul Eh Ketemu Lagi. Maka menilik dari effort tim Tuyul Part 1 yang menampilkan sosok tuyul yang berbeda (yang konon katanya, memang seperti ini tampilan tuyul yang sebenarnya) dan sampai bangunan konsep cerita menjadi 3 bagian, maka rasa penasaran saya semakin meningkat. Lengkap dengan mitos-mitos yang selama ini sering kita dengar tentang tuyul. Hanya ada sedikit kontinuiti cerita yang agak janggal, namun tidak begitu menjadi masalah bagi keseluruhan konsep.

Sebagai film horor, Tuyul Part 1 sebenarnya tidak begitu seram. Mungkin karena kemunculan makhluk tuyul-nya kurang ngeri, atau sepak terjangnya yang kurang ‘mengancam’. Sebenarnya, ia lebih cocok disebut sebagai sebuah thriller. Porsi utamanya adalah adegan-adegan yang membangun tensi menegangkan, bukan jumpscare, penampakan yang mengerikan, ataupun adegan-adegan sadis yang membuat penonton menutup mata. Kalaupun mau disebut horor, ia membangunnya lewat atmosfer dan aspek psikologis, seperti tata artistik dan musik pengiring. Karakter utama yang seorang ibu hamil turut mendukung aspek horor psikologis itu, seperti yang pernah ditampilkan oleh horor klasik Rosemary’s Baby.

Sayangnya, flow ceritanya di awal-awal masih terlalu lambat untuk memuaskan dahaga mayoritas penonton akan santapan horor. Meski demikian, bagi yang lebih menyukai horor atmosferik, Tuyul Part 1 membangun tensinya dengan perlahan namun pasti dan dengan tahapan yang logis, hingga revealing moment yang bikin penasaran. Tak hanya itu, endingnya pun membuat saya langsung membayangkan betapa menariknya arah cerita ini bisa dibawa dan dikembangkan selanjutnya.

Atmosfer horor begitu bergantung pada aspek-aspek teknis yang ternyata digarap dengan serius pula. Terutama dari segi artistik yang mengisi set-set klasiknya, dan scoring dari Andhika Triyadi yang menggabungkan score horor klasik dengan musik tradisional sehingga menghasilkan nuansa mengerikan bercita rasa lokal. Make-up makhluk Tuyul dan efek-efek lain pun digarap dengan serius sehingga tampak begitu meyakinkan dan hidup di layar.

Salah satu faktor pendukung suasana horor adalah cast-nya. Dinda Kanya Dewi yang selama ini kita kenal sebagai karakter antagonis di Cinta Fitri, kali ini tampil memukau sebagai calon ibu yang khawatir dengan kondisi janinnya sekaligus ketakutan dengan kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya. Ia mampu me-manage emosi dengan sangat baik untuk ditampilkan tanpa terasa overacting. Begitu juga dengan Inggrid Widjanarko dan Citra Prima yang karakternya termasuk typical di ranah film horor kita, yang ternyata cukup pas dibawakan sesuai porsi masing-masing. Sayang sekali, Gandhi Fernando (the producer himself) yang memerankan karakter Daniel, suami Mia, masih kurang mampu mengimbangi Dinda, terutama di menjelang akhir di mana dibutuhkan turnover character yang begitu kuat untuk adegan sepenting itu. Untung saja tak sampai mencederai bangunan konsep cerita yang sudah dibangun dan ditata dengan rapi.

Well, Tuyul Part 1 bagi saya mungkin tidak menjadi horor yang menyeramkan. Selain dasarnya saya tidak mudah ditakut-takuti oleh film, ada alasannya mengapa horornya tidak begitu berhasil bagi penonton pecinta horor kita. Namun lebih dari itu, ia menawarkan konsep cerita yang menarik, yang jarang dimiliki horor lokal kita. Jujur, rasa penasaran saya justru semakin memuncak di akhir part 1 ini. Menurut rencana, part 2 akan mengambil setting 30 tahun sebelum part 1, dan part 3 dengan setting 7 tahun setelah part 1. In my opinion, ini akan menjadi semakin menarik. Semoga saja proyeknya berjalan lancar dan kemampuan Billy (atau sutradara lain yang nantinya di-hire untuk menangani part-part berikutnya) semakin terasah dalam menghadirkan adegan-adegan horor yang berhasil.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Lihat situs resmi film ini.
Diberdayakan oleh Blogger.